Menjadi pemain profesional esports memang tidak lagi sekadar mimpi di siang bolong. Namun, kemungkinan bagi seorang gamer untuk bisa menjadi pemain profesional juga sangat kecil.
Sekalipun seorang gamer berhasil menjadi pemain profesional, ada berbagai masalah yang harus dia siap hadapi, termasuk potensi stres dan burnout. Biasanya, masalah burnout terjadi ketika atlet esports melakukan latihan terlalu keras.
Burnout di Dunia Esports
Berdasarkan World Health Organization (WHO), burnout didefinisikan sebagai sindrom yang muncul akibat stres kronis berkepanjangan di tempat kerja. Biasanya, seseorang yang mengalami burnout akan merasakan lelah yang luar biasa.
Gejala lain dari burnout adalah meningkatnya perasaan negatif akan pekerjaan pada diri seseorang. Terakhir, burnout juga akan mempengaruhi performa penderita, menurunkan efisiensinya dalam bekerja.
Atlet esports juga bisa mengalami burnout. Bagi banyak gamers, dibayar untuk bermain game terlihat seperti mimpi yang menjadi nyata. Masalahnya, ada satu perbedaan fundamental antara gamers dengan pemain profesional.
Gamers bermain game sebagai hobi, karena mereka memang menyukainya. Mereka bisa memilih waktu untuk bermain dan game yang ingin mereka mainkan. Lain halnya dengan pemain profesional.
Sebagai profesional, atlet esports dituntut untuk latihan secara rutin. Walau, durasi latihan dari setiap organisasi atau atlet esports bisa berbeda-beda.
Menurut survei, kebanyakan pemain asal Eropa atau Amerika Utara menghabiskan sekitar 5-7,5 jam setiap hari untuk latihan. Sementara atlet esports dari Asia menghabiskan lebih banyak waktunya untuk berlatih. Sebagai contoh, atlet dari Korea Selatan bisa menghabiskan waktu selama 12 jam untuk latihan.
Di luar latihan, pemain profesional juga menghabiskan banyak waktunya bertanding di kompetisi esports. Sebagian turnamen esports hanya berlangsung selama beberapa hari, sementara liga esports bisa memakan waktu hingga beberapa bulan. Selama itu, pemain profesional harus menghadapi tekanan mental yang besar, baik dari fans, tim, maupun sponsor. Hal ini juga bisa memicu stres dan burnout.
Tak hanya itu, banyak organisasi esports yang meminta para atletnya untuk tinggal di gaming house. Memang, hal ini bisa memudahkan para pemain untuk mengenal satu sama lain. Namun, tinggal di gaming house juga bisa membuat para pemain merasa terisolasi dari kehidupan lain di luar karirnya sebagai pemain profesional.
Dua contoh pemain profesional yang pernah mengalami burnout adalah Lukas “gla1ve” Rossander dan Andreas “Xyp9x” Højsleth. Keduanya merupakan pemain Counter-Strike: Global Offensive di Astralis. Ketika mereka memutuskan untuk mundur pada Mei 2020, mereka mengaku, burnout merupakan alasan utama mereka.
“Untuk waktu lama, saya mengalami gejala stres dan burnout,” kata Gla1ve, dikutip dari Esports.net. “Rekan satu tim saya dan Astralis telah mencoba berbagai hal untuk membantu saya menghadapi masalah ini. Sayangnya, masalah tersebut terus berlanjut. Akhirnya, saya dan dokter saya memutuskan bahwa saya harus rehat.”
Sementara itu, Xyp9x berkata, “Sayangnya, saya telah merasakan gejala stres/burnout selama berbulan-bulan. Sekarang, saya harus beristirahat dan mencari motivasi untuk kembali berkompetisi bersama Astralis. Semua orang di sekitar saya telah melakukan banyak hal untuk mencegah burnout. Dan sebenarnya, saya ingin terus bermain bersama Astralis. Tapi, sudah waktunya bagi saya untuk memprioritaskan kesehatan saya. Karena itulah, saya memutuskan untuk rehat sementara.”
Dampak Negatif Latihan Terlalu Lama
Bisa karena terbiasa. Tidak bisa dipungkiri, latihan memang akan membantu seorang gamer untuk mengasah kemampuannya. Namun, latihan yang terlalu berlebih juga bisa memberikan dampak negatif.
Ketika seorang gamer — baik amatir maupun profesional — terobsesi untuk menyempurnakan skill-nya dan memaksa diri untuk terus bermain, hal ini justru bisa membuatnya merasa marah dan frustrasi ketika kemajuan kemampuannya tidak sesuai dengan harapan.
Berlatih terlalu keras memang berpotensi untuk mengacaukan kesehatan mental seorang atlet. Masalah ini juga dialami oleh atlet muda di dunia olahraga tradisional. TrueSport Expert, Dr. Deborah Gilboa menjelaskan bahwa penting bagi atlet muda untuk beristirahat demi menjaga kesehatan mental mereka.
Gilboa mengungkap, ketika seorang atlet berlatih terlalu keras, hal ini bisa membuatnya merasa bahwa jati dirinya sepenuhnya terikat pada kesuksesannya dalam olahraga. Dia mengatakan, ketika seorang atlet didorong untuk terus latihan, tanpa menghiraukan bagian lain dari hidupnya, hal tersebut justru bisa membuat sang atlet berhenti untuk berolahraga sama sekali.
“Ketika kita menyempitkan identitas seorang atlet, sehingga dia merasa bahwa jati dirinya sepenuhnya terikat pada olahraga yang dia lakukan, dia akan merasa kehilangan identitas saat dia tidak lagi menjadi atlet,” kata Gilboa, dikutip dari Polygon. Saat jati diri atlet sepenuhnya tergantung pada kesuksesannya di kompetisi, dia bisa merasa bahwa kemenangan adalah segalanya, tanpa mempedulikan apa yang harus dia lakukan untuk mendapatkan kemenangan tersebut.
Dan sama seperti atlet dari olahraga tradisional, atlet esports juga bisa mengalami burnout. Sayangnya, kebanyakan gamers masih berpikir, latihan terlalu keras bukanlah masalah. Mereka percaya, satu-satunya cara untuk meningkatkan kemampuan bermain adalah dengan mengurung diri di kamar dan terus bermain game.
Jika dibandingkan dengan olahraga seperti basket atau sepak bola, bermain game mungkin terlihat tidak melelahkan. Namun, bermain tanpa henti juga memberikan beban mental pada para atlet. Dan hal ini bisa berujung pada burnout. Selain itu, bermain game terus-terusan juga bisa menyebabkan cedera pada pergelangan tangan, leher, atau punggung atlet esports.
Sumber header: Boston University