Dari awal kemunculannya, esports memang sering disandingkan dengan olahraga tradisional. Beberapa kompetisi esports bahkan telah menggunakan model serupa dengan olahraga tradisional, seperti model franchise yang digunakan oleh Mobile Legends Professional League (MPL). Di luar negeri, beberapa liga telah menerapkan sistem kandang-tandang, seperti Overwatch League dan Call of Duty League. Penonton esports juga digadang-gadang akan terus naik dari tahun ke tahun, menyaingi olahraga tradisional.
Hanya saja, ada satu perbedaan antara pertandingan olahraga tradisional dan esports, setidaknya di Indonesia, yaitu soal tiket menonton. Jika Anda ingin menonton pertandingan sepak bola di Gelora Bung Karno, antara klub lokal sekalipun, Anda pasti harus membayar tiket. Namun, lain halnya dengan turnamen esports. Saat ini, kebanyakan turnamen esports masih mengizinkan penonton untuk datang secara gratis. Memang, ada beberapa kompetisi yang mencoba menawarkan tiket berbayar, tapi terkadang, hal ini justru membuat jumlah penonton turun.
Apakah Turnamen Esports Offline Penting?
Pandemi virus corona memaksa banyak kompetisi olahraga dibatalkan, mulai dari balapan sampai liga sepak bola. Untungnya, kompetisi esports masih bisa diadakan secara online, meski ada beberapa kendala yang harus diselesaikan. Memang, pertandingan esports sebenarnya bisa diadakan secara online sepenuhnya. Pertandingan bisa diadakan selama para peserta terhubung ke internet. Sementara untuk menyiarkan pertandingan itu, pihak penyelenggara bisa memanfaatkan berbagai platform streaming game seperti YouTube, Facebook Gaming, dan Twitch. Meskipun begitu, bukan berarti turnamen esports tak perlu digelar offline.
Salah satu masalah ketika turnamen esports diadakan secara online adalah ping yang tinggi, terutama jika pertandingan mempertemukan dua tim yang berada di negara atau bahkan benua yang berbeda. Masalah lainnya adalah soal validitas pertandingan. Saat pertandingan esports diadakan secara offline, pihak penyelenggara bisa memastikan bahwa tidak ada pemain yang bermain curang, bahwa semua perlengkapan yang digunakan peserta tidak dimodifikasi. Jika pertandingan diadakan secara online, penyelenggara harus mengambil langkah pencegahan seperti mendatangkan pengawas ke tempat tim berlaga.
Sekalipun semua masalah teknis di atas bisa diselesaikan, tetap ada alasan untuk menyelenggarakan turnamen esports secara offline. Apa itu? Sensasi. Di era serba internet ini, Anda dapat dengan mudah menemukan video konser dari band favorit Anda di YouTube. Pertandingan olahraga bergengsi — seperti Piala Dunia — juga pasti disiarkan di televisi. Namun, hal ini tidak menghentikan orang-orang untuk datang ke konser Maroon 5 atau pergi jauh-jauh ke negara tempat Piala Dunia diselenggarakan. Padahal, jelas jauh lebih mudah dan nyaman untuk menonton konser/pertandingan sepak bola dari rumah. Begitu juga dengan turnamen esports.
CEO Mineski Global Indonesia, Agustian Hwang juga setuju dengan pengalaman event offline yang tidak dapat disuguhkan lewat online. “Kalau menurut pandangan saya, kiblat esports adalah olahraga konvesional lainnya, seperti sepakbola. Walaupun pertandingan sepakbola dapat dinikmati melalui televisi ataupun platform online lainnya, ada beberapa experience yang tidak dapat dinikmati secara online seperti atmosfer pertandingan saat memberikan dukungan langsung tim yang bertanding, kesempatan meet and greet dengan pemain ataupun figur-figur esports, koleksi merchandise event maupun team, dan masih banyak lagi.” Jelasnya.
“Menonton secara online dan offline itu sangat berbeda. Hype yang diciptakan saat menonton offline jauh lebih asik daripada saat menonton online saja,” kata Reza Ramadan, Head of Broadcast and Content, Moonton saat dihubungi melalui pesan singkat. Dia juga menjelaskan tentang pentingnya penyelenggaraan turnamen esports offline bagi pihak penyelenggara turnamen. “Turnamen offline tetap dibutuhkan karena berfungsi untuk menjembatani berbagai pihak seperti para fans yang ingin menonton tim kesayangannya secara langsung dan punya chance besar untuk bertatap muka serta aktivasi untuk sponsor sehingga mereka bisa berinteraksi secara langsung dengan para audiens.”
Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV juga mengatakan hal yang sama. “Pengalaman yang didapatkan oleh pemain dan penonton pastinya beda banget, antara offline dan online,” ujarnya saat dihubungi oleh Hybrid.co.id. “Adrenalinnya, euforianya, ajang temu kangen sama teman-temannya, pengalaman bisa foto bareng pemain profesional, teriak-teriak taunting lawan, dan pastinya bentuk apresiasi ketika juaranya nyata dan disaksikan oleh ribuan pasang mata lainnya.”
Dia membandingkan turnamen esports offline dengan konser musik. Selama sebuah kegiatan offline masih bisa memberikan pengalaman yang unik, maka para penonton akan tetap tertarik untuk datang. “Dan pada dasarnya, sebagai manusia, kita adalah makhluk komunal. Jadi, pastinya interaksi dengan orang-orang yang punya ketertarikan yang sama (yang datang ke turnamen esports juga) bakal jadi sebuah nilai plus,” katanya.
Kenapa Penonton Esports Indonesia Enggan Membayar Tiket?
Jika dibandingkan dengan menonton secara online, turnamen esports offline memang dapat memberikan pengalaman yang unik bagi para penontonnya. Namun, hal itu bukan berarti para penonton rela untuk membayar tiket demi menonton. Irli memperkirakan, saat ini, 9 dari 10 turnamen esports di Indonesia bisa ditonton secara gratis.
“Kalau pun berbayar, biasanya penonton dapat reward produk yang nilainya sama dengan harga tiket,” kata Irli. Contohnya, dalam Dunia Games League, penonton yang membeli tiket masuk juga akan mendapatkan kartu SIM Telkomsel berisi pulsa dengan nominal yang senilai harga tiket. Contoh lainnya adalah Mobile Legends Professional League. Reza menjelaskan, harga tiket MPL berkisar Rp20 ribu-an. Selain dapat menonton pertandingan MPL secara langsung, orang-orang yang membeli tiket juga akan mendapatkan in-game items senilai dengan tike tersebut.
“Hal ini demi mengajarkan fans esports di Indonesia ‘kebiasaan’ membeli tiket,” ujarnya. Memang, salah satu faktor mengapa kebanyakan turnamen esports tidak menjual tiket adalah karena penonton esports yang sudah terlanjur terbiasa datang ke acara tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun untuk membeli tiket.
“Kita terbiasa untuk datang ke acara esports dengan gratis. Dan kebanyakan orang yang datang pun memang orang-orang yang mau menonton pertandingannya saja,” ungkap Irli. “Karena marketnya masih berkembang dan animonya masih luar biasa untuk menarik orang-orang datang ke acara offline, jadi tidak diperlukan banyak compliment show atau hiburan lain selain game itu sendiri. Sehingga, penyelenggara tidak punya banyak opsi dalam melakukan eksperimen terkait acara yang mereka adakan.”
Irli menjelaskan, karena kebanyakan penonton datang untuk menonton pertandingan antara tim esports, jika penyelenggara mengadakan hiburan lain — misalnya, mengundang penyanyi sebagai acara pembuka atau penutup — hal itu justru menjadi sia-sia. “Sering kali, ketika guest star-nya tampil, penonton malah sudah bubar,” aku Irli. “Jadi, dari pihak penyelenggara juga tidak bisa memungut bayaran untuk hiburan tambahan. Karena pada akhirnya, penonton datang hanya untuk menonton main event-nya.”
Irli menyebutkan, alasan lain mengapa penonton esports enggan membayar tiket adalah soal ekslusivitas. “Beda dengan panggung hiburan lainnya seperti olahraga atau musik, para tokoh di esports sangat aktif. Kebanyakan dari mereka melakukan livestream dan membuat konten di YouTube serta Instagram, sehingga para fans-nya merasa ‘connected’ hampir setiap hari,” ujar Irli. Karena itulah, bagi para fans, bertemu dengan idolanya di turnamen offline atau event besar tak lagi terasa istimewa. “Nggak spesial, begitulah.”
Menurut Reza, alasan mengapa kebanyakan turnamen esports di Indonesia masih gratis adalah karena pasar esports Tanah Air yang masih muda, sesederhana itu. “Market Indonesia kan bisa dibilang masih baru, jadi perlu diedukasi. Sementara di luar sana, kebanyakan orang sudah terbiasa untuk menjual tiket acara offline secara proper, karena mereka memang sudah start jauh lebih dulu dari Indonesia.”
Irli mengungkap, target audiens dari sebuah turnamen esports juga akan memengaruhi harga tiket. “Ketika ada event internasional untuk game PC, dengan pemain yang rata-rata lebih dewasa, mereka akan lebih bersedia membayar ekstra untuk mendapatkan pengalaman eksklusif, bertemu dengan pemain profesional idola mereka dari luar negeri,” jelas Irli. “Sementara untuk mobile game, dengan audiens yang lebih muda, mereka kebanyakan belum punya buying power yang cukup dan masih mikir macam-macam kalau mau datang ke event.”
