Keputusan Microsoft untuk mengakuisisi Activision Blizzard sempat menjadi pembicaraan hangat di industri game. Tidak hanya karena besarnya uang yang Microsoft rela keluarkan — sebesar US$68,7 miliar — tapi juga karena Microsoft mengumumkan rencana akuisisi itu ketika Activision Blizzard tengah menghadapi skandal pelecehan seksual.
Menariknya, satu hari setelah Microsoft mengumumkan rencana mereka untuk mengakuisisi Activision Blizzard, Raven Software mengungkap bahwa mereka akan membentuk serikat kerja, lapor The Guardian. Raven Software adalah salah satu studio di bawah Activision Blizzard. Dan memang, keseluruhan pekerja di Raven Software hanyalah sebagian kecil dari Activision Blizzard, yang memiliki pegawai sebanyak hampir 10 ribu orang. Namun, keputusan Raven Software untuk membentuk serikat tetap menarik perhatian banyak orang. Pasalnya, serikat tersebut adalah serikat pertama yang dibentuk oleh pekerja di industri game.
Hal ini menarik saya untuk membahas serba-serbi tentang serikat kerja, dan apakah industri esports memang sudah membutuhkannya.
Pengertian dan Fungsi Serikat
Sebelum membahas tentang apakah serikat memang diperlukan di industri esports, mari membahas tentang definisi dari serikat itu sendiri. Menurut Investopedia, serikat adalah organisasi yang mewakili pekerja untuk melakukan negosiasi dengan perusahaan dan entitas bisnis lain. Sementara Talenta mengartikan serikat pekerja sebagai organisasi perkumpulan para pekerja atau buruh dengan tujuan untuk melindungi hak para pekerja.
Di Indonesia, segala sesuatu tentang serikat kerja juga diatur oleh Undang-Undang. Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang- Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, serikat pekerja atau serikat buruh diartikan sebagai organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Dalam UU No. 21 Tahun 2000 disebutkan bahwa serikat buruh dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok: serikat pekerja di perusahaan dan serikat pekerja di luar perusahaan. Sementara Pasal 14 UU No. 21 Tahun 2000 menyebutkan, seorang pekerja/buruh hanya bisa menjadi anggota dari satu serikat. Jika pekerja tergabung di lebih dari satu serikat, maka dia harus membuat pernyataan tertulis, menyatakan serikat yang dia pilih untuk ikuti.
Idealnya, sebuah serikat bersifat inklusif dan menerima seorang pekerja sebagai anggota tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin, atau bahkan pandangan politik dari orang tersebut. Dalam situs resmi mereka, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) mengatakan, jika sebuah perusahaan sudah memiliki serikat dan seorang karyawan ingin bergabung dengan serikat tersebut, maka pekerja hanya perlu menghubungi pihak pengurus. Setelah itu, biasanya, sang pekerja akan diminta untuk mengisi formulir dan membayar iuran bulanan. Serikat mengumpulkan iuran bulanan — yang nilainya berkisar Rp1-5 ribu — sebagai biaya operasional dari program penyejahteraan anggota.
Serikat kerja dapat membentuk federasi atau konfederasi. Federasi terdiri dari setidaknya tiga serikat pekerja/buruh, sementara konfederasi harus memiliki setidaknya lima serikat pekerja/buruh. Fungsi dari serikat pekerja/buruh juga diatur dalam Pasal 4 Ayat 3 UU No. 21 Tahun 2000. Berikut fungsi-fungsi serikat berdasarkan Undang-Undang tersebut:
- Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial.
- Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya.
- Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak kepentingan anggotanya.
- Sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.
Tentu saja, serikat pekerja juga punya tujuan. Salah satunya adalah untuk membela hak pekerja. Tujuan lain dari serikat pekerja adalah untuk membuka diskusi ketika perusahaan memberlakukan peraturan yang merugikan pekerja. Terakhir, serikat juga bisa membantu dalam menyampaikan aspirasi para pegawai/buruh.
Sejarah Serikat Pekerja di Luar Indonesia
Pergerakan buruh dan pembentukan serikat tidak lepas dari aksi demonstrasi. Kegiatan demonstrasi pertama yang dicatat dalam sejarah terjadi di New York, Amerika Serikat, pada 1978. Ketika itu, para penjahit melakukan demonstrasi karena penurunan gaji. Pada 1794, Federal Society of Journeymen Cordwainers dibentuk di Philadephia, AS. Serikat itu menjadi awal dari kemunculan berbagai organisasi serikat dagang di kalangan pekerja di AS.
