Dark
Light
Gold medal on black with blank face for text, concept for winning or success

Diikuti oleh lebih dari 200 negara, Olimpiade adalah salah satu kompetisi olahraga paling bergengsi di dunia. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, minat masyarakat untuk menonton Olimpiade semakin menurun. Seolah itu tidak cukup buruk, umur rata-rata dari penonton Olimpiade pun menunjukkan tren yang semakin tua. Esports — yang digandrungi oleh generasi Milenial dan Gen Z — bisa memecahkan masalah ini. Hanya saja, memasukkan esports ke Olimpiade bukanlah masalah gampang.

 

Jumlah Penonton Olimpiade yang Terus Turun

Di Amerika Serikat, Olimpiade Musim Dingin 2018 disiarkan oleh NBC (National Broadcasting Company). Menurut data dari Sports Media Watch, jumlah rata-rata penonton Olimpiade pada prime time hanya mencapai 22,2 juta, turun 6% jika dibandingkan dengan jumlah rata-rata penonton dari Olimpiade Musim Dingin 2014. Sementara itu, jumlah rata-rata penonton Olimpiade Musim Dingin 2018 justru lebih rendah, hanya 19,9 juta orang, yang merupakan rekor jumlah rata-rata penonton paling rendah sejak 1992, menurut laporan Forbes.

Memang, beberapa tahun belakangan, rating siaran pertandingan Olimpiade terus turun, membuktikan bahwa jumlah orang-orang yang tertarik menonton kompetisi olahraga itu terus berkurang. Sebaliknya, umur rata-rata penonton Olimpiade terus naik, menurut survei yang diadakan oleh Nielsen pada 24 televisi olahraga. Pada 2000, umur rata-rata penonton Olimpiade adalah 45 tahun. Angka ini naik menjadi 50 tahun pada 2006 dan menjadi 53 tahun pada 2016. Seiring dengan turunnya jumlah penonton Olimpiade, begitu juga dengan daya tarik siaran Olimpiade di mata pengiklan atau sponsor.

Umur rata-rata penonton Olimpiade. | Sumber: Lanxiong Sport, via core.ac.uk
Umur rata-rata penonton Olimpiade. | Sumber: Lanxiong Sport, via core.ac.uk

Sebenarnya, umur rata-rata penonton yang terus naik, hal ini juga terjadi di semua kompetisi olahraga tradisional. Sepak bola, salah satu olahraga terpopuler di dunia, pun mengalami masalah ini. Satu-satunya olahraga yang umur rata-rata penontonnya justru turun dalam 10 tahun terakhir adalah tennis perempuan, menurut laporan TechCrunch. Meskipun begitu, umur rata-rata penonton pertandingan tennis di Amerika Serikat tetap tinggi, yaitu 55 tahun. Sebagai perbandingan, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun. Hal ini menunjukkan bagaimana generasi muda lebih suka untuk menonton esports daripada olahraga tradisional.

Seorang artis bisa menjadi figur publik karena dia punya banyak fans. Olimpiade menjadi salah satu ajang olahraga paling bergengsi karena ada banyak orang yang menonton kompetisi tersebut. Jika tidak ada lagi orang yang menonton Olimpiade, maka prestise dari kompetisi itu pun akan hilang. Dan tanpa prestise, siapa yang akan tertarik untuk menyiarkan pertandingan Olimpiade? Atau menjadi sponsor dari acara olahraga tersebut?

Untungnya, International Olympic Comittee (IOC) menyadari masalah ini. Mereka juga telah mengambil beberapa langkah untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu hal yang mereka lakukan adalah dengan menambahkan beberapa olahraga baru yang dianggap disukai anak muda, seperti sport climbing, surfing, skateboarding, karate, dan baseball. Jika dibandingkan dengan olahraga tradisional lainnya — seperti anggar, lempar lembing, atau loncat indah — olahraga-olahraga ini mungkin memang lebih populer di kalangan generasi muda. Hanya saja, jika dibandingkan dengan pertandingan esports, seperti League of Legends atau Counter-Strike: Global Offensive, pertandingan esports masih menang jauh.

