Dark
Light

Pro dan Kontra dari Model Bisnis Game: Freemium, Premium, dan Subscription

4 mins read
October 16, 2022

Perkembangan industri game tidak hanya ditandai dengan perubahan teknologi  yang digunakan oleh para developer game, tapi juga kemunculan model bisnis baru. Dulu, kebanyakan perusahaan game menggunakan model bisnis premium. Jadi, pemain harus membeli game terlebih dulu sebelum bisa memainkannya. Sekarang, muncul dua model bisnis baru yang populer: Free-to-Play (F2P) dan subscription.

Dalam Indonesia Game Developer Exchange (IGDX) 2022, kelebihan dan kekurangan dari model bisnis premium, F2P, dan subscription menjadi salah satu topik yang diangkat. Berikut pembahasannya.

F2P/Freemium

Awalnya, banyak gamers yang tidak menyukai game dengan model F2P. Sampai saat ini, saya yakin, masih ada gamers yang tidak suka dengan model bisnis ini. Namun, tidak bisa dipungkiri, game F2P memberikan kontribusi besar pada total pemasukan industri game, baik industri game PC maupun mobile. Menurut data dari Niko Partners, 81,4% dari total pemasukan industri PC berasal dari game F2P. Di industri mobile, kontribusi game F2P bahkan lebih besar, mencapai 98,7%.

Louis Chow, Director dari Riot Games mengatakan, keberadaan game F2P atau freemium memang punya peran dalam mendorong pertumbuhan industri game. Alasannya, keberadaan game gratis memudahkan orang-orang yang awalnya tidak tertarik dengan game untuk mencoba bermain game.

Selain itu, game F2P juga punya potensi untuk membangun player base yang besar. Pasalnya, entry barrier dari game F2P sangat rendah. Siapapun bisa mencoba untuk memainkan game F2P tanpa harus membayar apapun. Dengan ini, developer mendapatkan kesempatan untuk membuat gamers tertarik dengan gameplay, cerita, atau karakter dari game freemium yang mereka buat.

Genshin Impact adalah salah satu game F2P yang sangat sukses.

Walau game freemium berpotensi untuk mendapatkan pemain dan pemasukan dalam jumlah besar, ia juga bisa menawarkan masalah tersendiri. Salah satunya, developer harus bisa memberikan update konten secara berkala. “Ada banyak game yang berhasil menarik banyak pemain ketika ia baru diluncurkan. Namun, saat developer tidak memberikan update selama satu atau dua bulan, pemain akan lupa game tersebut,” Louis.

Developer atau publisher dari game freemium juga harus memperlakukan komunitas gamers dengan baik. Jika tidak hati-hati, perusahaan game justru bisa terlibat masalah. Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, Darang S. Candra menjadikan kasus Uma Musume: Pretty Derby di Korea Selatan sebagai contoh.

Awalnya, Uma Musume dirilis secara eksklusif di Jepang. Pada Juni 2022, Kakao Games merilis game tersebut di Korea Selatan. Hanya saja, gamers di Korea Selatan mendapatkan perlakuan yang berbeda dari gamers di Jepang.

Kakao Games menjadi publisher dari Uma Musume di Korea Selatan.

Sebagai contoh, Kakao Games tidak memberikan informasi ketika events penting dalam game akan dilaksanakan. Selain itu, rewards yang diberikan pada gamers Korea Selatan juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan gamers di Jepang. Perlakuan tidak adil ini membuat gamers di Korea Selatan berang. Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk menuntut Kakao Games di pengadilan.

Premium

Meskipun sebagian besar pemasukan industri game berasal dari game F2P, hal itu bukan berarti game premium tidak lagi diminati. Jun Shen Chia, Global Expansion, Xbox, Microsoft merasa, sebagian gamers masih mementingkan kepemilikan atas game, baik game yang dibeli secara digital maupun offline. Tentu saja, untuk mendorong gamers membeli game, developer harus bisa menawarkan pengalaman bermain game yang unik.

Menariknya, Jun menganggap, model bisnis premium memberikan kesempatan yang sama bagi developer indie atau developer AAA untuk sukses. “Anda memang masih membutuhkan dana marketing dalam memasarkan game premium. Tapi, Anda juga bisa membangun audiens game secara organik,” katanya. Sebaliknya, game freemium mengharuskan perusahaan game untuk terus melakukan marketing, yang mungkin menyulitkan developer indie.

