Microsoft meluncurkan Game Pass, layanan langganan game, pada Juni 2017. Pada 2021, Microsoft mengaku bahwa Game Pass merupakan salah satu fokus mereka di industri game. Alasan Microsoft kukuh untuk menyediakan Game Pass adalah karena layanan itu menjadi cara mereka untuk membiasakan gamers dengan sistem langganan. Ke depan, tampaknya, strategi Microsoft tidak akan berubah. Buktinya, pada akhir Maret 2022, Microsoft meluncurkan PC Game Pass di 5 negara Asia Tenggara.
Microsoft bukan satu-satunya perusahaan yang menyediakan layanan langganan game. Bulan lalu, Sony melakukan rebranding dari PlayStation Plus. Dalam versi terbaru, Sony menggabungkan layanan dari PlayStation Plus lama dan PlayStation Now. Sementara Nintendo telah meluncurkan Switch Online pada September 2018. Selain itu, beberapa publisher besar juga telah merilis layanan berlanggan mereka sendiri, seperti EA Play dan Ubisoft+.
Dengan ini, tampaknya, era langganan di industri game telah dimulai.
Awal dari Model Bisnis Berlangganan
Model bisnis langganan atau subscription memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan pemasukan secara berkala (bulanan atau tahunan) dengan menawarkan akses ke produk atau layanan tertentu selama periode tertentu. Fokus dari model bisnis subscription adalah retensi pelanggan, menurut Investopedia. Dengan model bisnis langganan, perusahaan bisa mendapatkan pemasukan berulang dari satu pelanggan dan bukan hanya satu pendapatan, ketika pelanggan membeli produk perusahaan. Hal ini akan meningkatkan lifetime value dari seorang pelanggan. Karena itu, tidak heran jika model bisnis langganan digunakan oleh perusahaan dari berbagai industri, termasuk software, hiburan, dan game.
Perusahaan penerbit koran atau buku menjadi pihak pertama yang menggunakan model bisnis langganan. Dan praktek ini sudah dilakukan sejak abad ke-17. Sekarang, model bisnis langganan juga digunakan oleh banyak perusahaan teknologi, terutama setelah model bisnis Software-as-a-Service mulai menjadi tren. Dengan menggunakan model bisnis langganan, fokus perusahaan berubah: dari mendapatkan satu pemasukan besar setiap kali pelanggan membeli produk perusahaan, menjadi mendapatkan pemasukan kontinu secara rutin.
Ada empat hal yang membuat model bisnis langganan digunakan oleh banyak perusahaan, dari berbagai industri. Salah satunya adalah harga. Model bisnis langganan memungkinkan pelanggan untuk membeli produk dengan harga yang jauh lebih murah. Sebagai contoh, jika Anda ingin membeli film dengan kualitas HD di Play Store, Anda harus mengeluarkan uang sekitar Rp100 ribuan sampai Rp200 ribuan. Namun, dengan berlangganan layanan streaming seperti Netflix, Anda cukup membayar Rp120 ribu untuk mendapatkan paket dasar dan Anda bisa menonton semua seri TV dan film yang tersedia di layanan streaming film tersebut.
Walau memang, terkadang, seiring dengan akumulasi waktu, biaya berlangganan sebenarnya lebih besar daripada pembelian satu waktu. Jika Anda ingin membeli Microsoft Office 2019 orisinal, Anda harus mengeluarkan uang sebesar Rp1,2 juta. Sementara jika Anda ingin berlangganan Microsoft 365 Personal, Anda harus mengeluarkan Rp96 ribu per bulan atau Rp960 ribu per tahun.
Meskipun begitu, harga bukan satu-satunya faktor yang membuat konsumen beralih ke layanan dengan model langganan. Hal lain yang membuat model langganan menggoda adalah kemudahan alias convenience. Dalam kasus Netflix, mereka memudahkan konsumen untuk menonton film atau seri TV. Dan hal inilah yang membuat Netflix dianggap sebagai pembunuh dari bisnis rental film. Dengan adanya Netflix, konsumen tidak lagi perlu repot-repot datang ke toko rental untuk meminjam film. Mereka bisa mengakses semua katalog di Netflix dari smartphone atau komputer mereka.