 

Bagaimana Esports Bisa Membantu

Pada 2018, ada 737 kompetisi esports besar yang diadakan dengan total penjualan tiket mencapai US$54,7 juta. Sementara itu, pada 2019, jumlah penonton esports mencapai 443 juta orang, menurut Newzoo dan mencapai 454 juta, berdasarkan Statista. Dan seperti yang dapat Anda lihat pada gambar di bawah, jumlah penonton esports menunjukkan tren naik dari tahun ke tahun.

 

Jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo
Jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo

 

Selain itu, penonton esports biasanya datang dari kalangan Milenial dan Gen Z. Mari kita berkaca ke Tiongkok, salah satu negara yang ekosistem esports-nya berkembang pesat. Tiongkok tidak hanya menelurkan banyak atlet esports di berbagai game — mulai dari mobile game seperti Clash Royale sampai League of Legends — pemerintah di Beijing pun sudah mulai mengakui atlet esports sebagai profesi resmi.

Berdasarkan data dari Statista tentang demografi penonton esports di Tiongkok pada 2019, penonton esports paling banyak ada di rentang usia 18-24 tahun. Sekitar 26,2% penonton esports di Tiongkok ada di rentang umur tersebut. Sementara itu, sekitar 21,9% audiens esports memiliki usia di bawah 18 tahun, 23,8% ada di rentang umur 24-30 tahun, 18,6% penonton di rentang umur 30-35 tahun, dan 9,5% ada di rentang umur di atas umur 35 tahun.

Demografi penonton esports di Tiongkok. | Sumber: Statista via core.ac.uk
Demografi penonton esports di Tiongkok. | Sumber: Statista via core.ac.uk

Jika esports masuk dalam Olimpiade, hal ini akan menarik perhatian para penonton muda. Semakin banyak orang yang tertarik untuk menonton Olimpiade, maka semakin menarik ajang olahraga itu di mata sponsor. Namun, yang paling penting, memenangkan hati penonton muda berarti Olimpiade akan tetap relevan di masa depan. Sayangnya, menjadikan esports sebagai cabang olahraga dalam Olimpiade tidak semudah membalikkan telapak tangan.

 

Kenapa Esports Tidak Masuk Olimpiade?

Sebelum sebuah olahraga menjadi bagian dari Olimpiade, maka olahraga itu harus dipatikan memiliki nilai-nilai yang sama dengan Olimpiade, yaitu Excellence, Respect, dan Friendship. Hal ini menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh pelaku esports jika mereka ingin menjadikan esports sebagai bagian dari Olimpiade.

Dalam wawancara menjelang Asian Games 2018 di Jakarta, Thomas Bach, Presiden dari IOC mengungkap, salah satu alasan mengapa esports tidak masuk dalam Olimpiade adalah karena game esports mendukung kekerasan dan diskriminasi, yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Olimpiade. Memang, ada game esports yang tidak menampilkan kekerasan, seperti FIFA atau PES, yang merupakan game sepak bola. Namun, game esports yang populer biasanya memiliki aspek kekerasan, sebut saja Dota 2, CS:GO, dan Mobile Legends.

Meskipun begitu, hal itu bukan berarti esports tidak punya kesempatan sama sekali untuk masuk Olimpiade. Pasalnya, di Olimpiade, ada beberapa olahraga yang mengandung kekerasan, seperti menembak, panahan, tinju, dan taekwondo. Terkait hal ini, Presiden IOC, Bach menjelaskan, olahraga-olahraga itu memang didasarkan pada pertarungan yang nyata. Tapi, semua olahraga tersebut telah diregulasi sedemikian rupa sehingga mereka menjadi “civilized expression” dari pertarungan antar manusia. Jadi, selama pertarungan dalam game esports bisa dibuat agar tidak terlihat seperti senseless killing, maka esports tidak akan melanggar nilai Olimpiade.

Presiden IOC, Thomas Bach.
Presiden IOC, Thomas Bach.

Namun, ada alasan lain mengapa esports tidak bisa masuk ke Olimpiade, setidaknya saat ini, yaitu karena game merupakan produk komersil. Padahal, Olympic Charter dengan tegas melarang untuk menjadikan olahraga atau atlet sebagai alat demi kepentingan politik dan komersil. Memang, ada olahraga yang memiliki nilai komersil tinggi, seperti sepak bola dan basket. Namun, berbeda dengan game, sebuah olahraga tidak memiliki “pemilik”. Sementara dalam esportsgame yang menjadi media pertandingan merupakan produk komersil. Pembuatan, pengoperasian, dan peraturan bermain dari sebuah game sepenuhnya ada di tangan developer dan publisher.