Namun, Agus memiliki pendapat yang berbeda. Dia berkata, pantas atau tidaknya sebuah turnamen esports menjual tiket tergantung pada kualitas dari acara itu sendiri. “Menurut pandangan saya, untuk memungut bayaran dari ticketing akan tergantung pada kualitas dari event dan fitur apa saja yang ditawarkan pada audiens sehingga mereka rela untuk spending. Jadi, kaitannya bukan dari segi target audiensnya, tapi dari segi value yang dapat diberikan dari event tersebut untuk audiens,” ujar pria yang akrab dengan panggilan Agus ini.
Sementara dari sudut pandang pihak penyelenggara turnamen, mereka juga punya alasan sendiri mengapa mereka memilih untuk tidak menjual tiket. “Alasan utamanya mungkin adalah untuk mengejar target jumlah audiens yang datang, yang ditetapkan pihak sponsor,” ujar Irli. Dia menjelaskan, biasanya, pada tahap pengajuan proposal pada sponsor, pihak penyelenggara akan menjanjikan bahwa acara mereka akan mendatangkan sekian banyak penonton. Jika penyelenggara turnamen menjual tiket, ada kemungkinan jumlah penonton yang datang justru turun dan tidak mencapai target. “Sehingga, jika dirasa biaya produksi sudah ditutup oleh uang dari sponsor, tidak perlu lagi menjual tiket untuk mendapatkan revenue.”
Apakah Turnamen Esports Offline di Indonesia akan Terus Gratis?
Saat ditanya apakah di masa depan, turnamen esports offline di Indonesia akan mulai menyediakan tiket berbayar, Irli mengatakan, “Aku yakin, nantinya penyelenggarakan akan menyediakan tiket dan harganya makin lama makin mahal, walau harga juga tergantung pada seberapa eksklusif event-event esports yang diadakan di Indonesia.” Seiring dengan waktu, gen Z yang menjadi target audiens utama turnamen esports mobile game saat ini juga akan tumbuh dewasa, sehingga mereka akan memiliki buying power yang lebih besar. Meskipun begitu, Irli percaya, uang bukanlah sumber utama mengapa turnamen esports di Indonesia tidak menjual tiket pada para penonton.
“Aku percaya, uang sebenarnya bukan faktor utama, walau memang cukup berpengaruh, sesuai target market game itu sendiri. Faktor utamanya adalah habit yang terbentuk di kalangan penonton,” ujar Irli. “Acara-acara esports besar di Indonesia, seperti MPL, PMPL, dan Free Fire itu gratis. Sebuah kompetisi level tertinggi dari sebuah game diadakan secara gratis dan acara itu diadakan resmi oleh publisher-nya sendiri. Jadi, saat ini, yang pegang kendali adalah para publisher. Mereka yang mengatur tren terkait game mereka.” Jika turnamen resmi yang diadakan oleh pihak publisher gratis, maka penonton akan berpikir bahwa turnamen yang diadakan oleh pihak ketiga seharusnya juga gratis. Apalagi, jika acara tersebut tidak lebih baik atau megah dari turnamen yang diadakan oleh publisher.
Reza menjelaskan, saat ini, Moonton sudah menyediakan tiket untuk MPL. Namun, tiket bukan merupakan sumber pemasukan. “Saat ini, kami menyediakan tiket demi mengedukasi fans esports untuk berkomitmen dan menghindari overcapacity di satu arena,” ujarnya. “Contoh kasusnya adalah saat MPL Season 4. Antusiasme fans yang sangat luar biasa mengharuskan kami untuk menahan mereka di luar stadion. Dan kami mengerti kekecewaan mereka: sudah datang jauh-jauh tapi tidak kebagian kursi atau bisa masuk ke dalam stadion. Dan jumlahnya tidak sedikit, mencapai ribuan. Kami ingin mengatasi masalah tersebut. Salah satunya dengan ticketing.”
“Untuk pemasukan, ada banyak sekali sumbernya. Salah satunya adalah sponsorship dari berbagai pihak. Seperti di Season 5, kami punya Realme dan NimoTV sebagai sponsor utama kita,” jawab Reza ketika ditanya tentang sumber pemasukan bagi penyelenggara turnamen esports. Lebih lanjut dia mengungkap, jika dibandingkan dengan sumber pemasukan utama, seperti sponsorship, potensi pemasukan dari penjualan tiket tidak terlalu signifikan. Jadi, tidak heran jika penyelenggara tak terlalu mengejar penjualan tiket turnamen esports, setidaknya untuk saat ini. Soal pendapatan, Agus menambahkan, selain pemasukan dari sponsor, acara esports juga bisa mendapatkan pemasukan dari penjualan merchandise dan juga hak siar.