Sejak saat itu, serikat untuk para pengrajin mulai bermunculan, menurut laporan History. Salah satu hal yang mereka lakukan adalah menampilkan harga dari produk yang mereka buat dan melindungi industri mereka dari praktek tenaga kerja murah. Serikat para pengrajin ini juga menuntut waktu kerja yang lebih pendek.
Pada 1847, perempuan dan anak-anak di Inggris bekerja selama 10 jam sehari. Sementara di Prancis, para pekerja bekerja selama 12 jam per hari. Di AS, pada 1830-1860, rata-rata, para pekerja bekerja selama 11-12 jam per hari. National Labor Union mengajukan konsep waktu kerja 8 jam per hari pada 1866. International Labor Organization (ILO) didirikan pada 1919. Dengan ini, gerakan untuk mendorong waktu kerja selama 8 jam per hari pun menjadi gerakan internasional. Dari sejarah, kita bisa melihat bagaimana gerakan serikat buruh punya dampak positif pada kondisi kerja para buruh/pekerja.
Berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, harga sebuah produk akan ditentukan oleh jumlah orang yang membutuhkan produk itu dan tingkat kelangkaan dari produk itu sendiri. Semakin langka, semakin dibutuhkan sebuah produk, maka semakin mahal pula harga dari produk tersebut. Sebaliknya, jika jumlah penawaran melebihi jumlah permintaan, maka harga dari sebuah produk akan turun. Hukum permintaan dan penawaran juga berlaku dalam besar gaji yang perusahaan rela bayarkan ke pegawai mereka.
Serikat punya dua cara untuk mempengaruhi besar gaji pegawai di sebuah industri, menurut Investopedia. Pertama, mereka akan membatasi jumlah suplai tenaga kerja. Kedua, mereka akan mencoba untuk meningkatkan permintaan akan pekerja. Satu hal yang harus diingat, karena serikat merupakan perwakilan dari banyak pekerja, maka mereka punya kemampuan untuk melakukan collective bargaining. Dan mereka bisa menggunakan kemampuan itu untuk melakukan negoisasi tentang gaji atau lingkungan kerja pada perusahaan.
Hanya saja, jika serikat meminta perusahaan menaikkan gaji untuk pegawai, perusahaan biasanya akan menurunkan waktu kerja. Alhasil, pekerjaan dengan gaji tinggi akan punya waktu kerja yang relatif singkat. Dan hal ini membuat serikat kesulitan untuk melakukan negoisasi untuk menaikkan gaji pegawai pada perusahaan. Karena itu, biasanya, serikat akan fokus untuk meningkatkan kebutuhah akan tenaga kerja.
Salah satu manfaat konkret keberadaan serikat adalah kenaikan upah bagi pegawai. Pada 2020, Economic Policy Institute (EPI) mengeluarkan laporan yang menunjukkan, para pegawai yang menjadi anggota serikat memiliki gaji yang lebih besar, khususnya bagi pekerja yang berasal dari golongan minoritas. Berdasarkan data EPI, pekerja yang ada di bawah naungan serikat mendapatkan gaji 11,2% lebih tinggi dari pekerja yang tidak mengikuti serikat. Dengan asumsi, kedua pekerja bekerja di industri yang sama dengan tingkat pendidikan dan pengalaman serupa.
Selisih gaji antara anggota serikat dan non-anggota menjadi semakin besar di kalangan pekerja berkulit hitam atau hispanik. Pekerja berkulit hitam yang diwakili oleh serikat mendapatkan gaji 13,7% lebih tinggi dari pekerja yang tidak mengikuti serikat. Sementara di kalangan pekerja hispanik, selisih gaji yang diterima pekerja yang menjadi bagian dari serikat dan tidak mencapai 20,1%.
Meskipun begitu, di AS, minat untuk membentuk serikat buruh mulai turun sejak pertengahan 1900-an. Pada 1983, 20,1% dari seluruh pekerja ikut serta dalam serikat. Pada 2020, angka ini turun menjadi 10,8%, berdasarkan data dari Bureau of Labor Statistics. Kebanyakan pekerja yang memiliki serikat adalah orang-orang yang bekerja di sektor publik — seperti guru, polisi, dan pemadam kebakaran. Sebagai perbandingan, 34,8% pekerja di sektor publik aktif dalam serikat, sementara itu, hanya 6,3% pekerja di sektor swasta yang ikut dalam serikat.