Sama seperti olahraga tradisional kebanyakan, esports memang punya badan organisasi internasional sendiri. Salah satunya adalah International Esports Federation (IeSF), yang didirikan di Korea Selatan pada 2008. Selain itu, juga ada Global Esports Federation (GEF) yang didirikan pada 2019 dengan sokongan dari Tencent. Dan IeSF bisa menghubungi pihak developer terkait game mereka, tapi badan esports itu tidak punya hak untuk mengubah peraturan dalam pertandingan game esports.

Esports juga sudah punya kompetisi sendiri. Dan hal ini bisa menyebabkan tabrakan jadwal. Hal ini terjadi ketika League of Legends menjadi salah satu cabang olahraga eksibisi di Asian Games 2018. Pertandingan Asian Games ketika itu berbarengan dengan babak final dari League of Legends World Championship. Memang, IOC bisa saja mendiskusikan masalah ini dengan pihak developer. Toh masalah ini juga terjadi di sepak bola dan bisa diselesaikan. Satu hal yang harus diingat, setiap game esports biasanya punya developer yang berbeda. Dengan kata lain, jika ada tiga game esports yang masuk Olimpiade, IOC harus membahas masalah ini dengan tiga developer yang berbeda.

Alasan terakhir mengapa esports tak bisa masuk Olimpiade adalah terkait umur hidup sebuah game esports. Berdasarkan regulasi IOC, proses untuk memasukkan cabang olahraga baru akan memakan waktu tiga tahun. Sementara skena esports berubah dengan cepat. Game esports yang tengah populer saat ini mungkin tak lagi populer beberapa tahun ke depan.

Berikut grafik dari popularitas PUBG, CS:GO, dan Rainbow Six: Siege dari Januari 2016 sampai September 2019.

Jumlah peak concurrent players CS:GO dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players CS:GO dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players PUBG dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players PUBG dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players Rainbow Six: Siege dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players Rainbow Six: Siege dari Januari 2016 sampai September 2019.

Tiga grafik di atas menunjukkan bagaimana popularitas sebuah game bisa meningkat atau menurun secara drastis dalam waktu singkat. Karena itu, menentukan game esports yang pantas masuk Olimpiade akan jadi hal yang sangat sulit.

Yohannes Siagian, Wakil Ketua Bidang Atlet, Prestasi, dan IT, Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) memiliki pendapat yang sama. “Game esports belum tentu akan bertahan selama lebih dari 1-2 masa Olimpiade, yang memiliki siklus 4 tahunan. Sehingga sulit untuk membangun konsistensi jangka panjang sebagai event,” kata pria yang akrab dengan panggilan Joey ini ketika dihubungi oleh Hybrid.

“Komunitas esports kadang terlalu sibuk mencari pengakuan dari pihak yang dianggap lebih berwenang atau berwibawa, seperti Olimpiade, sehingga tidak sadar bahwa esports sudah memiliki status yang cukup untuk membuat event sendiri,” jelas Joey lebih lanjut. “Misalnya, Olimpiade ada Olimpiade Musim Panas, Musim Dingin, dan seterusnya. Jika esports memang merasa harus menggandeng Olimpiade, mereka bisa membuat Olimpiade versi esports saja, tidak perlu digabung dengan cabang-cabang lain.” Namun, dia menekankan, jika kegiatan Olimpiade untuk esports digelar, maka pihak penyelenggara harus menentukan regulasi terkait gelar, persyaratan, dan lain sebagainya dengan sangat hati-hati.

Jadi…

 

Perlukah Esports ke Olimpiade?

“Ini perdebatan yang berjalan intens di berbagai tingkat dunia esports. Kalau menurut saya pribadi, tidak penting bagi esports untuk masuk ke SEA Games, Asian Games, atau Olimpiade,” jawab Joey. “Kalau memang masuk, ya bagus. Nilai-nilai dasar Olimpiade memang berlaku di esports, tapi di sisi lain, ada hal-hal fundamental dari esports yang terlalu berbeda.” Salah satunya adalah fakta bahwa game esports merupakan intellectual property dari developer.

