Dark
Light

Dari NPC sampai Streamer: Ilusi Hubungan Parasosial dan Dampaknya ke Para Gamers

12 mins read
June 11, 2022
Fans K-Pop. | Sumber: Wikimedia

Sasaeng. Jika Anda adalah seorang fans K-Pop, Anda pasti familier dengan istilah tersebut. Istilah sasaeng mengacu pada fans yang terobsesi pada kehidupan pribadi dari selebritas yang menjadi idolanya. Begitu obsesifnya seorang sasaeng sehingga dia rela untuk melakukan tindakan kriminal demi mendapatkan informasi pribadi dari idolanya, termasuk menguntit sang idola.

Fenomena fans obsesif ini sebenarnya tidak hanya terjadi di kalangan fans boybands atau girlbands asal Korea Selatan, tapi juga selebritas lainnya, mulai dari aktor, penyanyi, atau bahkan bintang media sosial, seperti streamers. Dan perilaku obsesif fans biasanya punya kaitan dengan hubungan parasosial.

Definisi dan Penyebab dari Hubungan Parasosial

Istilah interaksi parasosial pertama kali diperkenalkan oleh peneliti Donald Horton dan R. Richard Wohl di tahun 1956. Mereka mengartikan interaksi parasosial sebagai interaksi sosial satu arah yang membuat seseorang merasa bahwa dia mengenal selebritas yang dia lihat di media massa, khususnya televisi.

Walau bersifat satu arah, interaksi parasosial tetap memiliki kesamaan dengan interaksi sosial biasa. Contohnya, kesan pertama akan muncul kali pertama seseorang melihat sang idola. Selain itu, seiring dengan berjalannya waktu, semakin sering seorang penonton melihat idolanya di media massa, maka dia akan merasa semakin familier dengan sang selebritas, memperdalam interaksi parasosial yang dia rasakan.

Sederhananya, interaksi parasosial muncul ketika seorang fans/penonton merasa bahwa dia mengenal selebritas atau tokoh publik secara pribadi, seolah-olah mereka adalah teman. Meskipun, sang selebritas kemungkinan besar tidak tahu akan keberadaan si penonton.

Audiens seolah-olah merasa kenal dengan para selebritas. | Sumber: HuffPost

Biasanya, interaksi parasosial hanya terjadi dalam satu momen. Misalnya, saat seseorang menonton siaran langsung dari streamer favoritnya. Namun, bagi sebagian orang, perasaan bahwa dia mengenal seorang selebritas secara pribadi bisa bertahan setelah momen itu berakhir. Dan hal inilah yang disebut sebagai hubungan parasosial.

Seseorang yang memiliki hubungan parasosial akan tetap merasakan “kedekatan” dengan idolanya, bahkan ketika dia sedang tidak berinteraksi dengan sang idola. Sebagai contoh, sang fans mungkin akan tetap memikirkan idolanya dalam kehidupan sehari-harinya: membayangkan apa yang sang idola pikirkan atau rasakan. Contoh ekstremnya, seorang fans bisa merasa bahwa dia memiliki hubungan khusus dengan sang idola.

Alhasil, seseorang yang menjalin hubungan parasosial dengan idolanya bisa terus menerus memeriksa akun media sosial dari sang idola. Dan jika informasi yang dia dapat dari media sosial tidak bisa memuaskan rasa penasarannya, dalam kasus ekstrem, seorang fans bisa menguntit tokoh yang menjadi idolanya. Perilaku lain yang mungkin muncul ketika seseorang memiliki hubungan parasosial dengan idolanya adalah keinginan agar idolanya mengetahui keberadaannya. Lagi, hal ini bisa mendorong sang fans untuk melakukan hal ekstrem.

Nayeon dari Twice ketakutan karena ada penguntit yang mengikutinya sampai pesawat. | Sumber: Yahoo News

Lalu, apa yang membuat seseorang menjalin hubungan parasosial dengan tokoh yang dia idolakan? Menurut John Felix, psikolog klinis asal Filipina, salah satu faktor yang mendorong seseorang untuk membuat hubungan parasosial adalah rasa kesepian.

Hal ini bukan berarti semua fans dari seseorang selebritas merasa kesepian. Hanya saja, ketika seseorang tidak mendapatkan koneksi dan kedekatan yang mereka inginkan dari orang-orang di sekitar mereka, mereka akan mencoba untuk mendapatkan kedekatan itu dari tempat lain, seperti dari idola yang mereka kagumi.