Ada beberapa alasan mengapa dari tahun ke tahun, jumlah pekerja yang tertarik untuk membentuk serikat terus turun di AS. Salah satunya adalah halangan baik dari pemerintah maupun korporasi. Selain itu, kebanyakan pekerjaan manufaktur — yang para pekerjanya sering membuat serikat — juga sudah dipindahkan ke negara-negara dengan upah minimal yang lebih rendah dari AS.
Popularitas serikat kerja juga sempat menurun pada 1955, ketika Perang Vietnam terjadi. Alasannya, karena AFL-CIO, federasi serikat yang mewakili jutaan pekerja, mendukung Perang Vietnam. Dan hal ini membuat banyak aktivis anti-Perang Vietnam berang. Terakhir, alasan mengapa minat untuk membuat serikat menunjukkan tren turun di AS adalah karena penetapan regulasi “hak untuk bekerja” di banyak negara bagian. Berdasarkan regulasi itu, seorang pekerja boleh memutuskan untuk tidak menjadi anggota serikat, tapi serikat tetap harus melindungi pekerja tersebut. Regulasi ini mulai muncul pada tahun 1947.
Kepada Business Insider, Wilma Liebman mengatakan, korporasi biasanya “alergi” pada serikat pekerja. Liebman merupakan pengacara yang pernah menjadi bagian dari National Labor Relations Board di bawah tiga presiden Amerika Serikat, yaitu Barack Obama, George W. Bush, dan Bill Clinton. Korporasi punya alasan sendiri untuk tidak menyukai serikat. Salah satu argumen kritikus serikat adalah keberadaan serikat pekerja akan mempengaruhi keuangan perusahaan. Jika upah minimum pekerja terus naik, tidak tertutup kemungkinan, perusahaan akan harus memanfaatkan jasa outsourcing atau bahkan memecat sebagian karyawan mereka.
Alasan lain mengapa perusahaan tidak suka dengan adanya serikat pekerja adalah karena mereka tidak ingin pihak ketiga melakukan intervensi akan keputusan yang mereka ambil. Sementara itu, pihak yang pro-serikat menyebutkan, serikat merupakan perwakilan dari karyawan. Jadi, serikat pekerja sebenarnya bukan ancaman bagi perusahaan.
Namun, perusahaan juga berargumen, serikat tidak bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya. Argumen ini digunakan oleh Amazon ketika mereka harus berhadapan dengan Retail, Wholesale, and Department Store Union (RWDSU). Pada tahun lalu, RWDSU mewakili pekerja Amazon untuk menghadapi perusahaan raksasa itu.
“Kami percaya, RDWSU tidak mewakili pandangan dari kebayakan pegawai kami,” kata juru bicara Amazon pada Business Insider. “Pegawai kami memilih untuk bekerja di Amazon karena kami memberikan penawaran terbaik di semua pekerjaan yang kami tawarkan.” Dia juga menantang serikat untuk membandingkan kompensasi yang Amazon tawarkan — termasuk gaji, asuransi kesehatan dan kondisi kerja — dengan pekerjaan serupa yang ditawarkan oleh perusahaan lain.
Hanya saja, EPI merilis laporan yang menunjukkan, ketika posisi serikat lemah di industri, muncul kecenderungan bahwa orang-orang bergaji tinggilah yang akan mendapatkan kenaikan gaji. Sebaliknya, saat posisi serikat di industri kuat, maka pekerja dengan gaji rendah-menengah yang biasanya akan mendapatkan kenaikan gaji.
EPI menjelaskan alasan di balik tren tersebut. Ketika posisi serikat kuat di industri, hal ini tidak hanya memberikan dampak positif pada gaji pekerja yang ada di bawah naungan serikat, tapi juga pegawai yang tidak mengikuti serikat. Karena, serikat dapat memasang standar untuk sebuah industri. Dengan begitu, pekerja yang memiliki tanggung jawab yang serupa akan mendapatkan gaji yang setara.
Selain itu, serikat juga cenderung untuk mendorong gaji untuk pekerja yang menerima upah rendah-menengah dan bukannya pekerja dengan gaji tinggi. Harapannya, hal ini akan mengatasi masalah kesenjangan yang ada.