Soal penonton, esports telah berhasil mengumpulkan ratusan juta audiens tanpa menjadi bagian dari Olimpiade. Dan ke depan, jumlah penonton esports diperkirakan masih akan naik. Pandemi virus corona tahun ini juga membuat esports menjadi booming. Sementara jumlah penonton Olimpiade terus turun. Namun, bukan berarti tidak ada keuntungan yang didapat oleh industri esports jika competitive gaming menjadi cabang olahraga di Olimpiade.

Salah satu keuntungan yang akan didapatkan oleh esports jika ia masuk ke dalam Olimpiade adalah publikasi. Misalnya, ketika tim League of Legends Tiongkok memenangkan medali emas di Asian Games 2018, kabar ini disiarkan oleh stasiun televisi nasional, mengenalkan esports pada masyarakat yang sebelumnya tak pernah mendengar tentang competitive gaming. Di Indonesia, pencarian akan esports di Google juga melunjak ketika esports menjadi bagian dari Piala Presiden.

Tak hanya itu, masuknya esports dalam Olimpiade atau ajang olahraga bergengsi lainnya akan memberikan citra positif pada esports. Memang, esports kini sudah jadi industri yang besar. Tapi, tak bisa dipungkiri, stigma negatif yang melekat pada esports dan gaming secara umum pun susah hilang. Jika esports menjadi bagian dari Olimpiade, hal ini akan membuat esports bisa diterima oleh masyarakat luas, khususnya oleh orang-orang yang lebih berumur alias generasi Boomers dan Gen X.

Joey setuju dengan hal ini: masuknya esports ke Olimpiade bisa membuat esports diakui oleh generasi Boomers dan Gen X. Hanya saja, dia mengingatkan, saat ini, sebagian besar masyarakat sudah sangat dekat dengan dunia digital. “Orang-orang sudah terbiasa mendengar esports jadi acara khusus, yang jika diiringi dengan promosi dan marketing yang benar, maka akan menjadi acara yang sukses,” ujarnya. “Apalagi, tim esports dan perusahaan/brand yang masuk ke esports sudah sangat ahli dalam marketing dan promosi terkait esports. Pastinya, mereka akan membuat event esports menjadi acara yang besar.”

 

Kesimpulan

Setiap orang pasti punya kelebihan dan kelemahan. Ada orang yang cerdas secara akademis, tapi tidak kuat dalam berolahraga. Atau, ada orang yang memiliki bakat seni, tapi sulit paham pelajaran eksakta. Namun, hal ini tidak menghentikan sebagian orang untuk bisa menguasai semua hal. Saya merasa, esports seperti itu.

Esports telah berhasil menciptakan ekosistemnya sendiri. Saat ini, ada ratusan turnamen esports yang diadakan setiap tahunnya, sementara jumlah penonton esports di global telah mencapai ratusan juta orang. Namun, hal itu tidak menghentikan pelaku esports untuk mencoba masuk ke ajang olahraga campuran, seperti SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade.

Memang, masuknya esports ke SEA Games dan Asian Games membuat esports bisa diterima oleh masyarakat luas. Walaupun begitu, jia esports tak masuk Olimpiade, hal ini tidak akan mematikan esports. Seperti yang disebutkan oleh Joey, tidak semua atlet esports menginginkan kehormatan untuk membawa pulang medali di Olimpiade. Sama seperti tim sepak bola yang lebih ingin memenangkan Liga Champions atau Piala Dunia, tim Dota 2 mungkin lebih ingin memenangkan The International daripada Olimpiade.

Sumber: Forbes, TechCrunch, The Possibility Analysis of Esports Becoming an Olympic Sport, Hybrid, Round Hill Investment

Previous Story

OPPO Umumkan Reno5 5G dan Reno5 Pro 5G, Unggulkan Fitur Videografi

Next Story

Monitor ASUS VY249HE dan VY279HE Diumumkan, Usung Teknologi Eye Care & Perawatan Anti Bakteri

Latest from Blog

Don't Miss

Ada Galaxy Z Flip6 Varian Eksklusif, Edisi Olimpiade – Paralimpiade Paris 2024

Tidak ada yang kebetulan jika acara Galaxy Unpacked Samsung kemarin
Review Poco X6 5G Hybrid

Review Poco X6 5G, Performa Ekstrem dan Sudah Dapat Pembaruan HyperOS

Poco X6 membawa layar AMOLED 120Hz dengan Dolby Vision lalu