Hubungan parasosial didefinisikan sebagai hubungan satu arah. Namun, para fans merasa, hubungan mereka dengan idola mereka adalah hubungan dua arah. Perasaan ini muncul karena sebagian selebritas memang sangat terbuka dengan kehidupan pribadi mereka. Dengan bantuan media sosial, seorang idola bisa dengan mudah menunjukkan hal-hal yang dia sukai atau kegiatan sehari-harinya. Dia bahkan bisa melakukan live streaming sehingga fans bisa berinteraksi secara langsung.

Di Twitch, Just Chatting merupakan salah satu kategori yang sangat populer. Padahal, sesuai namanya, di kategori ini, para streamers hanya menghabiskan waktunya untuk mengobrol dengan para penonton dan tidak menampilkan siaran khusus. Dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh bintang media sosial atau streamers.

Just Chatting adalah kategori yang populer di Twitch.

Selebritas ternama di Korea Selatan pun sering memberikan “fans service“. Contohnya, para anggota BTS membuat vlog, mengadakan live streaming, atau mengunggah konten ke media sosial untuk menunjukkan kehidupan sehari-hari mereka. Tak hanya itu, para selebritas K-Pop juga biasanya “membalas” perasaan fans dengan mendedikasikan sebagian waktu/energi mereka untuk fans.

Salah satu hal yang mereka lakukan adalah berterima kasih pada fans dan mengatakan, fans punya peran besar untuk membuat mereka sukses. Dengan begitu, fans akan merasa bahwa mereka punya andil dalam kesuksesan idola mereka. Selain itu, terkadang, para idola di Korea Selatan juga tidak segan-segan untuk menunjukkan intimacy atau kedekatan pada para fans dalam acara meetup. Pada akhirnya, semua hal yang dilakukan oleh para selebritas ini akan membuat para fans seolah-olah mengenal idola mereka di dunia nyata.

Siapa yang Bisa Mengalami Hubungan Parasosial dan Apa Dampaknya?

Pada dasarnya, interaksi atau hubungan parasosial bisa dialami oleh fans dari seorang selebritas, tak peduli apakah selebritas itu merupakan aktor, penyanyi, atau bahkan streamer. Namun, salah satu kelompok fans yang dikenal berdedikasi dan punya kecenderungan untuk menjalin hubungan parasosial adalah fans K-Pop.

Sebelum ada yang salah paham, saya akan tegaskan bahwa menjadi fans dari boybands atau girlbands Korea Selatan bukanlah sesuatu yang salah atau aneh. Saya juga yakin, sebagian besar fans K-Pop memiliki perilaku yang wajar. Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian fans K-Pop memang memiliki perilaku obsesif — sampai muncul istilah sendiri untuk fans tersebut —  dan menunjukkan ciri-ciri memiliki hubungan parasosial.

Ialah Nadya Desita Siregar, lulusan psikologi klinis berumur 25 tahun yang menjadi fans dari boyband, WINNER. Kepada Vice, dia menceritakan pengalamannya sebagai fans yang pernah merasakan hubungan parasosial dengan idolanya. Dia mengaku, sebagai fans, dia ikut merasa senang dan bangga ketika WINNER berhasil mendapatkan pencapaian tertentu. Sebaliknya, ketika grup idola kesayangannya mengalami masalah — seperti skandal atau jatuh sakit — dia juga ikut merasakan sedih atau emosi negatif lainnya.

Boyband WINNER. | Sumber: Wikipedia

Dan Nadya mengaku, terkadang, posisinya sebagai fans WINNER justru menjadi beban mental padanya. Karena, terkadang, dia merasa “tidak pantas” untuk menjadi fans, khususnya ketika dia melakukan sesuatu untuk WINNER, tapi tindakannya itu tidak disadari oleh grup idolanya tersebut. Untungnya, dia kemudian menyadari bahwa perilakunya itu tidak sehat. Dan sekarang, dia dan teman-temannya dari fakultas psikologi membuat Fanpsy, platform edukasi yang bertujuan untuk menciptakan ruang yang aman bagi para fans untuk berbagi pengalaman dan bercerita tentang cara menjadi “fans yang sehat”.