Serikat Pekerja di Indonesia
Di Indonesia, pergerakan buruh muncul sejak 1897. Ketika itu, serikat untuk guru-guru Belanda yang hidup di Indonesia didirikan. Serikat tersebut dinamai Nederland Indies Onderw Genooth (NIOG). Dimulainya pergerakan buruh di Indonesia memang tidak lepas dari perkembangan gerakan buruh di Belanda pada 1860-1870.
Menurut Disnakertrans, pada awalnya, serikat-serikat buruh yang muncul di Indonesia hanya menaungi pekerja kulit putih. Selain NIOG, ada beberapa serikat buruh yang muncul, seperti Statspoor Bond (Serikat Kereta Api Negeri) yang berdiri pada 1905, Suikerbond (Serikat Buruh Gula) yang dibentuk pada 1906, Cultuurbond Vereeniging v. Asistenen in Deli (Serikat Pengawas Perkebunan Deli) pada 1907, dan Vereeniging von Spoor en Tramweg Persnoeel in Ned-Indie (Serikat Buruh Kereta Api dan Trem) pada 1908.
Walau pada awalnya serikat-serikat itu hanya diikuti oleh buruh kulit putih, nantinya serikat-serikat tersebut membuka pintu keanggotaan pada buruh pribumi. Ketika buruh pribumi bertemu dengan buruh berkulit putih, semangat untuk membentuk serikat pun menular ke buruh pribumi. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh mahasiswa pascasarjana Universitas Padjajaran, disebutkan bahwa kesadaran buruh Indonesia untuk bergerak muncul pada 1908. Pergerakan itu dipelopori oleh Bung Tomo.
Pada era ini, pergerakan buruh juga punya semangat nasionalis, yaitu untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Jadi, gerakan buruh saat itu memang tidak lepas dari partai politik. Beberapa partai politik yang mendukung pergerakan buruh saat itu antara lain Serikat Islam, Social Democratische Vereniging, dan Social Democratische Party.
Saat ini, gerakan buruh di Indonesia juga masih tetap ada. Faktanya, Indonesia punya ratusan serikat buruh. Pada 2017, Menteri Ketenagakerjaan mengatakan bahwa Indonesia memiliki 14 konfederasi dan 112 federasi buruh. Dan jumlah konfederasi di tahun itu akan mengalami pertambahan 15 konfederasi baru. Namun, pada 2019, Kata Data menyebutkan bahwa minat pekerja untuk ikut atau membentuk serikat menunjukkan penurunan. Walau, seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, penurunan yang terjadi memang tidak besar.
Di Indonesia, serikat pekerja punya beberapa manfaat. Menurut Talenta, salah satu manfaat serikat adalah menjadi wadah bagi sesama pekerja untuk saling mendukung satu sama lain dalam memperjuangkan hak mereka. Memang, dalam bahasa Inggris ada pepatah: there is strength in number. Ketika para pekerja bersatu di bawah satu wadah, yaitu serikat, mereka dapat menyampaikan aspirasi dan keluhan mereka pada perusahaan dengan lebih efektif.
Manfaat lain dari serikat adalah menjadi pendamping bagi para pegawai ketika mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil di perusahaan. Dan jika pegawai harus menghadapi perusahaan di meja hijau, serikat bisa membantu sang pekerja untuk mendapatkan akses ke bantuan hukum, seperti pengacara.
Salah satu langkah konkret yang serikat pekerja lakukan di Indonesia adalah meminta kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) setiap tahun. Pada tahun ini, Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) meminta kenaikan UMP sebesar 7-10%, walau pada awalnya, mereka ingin meminta kenaikan sebesar 20%. Sebagai ilustrasi, saat ini, UMP DKI Jakarta adalah Rp4,4 juta. Jika kenaikan sebesar 20% disetujui, maka UMP Jakarta akan mencapai Rp5,3 juta. Sementara jika besar kenaikan yang diminta adalah 10%, berarti UMP Jakarta akan mencapai Rp4,8 juta.
ASPEK menjelaskan, mereka memutuskan untuk tidak meminta kenaikan upah sebesar 20% karena mereka khawatir, hal ini akan memberikan dampak buruk pada para pelaku usaha. Mereka juga membahas tentang kenapa mereka akhirnya meminta kenaikan sebesar 7-10%. Angka itu ditetapkan setelah mereka melakukan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di 24 provinsi. Presiden ASPEK, Mirah Sumirat mengatakan, salah satu alasan mengapa serikat meminta kenaikan gaji sekarang — meski pandemi belum sepenuhnya berakhir — adalah karena buruh tidak mendapatkan stimulus dari pemerintah, lain halnya dengan para pelaku usaha.