Alasan ketiga mengapa model langganan disukai konsumen adalah personalisasi. Layanan langganan biasanya akan menawarkan produk sesuai dengan selera masing-masing konsumen. Misalnya, Netflix akan merekomendasikan film sesuai dengan rekam jejak film yang Anda tonton. Begitu juga dengan layanan streaming film lain dan juga layanan streaming musik, seperti Spotify dan YouTube Music. Dan fitur personalisasi membuat konsumen merasa diperhatikan, menurut laporan Forbes.
Terakhir, hal yang membuat pelanggan senang dengan layanan langganan adalah karena konten yang tersedia di dalamnya biasanya sudah terkurasi. Dengan begitu, pelanggan merasa bahwa semua konten atau produk yang disajikan pada mereka memang produk yang berkualitas.
Penggunaan Model Bisnis Langganan di Game
Di industri game, konsep langganan layanan game sebenarnya telah ada sejak 1980. Ketika itu, Atari dan Mattel menawarkan langganan untuk game konsol Intellivision. Dengan berlangganan layanan yang dinamai PlayCable, gamers bisa mengunduh game-game baru ke konsol Intellivision mereka, dengan memanfaatkan TV kabel. Ketika itu, ada 20 game yang tersedia di layanan tersebut. Namun, layanan itu dihentikan pada 1983, menurut laporan IGN.
Contoh lain dari layanan langganan game lawas adalah GameLine, yang tersedia untuk Atari 2600. Layanan itu memungkinkan gamers untuk mengunduh game via modem eksternal. Hanya saja, layanan itu kurang populer. Karena, pelanggan tidak hanya harus membayar biaya berlangganan, tapi juga membayar US$1 untuk setiap game yang ingin mereka mainkan. Tak hanya itu, game tersebut juga hanya bisa dimainkan selama 10 hari.
Pada era 1990-an, Nintendo dan Sega saling berlomba untuk menyediakan layanan langganan game. Nintendo meluncurkan Satellaview untuk konsol SNES dan Sega merilis Sega Channel untuk Sega Genesis. Satellaview menggunakan sinyal satelit sementara Sega Channel memanfaatkan adapter TV kabel. Hanya tersedia di Jepang, Satellaview menawarkan akses ke hingga lebih dari 114 game. Untuk Sega Channel, pelanggan bisa mendapatkan akses ke sekitar 70 game. Namun, setiap bulan, game yang ditawarkan di layanan tersebut akan berubah.
Di era gaming modern, Electronic Arts merupakan salah satu publisher pertama yang menawarkan layanan langganan game. Mereka merilis EA Access pada 2014. Pada 2020, nama layanan itu diganti menjadi EA Play. Dengan membayar US$5 untuk berlangganan EA Play, gamers akan mendapatkan akses ke katalog game-game EA, seperti Battlefield 5, Titanfall 2, Star Wars: Battlefront 2, dan The Sims 2. Selain itu, mereka juga akan mendapatkan diskon 10% ketika membeli produk-produk tertentu, termasuk game, season pass, dan DLC.
“Keinginan untuk memiliki kini tergantikan oleh keinganan untuk mencoba dan memainkan hal baru,” kata Senior Vice President of Player Network, EA, Michael Blank, dikutip dari Variety. “Alhasil, kita melihat adanya perubahan dalam pola konsumsi. Sekarang, konsumen lebih menghargai akses ke sebuah produk daripada kepemilikan atas produk tersebut.”
Meskipun begitu, keputusan EA untuk meluncurkan layanan langganan game sempat diragukan oleh investor mereka. Pasalnya, investor masih melihat jumlah penjualan sebagai indikator utama dari sukses atau tidaknya sebuah game. Jadi, “memberikan” game premium melalui layanan berlangganan dikhawatirkan justru akan membuat pemasukan perusahaan turun. Namun, perlahan, EA ingin mengubah pola pikir investor dan menjadikan repeat usership sebagai indikator utama dari kesuksesan sebuah game.