Hubungan parasosial tidak hanya dialami oleh seorang fans pada selebritas di dunia nyata. Dalam jurnal berjudul Parasocial Interaction: A Review of the Literature and Model for Future Research, David C. Giles membagi hubungan parasosial ke dalam tiga tingkat. Tingkat pertama dari interaksi parasosial adalah ketika seorang fans merasa bahwa selebritas yang dia lihat di media massa terasa familier, seolah-olah, sang penonton bisa saja bertemu dengan si selebritas di kehidupan nyata.

Tahap kedua dari interaksi parasosial, menurut Giles, adalah ketika seseorang merasa “mengenal” karakter fiksi yang dimainkan oleh seorang aktor. Dalam kasus ini, interaksi sosial dengan sang aktor memang mungkin terjadi, tapi tidak dengan karakter fiksi yang dia mainkan. Terakhir, interaksi parasosial tahap ketiga mengacu ketika seseorang merasakan kedekatan dengan karakter fantasi atau kartun yang tidak punya representasi di dunia nyata, termasuk NPC dalam video game.

Dalam jurnalnya, Giles juga mengatakan, dari tiga tingkat hubungan parasosial, tingkat ketiga memiliki ikatan yang paling lemah. Dia menjelaskan, hubungan parasosial dengan karakter fiksi akan lebih lemah daripada hubungan parasosial dengan seseorang yang nyata. Namun, dalam jurnal Undertale’s Loveable Monsters: Investigating Parasocial Relationships with Non-Player Characters, Gabriel Elvery mencoba untuk menunjukkan perspektif lain tentang hubungan parasosial dengan karakter fiksi.

Undertale mendapat review yang sangat “glowing”. | Sumber: Steam

Untuk menyangkal pernyataan Giles — bahwa hubungan parasosial dengan karakter fiksi lebih lemah — Elvery menjadikan game indie, Undertale sebagai studi kasus. Ada beberapa alasan mengapa dia memilih game tersebut. Pertama, karena game itu sangat sukses. Saat Elvery menulis laporannya, Undertale memiliki lebih dari 108 ribu reviews di Steam dan sebanyak 96% dari review tersebut masuk dalam kategori “Overwhelmingly Positive”. Kedua, yang lebih penting, sudah menjadi rahasia umum, sebagian fans Undertale menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka memiliki hubungan parasosial dengan karakter-karakter dalam Undertale.

Salah satu bukti bahwa fans Undertale memiliki hubungan parasosial dengan karakter Undertale adalah ketika Mark Edward Fischbach alias Markiplier, seorang Gaming YouTuber, membuat video Let’s Play dari Undertale. Dalam video itu, Markiplier menyuarakan Sans — salah satu NPC di Underrtale — dengan suara yang terkesan kasar. Dan hal ini mengundang protes dari banyak fans Undertale. Tak berhenti sampai di situ, ketika Markiplier mencoba untuk mengambil rute Genocide dan membunuh semua monster yang dia temui,  lagi-lagi, dia mendapatkan banyak komplain dari para fans. Pasalnya, para fans ingin Markiplier untuk mengambil rute Pacifist, yang dianggap sebagai “true ending“.

Oke, bagi Anda yang tidak tahu tentang Undertale, ada tiga opsi rute yang bisa gamer ambil ketika dia memainkan Undertale. Pertama, rute Neutral, yaitu ketika seseorang membunuh sebagian monster yang dia temui. Kedua, rute Pacifist. Sesuai namanya, dalam rute ini, pemain tidak membunuh satu pun monster yang dia temui. Sebaliknya, pemain justru berusaha untuk menjadikan monster dan NPC yang dia temui sebagai teman. Dan terakhir, opsi Genocide, saat pemain membunuh semua monster yang ada di Underworld.

Komentar yang didapat oleh Markiplier. | Sumber: Kotaku

Memang, rute Pacifist merupakan salah satu keunikan Undertale. Karena, di kebanyakan game, kekerasan adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah. Dan banyak fans Undertale yang menganggap rute Pacifist sebagai “cara yang benar” untuk memainkan Undertale. Meskipun begitu, hal itu bukan berarti rute Pacifist adalah satu-satunya cara untuk memainkan Undertale.