“Apalagi, di 2021 tidak ada kenaikan gaji, banyak pegawai yang dirumahkan tanpa dibayar karena COVID, Work From Home (WFH) tidak dibayar karena COVID,” ujar Mirah, dikutip dari CNBC. “Buruh kebutuhan hidup semakin bertambah karena online, tapi sekolah SPP bayar terus. Selain itu, pengeluaran banyak: pekerja bayar sendiri PCR dan segala macamnya.”
Apakah Pelaku Industri Esports Perlu Serikat?
Saat ini, di dunia, telah ada banyak asosiasi yang menaungi esports. Tidak jarang, sebuah negara memiliki lebih dari satu lembaga untuk esports, termasuk Indonesia. Faktanya, Indonesia punya setidaknya dua asosiasi esports, yaitu Indonesia Esports Association (IeSPA) dan Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI). Namun, sejauh ini, Indonesia tidak memiliki serikat pekerja untuk pemain profesional atau pelaku industri esports secara umum. Dan setahu saya, di dunia, memang belum ada serikat untuk pekerja esports. Meskipun begitu, beberapa tahun lalu, ide pembuatan serikat untuk pekerja esports sempat dipertimbangkan.
Di 2016, Specialist Esports Lawyer, Bryce Blum merasa, serikat untuk pekerja esports masih belum diperlukan. Alasannya karena ekosistem esports saat itu tidak mendukung pembentukan serikat kerja yang efektif. Belajar dari serikat untuk atlet olahraga tradisional, biasanya, serikat untuk atlet muncul ketika sejumlah atlet bekerja sama untuk memperjuangkan peraturan dan kondisi yang lebih baik. Namun, Blum mengatakan, meningkatkan kualitas hidup atlet sebenarnya bisa dicapai tanpa pembentukan serikat.
“Ada banyak manfaat dari keberadaan serikat, seperti kemudahan untuk mengorganisir segala sesuatu dan posisi pekerja yang lebih kuat, yang sebenarnya bisa dicapai dengan saling mendukung satu sama lain, tanpa harus membentuk serikat,” kata Blum, seperti dikutip dari Red Bull.
Stew Chisam, President dari Hi-Rez Studios, developer game esports Smite, memiliki pendapat serupa dengan Blum. Dia merasa, pekerja esports belum membutuhkan serikat. Meskipun begitu, dia merasa, ekosistem esportsbisa menjadi lebih baik dengan adanya regulasi khusus yang berfungsi untuk memastikan kebutuhan dari para pemain profesional terpenuhi. Dan jika kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka akan ada tindakan yang diambil. Dia menyebut usulan regulasi ini sebagai “Player Bill of Rights”.
Pada Mei 2021, pemerintah Korea Selatan memang mengajukan regulasi untuk melindungi pemain profesional dan pelaku esports lain. Regulasi yang dinamai “Heroes of the Storm Law” itu berfungsi untuk mencegah publisher game esports menutup skena esports dari game mereka secara sepihak, tanpa memberikan peringatan pada pelaku dan komunitas esports. Harapannya, dengan adanya peraturan itu, publisher tidak bisa berlaku semena-mena dan orang-orang yang memang sudah terlanjur menjadikan skena esports dari sebuah game sebagai mata pencarian tidak mendadak terlunta-lunta.
Ketika ditanya tentang bagaimana keberadaa serikat pekerja esports akan mempengaruhi organisasi esports, Shannon ‘SUNSfan’ Scotten, pemilik dari tim Dota 2 Digital Chaos menjawab, keberadaan serikat tidak akan mempengaruhi operasional timnya. “Kami telah menciptakan sistem yang membuat para pemain menjadi untung ketika kami sukses dan sebaliknya,” katanya. Lebih lanjut dia menyebutkan, hubungan antara pemain profesional dan tim merupakan simbiosis mutualisme, yaitu ketika kedua pihak diuntungkan.