Pada 2017, Microsoft merilis Game Pass, layanan langganan game serupa Netflix. Salah satu hal yang membedakan Game Pass dari Microsoft dengan EA Play adalah pelanggan Game Pass bisa memainkan game baru dari Microsoft pada hari peluncuran. Microsoft terus memperluas jangkauan dari Game Pass. Sekarang, Game Pass juga sudah tersedia di Indonesia.
Berbeda dengan EA, keputusan Microsoft untuk menyediakan layanan langganan game tidak mendapat penolakan berarti. Karena, ketika perusahaan pembuat Windows itu merilis Game Pass, mereka telah menggunakan model bisnis langganan di bisnis mereka yang lain. Memang, sejak 2013, Microsoft juga sudah menyediakan layanan langganan untuk Microsoft Office, yaitu Office 365.
Mengikuti jejak Microsoft, Nintendo meluncurkan Switch Online pada 2018. Dengan berlangganan Switch Online, gamers tidak hanya mendapatkan akses katalog game untuk NES dan SNES, tapi juga akan mendapatkan fitur online multiplayer, cloud saving, voice chat melalui aplikasi smartphone. Selain itu, mereka juga bisa mendapatkan promosi atau diskon ketika membeli game. Biaya berlangganan Switch Online adalah Rp57 ribu. Sebagai perbandingan, Game Pass dari Microsoft dihargai Rp50 ribu per bulan.
Sementara itu, Sony meluncurkan PlayStation Now pada 2014 dan PlayStation Plus pada 2019. Kedua layanan itu digabung menjadi PlayStation Plus pada Maret 2022. Dengan PlayStation Plus yang baru, gamers bisa mengunduh atau melakukan streaming dari game-game PlayStation yang telah ditentukan. Selain itu, mereka juga bisa mendapatkan fitur multiplayer gaming. PlayStation Plus yang baru terbagi ke dalam tiga kategori: Essential yang dihargai US$10 (Rp144 ribu) per bulan, Extra dengan harga US$15 (Rp216 ribu) per bulan, dan Premium, yang dihargai US$18 (Rp259 ribu) per bulan.
Dengan begitu, sekarang, tiga perusahaan pembuat konsol besar di dunia sudah menyediakan layanan berlangganan game. Hal ini menunjukkan potensi dari model bisnis langganan di dunia game. Walau, Blank dari EA mengatakan, ketika mereka pertama kali merilis EA Play, mereka sempat khawatir akan dampak keberadaan layanan langganan game ke industri gaming.
“Kami percaya, semua yang menguntungkan gamers akan memberikan dampak positif pada industri, yang juga akan menguntungkan perusahaan,” kata Blank. “Tapi, ketika kami pertama kami merilis layanan langganan game, kami tidak tahu apa dampak dari keputusan tersebut. Kami tidak tahu apakah para gamers akan mau mencoba layanan tersebut. Apakah mereka hanya akan berlangganan demi memainkan satu game sebelum pergi? Ketika itu, kami mencoba untuk memperkirakan dampak pada industri.”
Blank mengatakan, EA lalu mencoba untuk mempelajari kebiasaan bermain gamers. Kabar baiknya, data yang mereka kumpulkan menunjukkan bahwa layanan langganan game akan memberikan dampak positif pada pemain dan pada perusahaan. Karena, layanan langganan game membuat gamers menghabiskan waktu lebih lama untuk bermain. Dan hal ini akan mendorong gamers lain untuk bermain juga.
Layanan langganan game tampaknya tidak hanya menguntungkan penyedia jasa, tapi juga developer game indie, khususnya dalam menarik perhatian para gamers. Karena, sekarang, jumlah game yang diluncurkan dalam satu tahun bisa mencapai ribuan. Hal ini menyulitkan game indie untuk mendapatkan spotlight.