Toby Fox, kreator dari Undertale, mendorong para fans untuk tidak membocorkan cerita/gameplay dari Undertale. Dan jika seseorang memainkan Undertale untuk pertama kalinya, tanpa mengetahui bahwa dia bisa mengambil rute Pacifist, kemungkinan besar, dia akan membunuh beberapa monster sebelum dia sadar bahwa dia bisa melewati pertarungan dengan monster tanpa harus membunuh mereka. Hal ini menunjukkan, kreator Undertale sendiri pun mendorong para pemain untuk mengeksplorasi game yang dia buat.

Fans Undertale “menyerang” pemain yang mengambil rute Genocide tidak hanya terjadi sekali. Selain Markiplier, para pemain Undertale lain yang mencoba untuk mengambil rute Genocide pun kebanjiran komplain. Bahkan, di komunitas Undertale, ada stigma yang melekat pada gamers yang pernah mencoba rute Genocide. Hal ini diungkapkan oleh BabyCharmander, seorang fans Undertale di Discord.

“Ada periode ketika stigma melekat pada pemain yang mengambil rute Genocide — banyak fans yang menganggap, semua pemain yang mengambil rute Genocide memang orang jahat di dunia nyata,” kata BabyCharmander pada Kotaku, melalui Discord. “Saya pernah melihat orang-orang membandingkan gamers yang mengambil rute Genocide dengan pembunuh.” Dia bercerita, dia sendiri pernah mengambil rute Genocide. Dia merasa cukup bersalah karena dia memburu semua monster yang ada di Underworld. Dan perlakuan buruk yang dia terima dari komunitas memperburuk rasa bersalahnya itu.

Fanart buatan BabyCharmander untuk mengatasi stigma atas pemain rute Genocide. | Sumber: Tumblr

Memang, dalam Undertale, jika Anda mengambil rute Genocide, perlakuan para monster di Underworld pada Anda akan berubah. Dalam rute Pacifist atau Neutral, ketika Anda mendatangi kota para monster, Anda masih bisa mengobrol dengan NPC yang ada di kota. Namun, dalam rute Genocide, Anda tidak akan menemukan satu NPC pun di kota, karena mereka sudah melarikan diri. Ketika Anda pergi ke toko untuk membeli items, tidak ada NPC yang menjaga toko. Sebagai gantinya, Anda akan menemukan catatan yang menyebutkan bahwa Anda boleh mengambil items apapun yang ada.

Selain itu, di Undertale, ada dua karakter yang bisa “break the fourth wall” dan berbicara langsung pada pemain dan bukannya Frisk, tokoh utama yang pemain mainkan. Dan memang, ketika pemain mengambil rute Genocide, pemain akan dituduh sebagai orang jahat. Hanya saja, tampaknya, sebagian fans Undertale menanggapi omongan NPC itu dengan terlalu serius.

Tidak ada asap jika tidak ada api. Pastinya, fans punya alasan sehingga mereka merasa bahwa mereka harus “melindungi” para NPC di Undertale dari para gamers yang ingin mengambil rute Genocide dan membunuh mereka semua. Pertanyaannya, apa yang membuat fans Undertale begitu suka dengan karakter yang ada dalam game tersebut?

Elvery menjelaskan, dalam film, game, atau media hiburan lain yang menampilkan monster sebagai karakter, persepsi pemain/audiens tentang monster akan tergantung pada reaksi dari karakter dalam game/film tersebut. Monster bisa digambarkan sebagai anomali menjijikkan yang harus dimusnahkan. Sebaliknya, monster — atau makhluk supernatural lain — juga bisa digambarkan menyerupai manusia.

Di awal Undertale, dijelaskan bagaimana pada awalnya, monster dan manusia bisa hidup berdampingan. Namun, monster bisa berubah menjadi makhluk mengerikan dengan kekuatan tak terbatas jika mereka menyerap jiwa manusia. Hal ini membuat manusia ketakutan dan memutuskan untuk melawan para monster. Pada akhirnya, manusia berhasil mengucilkan monster di Underworld. Meskipun begitu, karakter monster dalam Undertale punya karakteristik unik layaknya manusia.

Toriel yang punya sifat keibuan. | Sumber: Pocket Tactics

Contohnya, Toriel — salah satu karakter yang akan Anda temui pertama kali — adalah seseorang dengan naluri keibuan yang sangat kuat. Tak hanya NPC penting, monster “pasaran” yang pemain temukan dalam perjalanan pun memiliki karakteristik tersendiri. Salah satunya, Whimsun. Meskipun dia adalah seorang monster, Whimsun sangat mudah ketakutan dan sangat sering meminta maaf. Sementara Woshua adalah monster yang mengidap “germophobe“. Dia begitu terobsesi pada kebersihan sehingga dirty jokes membuatnya jijik.

