Dark
Light

[Music Monday] Mengapa Kita Perlu Peduli dengan Ringback Tones

3 mins read
April 16, 2012

Bagi sebagian orang di Indonesia, ringback tone (RBT) menjadi sebuah isu kontroversial; membuat marah banyak orang dan memisahkan industri terkait hampir dalam situasi pro – kontra. Tetapi sebelumnya, RBT booming dan menjadi tumpuan dari industri musik (masih sampai sekarang, tergantung Anda bertanya pada siapa). Dan tidak hanya industri musik, pertumbuhan dari pasar RBT menjadikan indikasi pertama bahwa Indonesia, sebagai pasar konten digital, adalah berbeda dengan negara lain dan digerakan oleh aturan yang berbeda.

Saya telah menuliskan tentang bagaimana startup di segmen musik telah ada kurang lebih sejak 6-7 tahun ke belakang, dan saya merasa tulisan ini pas sebagai bagian dari seri yang mendikusikan ringback tone (RBT). RBT menjadi populer di Korea untuk mengantikan nada dering yang membosankan ketika Anda menunggu telepon Anda diangkat, RBT (dikenal juga sebagai ‘color ringback tones’, karena nada ini menambahkan ‘warna’ pada nada sambung Anda), teknologi tersebut akhirnya diterapkan di Indonesia pada tahun 2004 ketika Indosat dan Telkomsel mulai membangun layanan RBT mereka dan menawarkannya pada publik pada tahun yang sama. Perusahaan telekomunikasi mendekati label musik untuk memelihara agar layanan ini tetap menarik; negosiasi mengambil tempat dan kesepakatan bisnis tercipta dimana akhirnya mendefinisikan model bisnis untuk RBT di seluruh industri ke depan.

Layanan ini berjuang untuk mendapatkan adopsi seperti layaknya layanan baru lainnya – perubahan konfigurasi, rilisan bertahap perangkat keras, dan usaha yang sangat besar untuk mengedukasi pasar dimulai. Penghasilan tumbuh stabil sampai label musik akhirnya menemukan cara untuk mempromosikan secara baik layanan RBT – dengan menyediakan kode untuk megunduh yang diselipkan pada video klip. Setelah itu layanan RBT naik popularitasnya dari para pengguna awal menjadi produk massal, dan dimulailah balapan untuk jadi yang pertama – sebagai siapa yang bisa menghasilkan uang paling banyak dari RBT. Produk ini digembar-gemborkan sebagai penyelamat industri musik, berubah dari aplikasi teknologi unik menjadi sumber pemasukan yang terandalkan.

Seperti halnya aplikasi teknologi baru lainnya, operator telekomunikasi dan label musik bereksperimen untuk menemukan kombinasi yang tepat dari konten, strategi pemasaran, solusi teknologi, harga, serta mendata respon dari pengguna tentang bagaimana variasi kampanye dan strategi bisa bekerja dengan baik. RBT sendiri tidak hanya menjadi produk musik – meski mendapatkan banyak komentar negatif yang mengatakan bahwa RBT bukanlah musik ‘sebenarnya’, karena pada dasarnya adalah cuplikan lagu berkualitas rendah selama 30 detik – tetapi RBT menjadi produk gaya hidup.

Remaja yang merindukan ekspresi diri berbondong-bondong ke Friendster, Facebook, Twitter, blog dan tentu saja RBT, dengan menempatkan lagu tertentu sebagai RBT untuk menyampaikan pesan atau perasaan tertentu; mirip dengan status pesan yang bisa dilakukan di layanan aplikasi chatting untuk menunjukkan emosi tertentu. Pada masa jayanya, RBT digunakan oleh 10% pengguna mobile di Indonesia – minimun dari 10 juta pengguna, dengan estimasi nilai Rp 30 miliar (sekitar USD 3,2 juta) – per minggu. Sebuah angka yang menggoda untuk industri apapun.

Banyak dari penyedia kontak yang menjual SMS premium, dari layanan astrologi sampai nada dering, mencoba untuk ikut serta di RBT yang sedang berkembang pesat – banyak juga yang mendirikan label musik sendiri dan tim manajemen artis untuk menjamin pendapatan maksimum. Banyak musisi dan band muncul dan mencoba membuat satu lagu hit – banyak juga yang hanya berfokus pada 30 detik paling berharga itu yang bisa orang gunakan sebagai RBT.