“Kami mendapatkan feedback dari rekan-rekan kami. Berdasarkan data kami, kami melihat Xbox Game Pass bisa membantu game dan studio indie untuk sukses saat game diluncurkan. Sehingga, game akan dimainkan dalam waktu yang lebih lama,” kata Xbox Game Pass Head of Planning and Business Development, Matt Percy dalam Variety. “Dengan adanya Game Pass, game seperti ‘Laser League’ dan ‘Human: Fall Flat’ punya potensi untuk dimainkan oleh jutaaan pemain ketika ia dirilis. Pada akhirnya, hal ini akan membantu game untuk menjadi lebih sukses.”
Masalah Model Langganan di Industri Game
Sebelum membahas tentang masalah yang mungkin terjadi jika model langganan diadopsi di industri game, mari kita amati masalah yang terjadi pada Netflix, perusahaan yang sering dianggap sebagai pelopor dari bisnis streaming film. Berkat pandemi, saham Netflix sempat meroket. Pada November 2021, nilai saham Netflix mencapai US$701. Namun, pada Maret 2022, nilai saham mereka turun menjadi US$332 per lembar. Hanya dalam waktu empat bulan pun, valuasi perusahaan turun US$165 miliar.
Salah satu alasan mengapa nilai saham Netflix terjun bebas adalah karena mereka merupakan perusahaan streaming film. Kelangsungan bisnis mereka tergantung pada konten yang mereka sediakan. Namun, untuk bisa menyiarkan film atau seri TV tertentu, Netflix harus mendapatkan lisensi dari studio pembuat film. Memang, sekarang, Netflix juga membuat konten sendiri, yang dilabeli dengan nama Netflix Originals. Meskipun begitu, jumlah konten yang Netflix buat sendiri masih jauh lebih sedikit dari konten yang mereka dapatkan dari studio lain.
Hanya saja, sekarang, Netflix bukan satu-satunya layanan streaming film. Artinya, studio film punya opsi untuk menjual lisensi dari film yang mereka buat ke layanan streaming selain Netflix. Padahal, Netflix sangat memerlukan kontrak itu. Karena, jika Netflix tidak bisa menambah konten dalam katalog mereka, hal ini bisa membuat pelanggan mereka berhenti berlangganan.
Masalah yang dihadapi Netflix tidak dialami oleh Disney. Pasalnya, Disney memiliki banyak konten yang mereka buat sendiri. Mereka punya berbagai franchise ternama, mulai dari Marvel Cinematic Universe sampai Star Wars. Mereka juga punya hak untuk menampilkan semua film animasi buatan Pixar. Jadi, Disney tidak perlu khawatir akan kekurangan konten.
Sekarang, mari bandingkan apa yang terjadi di industri streaming film dengan model langganan di industri game. Kebanyakan layanan langganan game disediakan oleh perusahaan pembuat konsol atau publisher besar. Karena itu, tampaknya, kekurangan konten tidak akan menjadi masalah. Hal yang mungkin akan menjadi masalah adalah durasi konsumsi. Menamatkan satu game membutuhkan waktu yang lebih lama dari menonton film.
Untuk menonton satu film, Anda hanya perlu menghabiskan waktu sekitar 90-120 menit. Tidak banyak film layar lebar yang memiliki durasi hingga lebih dari 3 jam. Sementara itu, durasi seri TV beragam, biasanya, sekitar 30-60 menit per episode. Dengan asumsi satu season dari seri TV memiliki 10-20 episode, Anda membutuhkan sekitar 5-20 jam untuk selesai menonton satu musim. Sebagai perbandingan, menurut Looper, waktu rata-rata untuk menamatkan satu game adalah 35,5 jam, jauh lebih lama dari durasi untuk menonton film atau seri TV.
Jadi, sekalipun gamers punya akses ke banyak game, berapa banyak game yang bisa mereka mainkan dalam sebulan? Terkait hal ini, EA dan Microsoft menemukan bahwa gamers cenderung mencoba game baru ketika mereka punya akses ke katalog banyak game. Fans RPG mungkin enggan untuk menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk membeli game shooter terbaru. Namun, jika mereka sudah berlangganan layanan seperti Game Pass atau EA Play, mereka tidak perlu menghabiskan uang untuk mencoba game baru. Alhasil, mereka lebih berani untuk mencoba game yang berbeda dari game-game yang biasa mereka mainkan.