Disadari atau tidak, Whimsun dan Woshua merupakan representasi dari sisi manusia yang tidak sempurna. Whimsun layaknya representasi untuk orang-orang tidak enakan yang kesulitan untuk menolak permintaan orang lain. Sementara obsesi Woshua menyerupai sifat Obsessive Compulsive Disorder (OCD) di manusia. Dan karakteristik yang relatable inilah yang membuat monster-monster di Undertale terasa realistis.

Walau monster-monster di Undertale memiliki sifat unik, Elvery merasa, karakter-karakter itu hanya bisa memicu interaksi parasosial. Karena, pemain hanya akan menemukan monster Whimsun atau Woshua atau monster lainnya sesekali. Elvery percaya, karakter di Undertale yang bisa mengikat pemain dalam hubungan parasosial adalah karakter penting, seperti Sans atau Flowey.

Menurut Giles, hubungan parasosial dengan karakter fiksi yang tidak memiliki representasi di dunia nyata cenderung tidak kuat jika dibandingkan dengan hubungan parasosial dengan selebritas. Namun, Elvery berargumen, karakter dalam game, khususnya Undertale, diprogram sedemikian rupa sehingga perilaku mereka akan berubah, sesuai dengan tindakan yang diambil pemain.

Misalnya, di rute Neutral atau Pacifist, Sans akan memperlakukan pemain dengan kasual, layaknya teman. Namun, di rute Genocide, Sans akan menjadi musuh terbesar para pemain. Selain itu, musik background di game juga akan berubah, menyesuaikan rute yang pemain ambil. Dalam kasus Sans, dia tidak hanya memperlakukan pemain layaknya teman lama, dia juga digambarkan seolah-olah dia punya kesibukan sendiri, di luar interaksinya dengan pemain. Buktinya, dalam adegan ketika Sans mengajak pemain makan di bar, Sans disapa oleh NPC-NPC lain.

Adegan makan bersama di bar dengan Sans. | Sumber: YouTube

Semua hal ini bisa menciptakan ilusi bahwa Sans serta semua karakter di Undertale “hidup”, yang berpotensi untuk memunculkan hubungan parasosial pada pemain. Selain itu, hal lain yang membuat pemain bisa terikat dalam hubungan parasosial dengan NPC penting di Undertale adalah karena pemain bisa bertemu dengan NPC penting itu lebih dari satu kali. Semakin sering pemain bertemu dengan NPC, semakin familier pula NPC tersebut di benak pemain.

Pada akhirnya, Elvery menegaskan bahwa hubungan parasosial dengan karakter fiksi, khususnya NPC game, mungkin terjadi. Dan hubungan itu tidak kalah kuat dengan hubungan parasosial pada fans dari selebritas di dunia nyata. Namun, dia juga menyebutkan, bagaimana hubungan parasosial bisa tercipta pada gamers, hal ini tergantung pada game yang pemain mainkan.

Kegunaan dan Bahaya dari Hubungan Parasosial

Hubungan parasosial memang sering diidentikkan dengan perilaku yang obsesif dari para fans. Namun, sebenarnya, hubungan parasosial tidak melulu berdampak buruk. Salah satu manfaat dari hubungan parasosial adalah mengurangi rasa kesepian, khususnya di masa pandemi, ketika orang-orang kesulitan untuk berpergian untuk bersosialisasi dengan teman dan keluarga.

“Hubungan parasosial bisa memberikan dampak positif, karena ia bisa membantu orang-orang yang merasa agak kesepian atau terisolasi secara sosial. Dan menurut para peneliti, hal inilah yang biasanya terjadi,” kata Weylin Sternglanz, Associate Professor of Psychology di NSU, dikutip dari The Current. “Jadi, kebanyakan hubungan parasosial sebenarnya tidak terlalu berbahaya. Dan hubungan parasosial justru bisa membantu orang-orang yang merasa terisolasi secara sosial, masalah yang dialami oleh banyak orang selama pandemi COVID-19.”