RBT yang menggunakan kualitas audio yang rendah dan durasi yang pendek, ditambah dengan turunnya biaya yang dibutuhkan untuk merekam lagu, menyebabkan ratusan band, musisi, dan label musik yang bermunculan ingin masuk ke permainan RBT. Pada dasarnya, jumlah musik yang direkam bertumbuh secara cepat diakibatkan biaya produksi yang rendah, kemudahan untuk memasuki pasar (karena pilihan yang banyak dari label musik dan penyedia konten) serta adanya konsumen yang dimanjakan dengan solusi pembayaran (lewat pulsa atau tagihan telepon). Saya telah membahas tentang bagaimana penjualan RBT terjun bebas dalam waktu yang singkat pada bulan Oktober 2011, jadi saya tidak akan membahas lagi.

RBT tidak pernah menjadi produk musik untuk semua jenis pendengar musik, seperti halnya vinyl yang tidak bisa diapresiasi oleh semua orang – setiap produk musik, termasuk layanan musik digital, akan memiliki ceruk utama yang akan mereka layani. Trik bagi industri musik adalah dengan mengembangkan semua produk-produk ini dan memastikan akan mencapai pasar yang layak dan relevan, serta memelihara rantai nilai dari produk yang tersedia bagi berbagai ceruk – mulai dari produk digital sampai dengan produk fisik. Selain itu, jika kita ingin memecahkan masalah dari pasar yang berubah, dimana perilaku pengguna sudah berubah secara total, kita perlu bersiap untuk melihat semua kemungkinan sumber pemasukan dari musik – termasuk RBT- sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar dari musik, dan tidak hanya mengekploitasi teknologi terbaru tapi masih membawa pola bisnis yang lama.

Jika RBT adalah sebuah produk musik yang berubah fungsi menjadi produk untuk mengekspresikan diri, maka perubahan fungsi tentunya akan juga mengambil tempat di produk musik lainnya. Dengan mengetahui bagaimana semua produk dan layanan berada, terutama musik digital (atau jika bisa disebut juga sebagai musik yang dihantarkan via metode digital), akan meredefinisikan bahwa mana industri musik akan tumbuh di era digital. Tetapi ada satu masalah yang belum terpecahkan – bagaimana prinsip hak cipta yang sudah ketinggalan zaman bisa beradaptasi pada sifat fleksibilitas dari media digital. Tetapi perkembangan kelihatannya sudah menuju ke arah yang benar.

Ario bekerja di industri musik Indonesia dari tahun 2003 sampai 2010, ia kini bekerja di industri film dan TV di Vietnam. Anda bisa follow akunnya di Twitter – @barijoe atau membaca blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

5 Comments

  1. Hmm boomingnya caranya ga bener bos, gimane ga booming kalo semua pelanggan hape “dipaksa” berlangganan … Buktinya skrg setelah terrkena “reset” ulang oleh operator ga ada lagi yg mau langganan RBT, terbukti boomingnya caranya salah.

  2. wah, kebetulan website saya bergerak di bidang layanan musik, bukan musik bajakan tentunya… 🙂

    btw, terimakasih atas tulisan anda ini… 🙂

  3. menurut gue, karena beberapa pemain ‘nakal’, yang kena imbas satu industri. RBT pada saat growthnya alami dan menanggapi permintaan dari publik. Nah pas mencoba mempertahankan tingginya permintaan, ada yang berbuat ‘nakal’. Sistem kena abuse. ya akhirnya memang yang sebenarnya mau menggunakan RBT jadi nggak mau lagi sekarang. Sayang.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

Is There a Need to Reboot Koprol?

Next Story

Another One from Agate Studio, Blob Blob Battle

Latest from Blog

Don't Miss

Mencermati Tempat NFT Di Industri Musik

Tak lama setelah lulus kuliah, saya sudah bekerja di industri
Meskipun platform streaming musik lokal masih sulit bersaing dengan platform global, podcast mungkin menjadi penentu masa depan platform musik.

Lagu Sendu untuk Aplikasi Streaming Musik Lokal

Peta persaingan aplikasi streaming musik di Indonesia hari ini ramai