Indie Games Accelerator (IGA) adalah program baru Google yang baru dilaksanakan pertama kalinya mulai tahun 2018 ini. Setelah melalui seleksi yang ketat, 30 studio game dari India, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Filipina, Singapura, Thailand, serta Vietnam berkumpul untuk mendapat bimbingan dari para developer veteran mancanegara. Mereka juga mendapat berbagai fasilitas dari Google, seperti pelatihan leadership dan akses ke berbagai tools.
Salah satu developer peserta dalam program Indie Games Accelerator 2018 adalah Niji Games yang berasal dari Indonesia. Hybrid mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Nikko Soetjoadi, co-founder sekaligus CEO Niji Games yang hadir di markas Google Asia Pacific di Singapura. Apa saja pelajaran yang didapat Niji Games dari Indie Games Accelerator 2018, dan bagaimana program tersebut mempengaruhi kesuksesan game buatan mereka?
Kata kuncinya adalah “akses”
Berbicara tentang bootcamp atau pelatihan, kita akan berpikir bahwa hasil terbesar yang bisa dibawa pulang adalah aneka ragam materi pembelajaran dari para pembicara. Hal itu tentu juga ada dalam IGA 2018, karena para peserta mendapat presentasi serta seminar yang bermanfaat. Tapi lebih dari itu, manfaat terbesar program ini adalah akses.
Akses yang dimaksud mencakup banyak hal. Setidaknya ada tiga jenis sumber daya yang didapat oleh para peserta dalam IGA 2018, yaitu:
- Kesempatan bertemu para mentor yang berpengalaman dan dapat memberi feedback tepat sasaran
- Akses berbagai tools dan data milik Google seputar pengembangan mobile game
- Koneksi ke berbagai pelaku industri game—baik sesama developer, penerbit, hingga investor—yang berpotensi menjadi kerja sama jangka panjang
“Kita bisa cerita studio kita lagi gimana, game kita lagi gimana, challenge yang kita hadapi kayak gimana,” ujar Nikko. Berbeda dengan kelas workshop biasa di mana satu mentor menangani banyak peserta sekaligus, mentorship di IGA 2018 berjalan lebih intim. Peserta bisa bertatap muka dan berdiskusi empat mata dengan masing-masing mentor, sehingga masalah yang didiskusikan pun bisa sangat detail.
“Yang pasti nanti semua developer akan punya akses ke resource punya Google ini. Kita akan dikasih informasi-informasi yang lumayan sensitif, yang cuman mereka kasih buat partner-partner. Kedua, kita belajar dari pengalaman-pengalaman Google dan mentor. Gimana sih startup itu? Gimana cara bikin game yang bagus, begitu,” lanjut Nikko. Informasi yang didapat selama IGA 2018 adalah informasi yang sifatnya paten. Artinya manfaat informasi tersebut tidak hanya terasa beberapa waktu setelah bootcamp, tapi merupakan bekal yang bisa dimanfaatkan jauh di masa depan.
Menariknya, ketika dikonfirmasi kepada Marcus Foon (Program Manager Google), ia berkata bahwa sebenarnya data yang diberikan pada para peserta itu bukan termasuk data sensitif. Google memiliki data lengkap tentang performa seluruh game yang ada di Google Play, mulai dari error report, data monetisasi, dan sebagainya. Pada dasarnya yang diberikan pada para peserta adalah insight berkaitan dengan data tersebut. Dengan insight itu, harapannya para developer bisa merilis game dengan kondisi paling optimal.
Walau bukan data sensitif, tentu sulit bagi para developer untuk mendapatkan akses ke insight yang dimaksud dalam kondisi normal. Akses itulah yang difasilitasi Google melalui Indie Games Accelerator. Selain itu, networking yang terjadi di kalangan peserta dan mentor juga merupakan manfaat yang besar. Para peserta telah membentuk komunitas developer indie sendiri, dan beberapa di antaranya bahkan telah menjalin kerja sama. Salah satu peserta berhasil mendapat kontrak penerbitan game di tengah IGA 2018, sementara beberapa peserta lain berinisiatif untuk mendirikan asosiasi developer game indie di negara asalnya.
Menunda perilisan demi feedback
Selama IGA 2018 berjalan, Niji Games sebenarnya tengah mengembangkan sebuah mobile game berjudul Jones: Jomblo is Happiness. Pada awalnya mereka berencana untuk merilis game tersebut di awal bulan November 2018, namun Niji Games memutuskan untuk menunda perilisannya. Alasannya, supaya mereka bisa membawa game tersebut ke IGA 2018 dan mendapatkan feedback dari para mentor.