Ilustrasi isolasi sosial. | Sumber: AARP

Lebih lanjut, Sternglanz menjelaskan, hubungan parasosial baru akan menjadi masalah ketika ia menjadi patologis, yaitu ketika seseorang memiliki ilusi bahwa dia memang memiliki hubungan yang nyata dengan idolanya.

Sementara itu, Felix dari Manilla membagi hubungan parasosial ke dalam tiga tahap. Pertama, tahap entertainment-social. Dalam tahap ini, hubungan parasosial tidak lebih dari sekedar “hiburan” bagi para penonton atau fans selebritas. Felix menyebutkan, selama hubungan parasosial seseorang hanya ada di tahap ini, maka dia tidak perlu khawatir. Namun, Felix memperingatkan, fans harus berhati-hati agar hubungan parasosialnya tidak berlanjut ke tahap berikutnya, yaitu intense-personal dan borderline-pathological.

Jika fans memiliki hubungan parasosial yang terlalu kuat pada idola mereka, mereka akan menjadi terlalu sayang atau terobsesi pada sang idola. Dan mereka bisa lupa kalau segala sesuatu yang idola lakukan untuk para fans tidak lebih dari fans service, pekerjaan yang harus sang idola lakukan.

Masalah lain yang mungkin muncul ketika seorang fans terobsesi dengan seorang selebritas adalah dia akan kesulitan untuk bisa membedakan kehidupan nyata dengan fiksi. Dia bisa merasa benar-benar kehilangan atau terluka ketika idolanya melakukan sesuatu yang dia tidak sukai atau berpotensi untuk merusak ilusi bahwa sang fans memang punya hubungan khusus dengan idolanya. Tampaknya, hal inilah yang mendasari larangan untuk berpacaran bagi para idols di Korea Selatan. Tak berhenti sampai di situ, fans sudah terlanjur terobsesi pada seorang idola bisa melakukan hal nekat demi mendapatkan perhatian sang idola.

Fans yang nekat bisa melakukan tindakan kriminal, seperti pencurian identitas. | Sumber: Investopedia

“Saya mendengar cerita dari banyak orang yang saya kenal tentang keinginan mereka untuk membuat idola mereka sadar atau bahkan memvalidasi eksistensi mereka. Dan keinginan tersebut bisa mendorong para fans untuk melakukan tindakan kriminal, seperti penipuan atau bahkan pencurian identitas,” kata Nadya pada Vice. “Selain itu, fans ini juga berisiko terlibat dalam konflik dengan fans lain di media sosial. Konflik biasanya muncul karena perbedaan pandangan dan opini. Berita tentang orang-orang yang di-‘cancel‘ atau menjadi korban doxxing bukanlah hal baru di fandom.”

Kesimpulan

Manusia adalah makhluk sosial. Jadi, wajar saja jika kita selalu berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitar kita, termasuk tokoh yang kita idolakan. Dan, menjadi fans dari seseorang atau sesuatu adalah “jalan pintas” untuk menemukan komunitas. Karena, orang-orang yang memiliki kesamaan cenderung berkumpul bersama. Satu hal yang harus diingat, segala sesuatu yang berlebihan cenderung punya efek yang merusak. Tak terkecuali soal menjadi fans.

Sebagai seorang psikologis, Felix menawarkan nasehat pada para fans: “Jika idola Anda menginspirasi Anda, membuat Anda bahagia, dan menjadikan Anda sebagai orang yang lebih baik, itu bagus. Tapi, Anda harus ingat bahwa jika ketertarikan Anda pada seorang selebritas membuat masalah dalam hidup Anda, Anda harus menganggapnya sebagai tanda masalah.”

Sumber header: Wikimedia

Previous Story

Streamer Habiskan Rp145 juta di Gacha Diablo Immortal, hanya untuk Mendapatkan Zonk

Next Story

Developer Shadow Warrior dan Trek to Yomi Buat Game Aksi Pemburu Vampir, Evil West

Latest from Blog

Don't Miss

H3RO Land dari Bima+, Teman Mabar Anak Esports

Salah satu bentuk dukungan untuk perkembangan esports di tanah air
Review Poco X6 5G Hybrid

Review Poco X6 5G, Performa Ekstrem dan Sudah Dapat Pembaruan HyperOS

Poco X6 membawa layar AMOLED 120Hz dengan Dolby Vision lalu