Indie game lebih bisa bersaing menggunakan model bisnis premium. | Sumber: Collider

Sementara itu, Darang mengatakan, bagi developer yang membuat game premium, penting bagi mereka untuk menentukan segmen gamers yang mereka targetkan. “Karena ada segmen gamers tertentu yang memang tidak suka dengan game gacha, atau in-app monetization, atau DLC,” ujarnya. “Tapi, juga ada segmen gamers lain yang tidak keberatan untuk menghabiskan uang untuk mendapatkan items atau gifts. Hal ini tergantung pada target market Anda. Karena itulah, Anda harus mengerti aspek ini.”

Subscription

Selain model freemium dan premium, model bisnis lain dalam game adalah subscription atau langganan. Salah satu perusahaan yang menyediakan jasa langganan game adalah Microsoft, dengan Game Pass. Selain itu, Sony dan Nintendo juga punya layanan langganan game mereka masing-masing. Hal ini menjadi bukti bahwa model bisnis langganan kini semakin diminati oleh para pelaku industri game.

Menurut Jun, keberadaan layanan langganan game seperti Game Pass menguntungkan gamers. Karena, layanan langganan memudahkan gamers untuk memainkan game-game premium dengan harga yang relatif murah. Pemain tidak perlu lagi membeli game premium satu per satu. Sebagai gantinya, mereka hanya perlu membayar biaya berlangganan dan mereka akan mendapatkan akses ke katalog game premium, baik game AAA maupun game indie.

Sementara itu, bagi developers, keberadaan layanan langganan game juga memberikan keuntungan tersendiri. Layanan langganan game memberikan kesempatan pada developer untuk menjangkau audiens baru. Karena, Jun mengungkap, 9 dari 10 pengguna dari Game Pass akan mencoba untuk memainkan game-game yang biasanya tidak mereka mainkan.

Game Pass memungkinkan gamers mengakses banyak game dengan langganan.

Selain itu, Game Pass juga bisa menjadi sumber pemasukan baru bagi para developer. Jika game buatan sebuah developer disetujui untuk dimasukkan ke dalam katalog Game Pass, sang developer akan mendapatkan bayaran berupa biaya lisensi.

Jun juga bercerita, Microsoft memang menggunakan game-game AAA buatan studio di bawah Xbox untuk menarik pelanggan baru Game Pass. Namun, para pengguna Game Pass biasanya akan terus berlangganan karena mereka ingin menemukan game-game baru yang menarik.

Lebih lanjut Jun mengatakan, gamers di Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok cenderung lebih tertarik dengan game buatan negara asal mereka. Tidak tertutup kemungkinan, tren yang sama juga berlaku untuk gamers di Asia Tenggara. Dengan Game Pass, Microsoft punya kesempatan untuk membuat gamers Indonesia untuk menemukan game-game buatan developer lokal.

Meskipun begitu, Darang mengingatkan, pasar game Indonesia masih lebih muda jika dibandingkan dengan pasar game Jepang, Korea Selatan, atau Tiongkok. Perusahaan-perusahaan game di tiga negara itu telah mulai mempromosikan game lokal sejak awal tahun 2000-an. Sebagai perbandingan, Darang menyebutkan, perusahaan game Indonesia baru mulai memasarkan game mereka ke pasar lokal pada 2015.

“Namun, hal itu bukan berarti kita tidak punya kesempatan melakukan hal yang sama,” ujar Darang. “Untuk memasarkan game ke gamers lokal, Anda harus tahu kebiasaan para gamers. Anda juga harus melakukan pelokalan dengan baik. Terakhir, Anda harus memastikan bahwa game yang Anda buat memang memiliki kualitas yang baik. Karena, gamers Indonesia sudah terbiasa memainkan game-game buatan developer asing selama bertahun-tahun. Jadi, mereka akan ingin memainkan game lokal dengan kualitas yang tidak kalah dari game-game asing tersebut.”

Mass Effect Legendary Edition
Previous Story

10 Game RPG Terbaik yang Dapat Dimainkan via Layanan PC Game Pass

Next Story

Konami Umumkan Rencana Luncurkan Platform Pertukaran NFT

Latest from Blog

Don't Miss

Microsoft 365 Kenalkan Fitur Agen Otonom Terbaru

Di tengah pengembangan fitur AI di berbagai lini, Microsoft secara

Microsoft 365 Copilot Rilis Update Terbaru, Tawarkan Sistem AI yang Lebih Terintegrasi

Keseriusan Microsoft untuk mengembangkan sistem AI Copilot terus dibuktikan lewat