“Kami terkejut ketika kami menemukan bahwa jumlah game yang dimainkan oleh pelanggan Game Pass naik hampir 40%, termasuk game-game yang tidak masuk dalam katalog Game Pass,” Percy dari divisi Xbox, Microsoft. Dia menambahkan, hal menarik lain adalah pelanggan Game Pass bisa menemukan franchise baru yang mereka sukai di katalog Game Pass. Setelah itu, mereka akan membeli game dari franchise atau developer yang sama. “Rata-rata, jumlah pre-orders dari pelanggan Game Pass 25% lebih tinggi dari non-pelanggan dan jumlah pembelian game mencapai 10% lebih banyak.”
Namun, ada masalah lain yang harus dihadapi oleh penyedia layanan langganan game, yaitu model bisnis free-to-play. Sekarang, ada banyak game yang bisa dimainkan dengan gratis. Hal itu berarti, layanan langganan game hanya bisa memasukkan game-game premium katalog mereka. Padahal, menurut data dari McKinsey, sekitar 50-60% dari total penjualan game blockbuster terjadi tidak lama setelah game diluncurkan. Jadi, jika layanan langganan game ingin menjadikan keberadaan game AAA sebagai daya jual, mereka harus bisa menyediakan game-game baru ketika game itu diluncurkan.
Terakhir, kekhawatiran yang muncul akan keberadaan layanan langganan game adalah apakah ia menguntungkan. Karena, biaya untuk membuat game AAA bisa mencapai puluhan juta dollar. Pertanyaannya, apakah biaya itu bisa dipenuhi jika gamers hanya perlu membayar ratusan ribu atau bahkan puluhan ribu rupiah untuk mendapatkan akses ke banyak game?
Kabar baiknya, sejauh ini, Game Pass terbukti menguntungkan untuk Microsoft. Per Januari 2022, jumlah pengguna Game Pass mencapai 24 juta orang. Dengan asumsi semua pelanggan Game Pass hanya menggunakan tier paling rendah — yang dihargai US$10 — setiap bulannya, Microsoft mendapatkan US$240 juta dari Game Pass. Jadi, setiap tahun, Game Pass menghasilkan US$2,88 miliar untuk Microsoft.
Analis Niko Partners, Daniel Ahmad mengatakan bahwa saat ini, Microsoft masih ada dalam tahap akuisisi pelanggan. Mereka tidak keberatan untuk menyediakan Game Pass dengan harga yang terjangkau demi menaikkan jumlah pelanggan. Dan memang, beberapa tahun belakangan, jumlah pengguna Game Pass memang menunjukkan tren naik. Pada April 2020, jumlah pengguna Game Pass mencapai 10 juta orang. Angka ini naik 50%, menjadi 15 juta orang pada September 2020. Per Januari 2021, jumlah pengguna Game Pass kembali naik, menjadi 18 juta orang. Satu tahun kemudian, pada Januari 2022, jumlah pengguna Game Pass mencapai 24 juta orang.
“Saya rasa, daya tarik utama dari Game Pass adalah gamers akan mendapatkan akses ke katalog game. Dan sekarang, ekosistem digital punya peran yang lebih besar untuk mendorong gamers setia di ekosistem itu,” kata Daniel pada Euro Gamer. “Jadi, ketika seorang gamer sudah mendapatkan akses ke katalog itu, kecil kemungkinan mereka akan berhenti berlangganan. Ke depan, mereka akan terus berlangganan agar mereka bisa terus mendapatkan akses ke katalog dari banyak game dan memainkan game yang mereka mau.”
Penutup
Sama seperti industri lain, industri game terus berubah, mengikuti perilaku konsumen. Sekarang, konsumen cenderung lebih memilih untuk membeli akses ke sebuah produk daripada membeli produk itu sendiri. Buktinya, perusahaan streaming film dan musik menjamur. Begitu juga dengan aplikasi transportasi online atau rental rumah. Jadi, tidak heran jika perusahaan game pun mulai mengubah model bisnis mereka dan mulai menawarkan layanan langganan game.
Sumber header: Push Square