Sementara itu, pada 2018, The Esports Observer sempat membahas tentang berbagai kesulitan yang harus dihadapi jika pekerja esports ingin membentuk serikat, khususnya mereka yang ada di Amerika Serikat. Salah satunya adalah terkait regulasi. Di AS, regulasi National Labor Relations Act (“NLRA”) 1935 menyebutkan, serikat hanya bisa dibentuk ketika setidaknya 30% pekerja dari sebuah perusahaan menandatangani petisi, menyatakan bahwa mereka memang ingin membentuk serikat.
Masalahnya, klasifikasi “pekerja” di dunia esports masih cukup rancu. Misalnya, pemain yang ada di bawah manajemen tim profesional bisa dianggap sebagai pekerja dari tim tersebut. Namun, lain halnya dengan pemain profesional yang masih bertanding di tingkat kompetisi universitas. Selain itu, setiap pemain profesional punya kontrak yang berbeda-beda dengan organisasi esports tempatnya bernaung. Kontrak itu biasanya membahas tentang gaji, bonus, tanggung jawab, dan lain sebagainya.
Di AS, memang ada beberapa serikat yang menaungi atlet profesional, seperti National Football League Players Association untuk atlet american footbal atau Major League Baseball Players Association bagi atlet baseball. Satu hal yang harus diingat, NLRA menyebutkan, serikat untuk atlet profesional hanya bisa dibentuk jika setidaknya 30% dari keseluruhan atlet dari olahraga itu setuju untuk membentuk serikat.
Biasanya, serikat untuk atlet terbentuk karena memang perlakuan semena-mena pada atlet, adanya hegemoni kepemilikan tim, atau karena pemain dikekang dengan peraturan yang sangat ketat. Hanya saja, selama ini, atlet esports justru cenderung diperlakukan dengan sangat baik. Walau memang, tetap ada kasus eksploitasi pemain, khususnya bagi pemain muda yang baru mencoba untuk menjadi pemain profesional.
Selain tantanga berupa regulasi, hal lain yang mungkin menyulitkan pelaku industri esports untuk pembentukan serikat adalah aspek teknis. Biasanya, serikat hanya menaungi atlet di satu cabang olahraga. Serikat untuk pemain sepak bola tidak akan menaungi pemain basket dan sebaliknya. Masalahnya, esports memiliki begitu banyak cabang, mulai dari game MOBA seperti Dota 2, League of Legends, Mobile Legends, dan Wild Rift sampai fighting game seperti Street Fighter, Tekken, dan Super Smash Bros.
Jika para pemain dari setiap game esports membuat serikat masing-masing, maka jumlah serikat untuk menaungi pemain profesional akan menjadi sangat banyak. Karena, serikat tidak hanya didasarkan pada cabang olahraga — dalam kasus ini game esports — tapi juga negara tempat pemain profesional berasal.
Penutup
Dalam sejarah, serikat kerja punya peran penting untuk memperjuangkan hak-hak para pekerja, seperti tentang upah dan lingkungan kerja yang layak. Hal ini berlaku hingga sekarang. Hanya saja, sama seperti segala sesuatu yang ada di dunia, serikat juga bisa memberikan dampak negatif, khususnya pada pelaku usaha. Misalnya, jika setiap tahun serikat buruh terus meminta kenaikan gaji minimal, hal ini memang akan menguntungkan tenaga kerja. Namun, kenaikan upah juga akan memberatkan para pelaku usaha.
Industri esports menawarkan tantangan sendiri untuk pembentukan serikat. Salah satunya, beragamnya jenis game esports yang ada. Jika setiap atlet esports dari sebuah game membentuk serikat sendiri, akan ada begitu banyak serikat yang muncul. Selain itu, industri esports adalah industri internasional. Tidak jarang, organisasi esports yang bermarkas dari satu negara melakukan ekspansi dan membuat tim di negara lain.
Tak hanya itu, developer dan publisher dari sebuah game esports juga tidak melulu berasal dari negara tempat sebuah skena esports berkembang. Sebagai contoh, Mobile Legends adalah game esports yang populer di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara. Tapi, developer Mobile Legends, Moonton adalah perusahaan asal Tiongkok. Karena itulah, di industri esports, membentuk serikat — yang biasanya hanya dibatasi oleh negara — bukan perkara mudah.
Tentu saja, selalu ada kemungkinan, di masa depan, pekerja industri esports akan membutuhkan serikat. Namun, tampaknya, saat ini, serikat belum punya tempat di ekosistem esports.
Sumber header: Pexels