“Sebenarnya kita mau launching, tapi ditahan. Tunjukin ke mentornya dulu, minta feedback, tunggu dapat ilmu dulu,” tutur Nikko. Benar saja, ternyata banyak hal yang berubah setelah game tersebut dibawa ke IGA 2018. “Beberapa bagian, terutama bagian depannya banyak yang kita ubah.”
Bagian depan yang dimaksud adalah pembukaan game dan bagian tutorial. Jones: Jomblo is Happiness sebenarnya bukan game dengan sistem permainan rumit, hanya berupa sejenis visual novel. Namun pemain akan dihadapkan pada banyak pilihan yang mempengaruhi ending. Tutorial yang baik dapat membantu pemain lebih mengerti aturan dalam game, sehingga mereka tidak melakukan kesalahan dan mendapat ending yang buruk.
Niko melanjutkan, “Mengubah itu juga makan waktu, hampir telat kita. Sampai hari ini kita kebut ya, dan baru selesai kemarin sebetulnya. Kita launching supaya available buat acara ini.” Jones: Jomblo is Happiness akhirnya dirilis pada tanggal 27 November 2018, hanya sehari sebelum acara puncak IGA 2018 yaitu upacara kelulusan di tanggal 28.
Perubahan tersebut membawa hasil sangat positif. Setelah perilisannya, Jones: Jomblo is Happiness berhasil menjadi salah satu game premium terlaris di Google Play, bahkan menduduki peringkat 6 daftar Top Paid Games. Menurut Nikko, 99% pembeli berasal dari Indonesia, tapi mereka tidak terpaku pada pasar lokal saja. “Kalau di Niji kita menjamah dua-duanya sih, lokal dan global,” katanya. “Kita sudah siapin localization ke bahasa Inggris, jadi orang luar juga bisa main.”
Lebih percaya diri menjalankan perusahaan
Indie Games Accelerator 2018 bukan hanya soal bagaimana cara membuat game yang bagus. Lebih dari itu, Google ingin program ini dapat menelurkan perusahaan-perusahaan game yang kokoh dan sustainable untuk jangka panjang. Karena itulah mereka juga memberikan pelatihan bisnis, motivasi, leadership, recruitment, dan sebagainya. Google juga memberikan materi manajemen berbasis OKR (Objective and Key Results) sebagai salah satu cara menjalankan perusahaan.
Namun itu bukan berarti Google mewajibkan semua peserta untuk menjalankannya. Niji Games termasuk perusahaan yang tidak melakukan perubahan sistem manajemen, namun ada juga developer negara lain yang melakukan perubahan drastis dan mengaku hasilnya sangat baik.
Lalu apa perubahan yang dirasakan oleh Niji Games sendiri setelah IGA 2018? “Mungkin lebih pede ya,” jawab Nikko. “Punya confidence gitu. Kita ada ilmu baru, kita ada network, jadi kalau kita ngerjain produk, atau approaching investor, atau apa, gitu lebih bisa ngomong.” Niji Games memang tergolong perusahaan game yang sudah cukup lama berdiri di Indonesia. Mereka sudah beroperasi sejak tahun 2015 dan sejauh ini cukup stabil, jadi belum membutuhkan perubahan sistem manajemen yang drastis.
Nikko juga mengaku tidak begitu khawatir dengan persaingan di dunia mobile game yang kini semakin ketat. Memang banyak game besar meledak di pasaran, seperti Mobile Legends atau PUBG Mobile, tapi itu tidak begitu mempengaruhi Niji Games. “Indie punya market sendiri. Game yang kita bikin kan bukan Mobile Legends. Kita nggak nyaingin mereka, tapi lain.”
Ke depannya, Niji Games berencana untuk merekrut kru tambahan sebagai tenaga programmer. Mereka kini tengah mengembangkan lima game, dan salah satunya direncanakan untuk terbit di tahun 2019. Niji Games juga terbuka dengan kemungkinan pengembangan game di platform selain mobile, tapi itu semua tergantung kondisi. “Kalau ada ide produk yang tepat kita open sih untuk membuat game di console atau PC. Tergantung jenis game-nya, sama tergantung nanti timnya. Soalnya dunia itu kan dunia asing ya, kita belum punya pengalaman dan semua belajar dari nol,” demikian jelas Nikko.