Irli mengatakan, total pemasukan penyelenggara dari penjualan tiket hanya akan mencapai sekitar 10-25 persen dari total pendapatan mereka. “Misalnya, harga rata-rata tiket Rp50 ribu. Dengan kapasitas Tennis Indoor Senayan untuk seatings dan festival adalah 4 ribu orang, maka jumlah pemasukan maksimal yang didapatkan oleh penyelenggara adalah Rp200 juta per hari. Biasanya, acara diadakan selama 2 hari, jadi total pemasukan dari penjualan tiket adalah Rp400 juta, maksimal. Sementara menyewa Tennis Indoor untuk acara dua hari memakan biaya sekitar Rp440 juta, ditambah biaya sewa waktu instalasi dan tear down sekitar Rp200 juta-an lagi. Belum lagi biaya produksi yang diperlukan untuk memasang panggung dan lain-lain. Secara total, mengadakan acara selama 2 hari di Tennis Indoor bisa menghabiskan biaya minimal Rp2 miliar,” ungkap Irli panjang lebar.
Lebih lanjut, Irli mengatakan, salah satu kelemahan penggunaan tiket berbayar adalah jumlah penonton yang terbatas. Masalahnya, orang-orang yang telah membeli tiket pasti ingin bisa datang dan pergi sesuka hati mereka. Sementara, acara esports biasanya berjalan selama sekitar 8 jam dalam sehari. Menurut Irli, penjualan tiket justru bisa berdampak negatif pada audiens offline. “Mungkin mereka baru datang sore ketika pertandingan mulai memanas. Mungkin, mereka juga datang di awal, tapi tim favoritnya gugur, sehingga mereka pulang terlebih dahulu. Hal ini membuat stadion terlihat ‘kosong’, seolah-olah tak ada penonton yang datang,” ujarnya. Padahal, pihak penyelenggara tak mungkin menjual kembali tempat duduk yang telah dibeli karena sewaktu-waktu, pemilik tiket bisa kembali datang.
“Saat ini, kebanyakan penyelenggara turnamen esports yang audiesnya besar, seperti MPL dan Free Fire, menggunakan sistem rolling,” jelas Irli. “Setiap pertandingan, 4 ribu orang akan masuk ke stadion dan duduk. Ketika ada istirahat antar match dan orang-orang keluar, para penonton yang masih mengantre akan dipersilahkan masuk, begitu terus hingga selseai. Sehingga, pada akhirnya, walau Tennis Indoor kapasitasnya hanya 4 ribu orang, jumlah audiens yang menonton bisa mencapai 12-16 ribu orang per hari. Dan hal ini akan membuat sponsor senang. Mengingat sebagian besar sumber pemasukan datang dari sponsor, ya mau nggak mau, penyelenggara harus buat mereka senang.”
Bagaimana Bentuk Kerja Sama dengan Sponsor?
Seiring dengan semakin populernya esports, semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor, termasuk merek non-endemik, seperti merek makanan atau perusahaan otomotif. Tentu saja, masing-masing perusahaan punya tujuan sendiri untuk menjajaki esports. Karena itulah, Reza mengatakan, bentuk kerja sama antara sponsor dan penyelenggara turnamen juga biasanya berbeda-beda. “Misalnya, pada MPL Season 5, kita punya sponsor Realme dan Nimo TV. Bentuk kerja sama kami dengan keduanya tentu jauh berbeda, walau benefit bagi mereka mungkin ada yang mirip, seperti placement logo. Meskipun begitu, objektif dari setiap sponsor ketika mereka menjalin kerja sama dengan kami pasti berbeda-beda.”
Sementara itu, Irli mengatakan, salah satu jenis bentuk kerja sama yang diinginkan oleh kebanyakan sponsor adalah adanya experience booth di tempat turnamen. Di booth tersebut, para penonton akan bisa langsung mencoba produk dari milik sponsor. “Tapi, kebanyakan, sponsor berharap penyelenggara akan bisa memberikan solusi ke mereka: kegiatan apa yang bagus untuk audiens esports,” ujarnya. Sayangnya, tidak semua penyelenggara memerhatikan hal ini. Dia berkata, ada banyak EO yang berpikir, “Yang penting sponsor mendapatkan eksposur” tanpa memerhatikan apakah keuntungan yang didapat sponsor maksimal atau tidak. Hal ini akan berdampak buruk karena menyebabkan sponsor kapok untuk kembali menjalin kerja sama di masa depan.
Namun, penyelenggara tak bisa hanya memuaskan sponsor tanpa memedulikan kepuasan pengunjung. “The worst thing that can happen to the audience adalah ketika mereka datang ke acara offline dan disodorin produk sponsor gede-gede ke muka mereka,” kata Irli. “Mereka datang untuk lihat tim esports, bukan untuk dipaksa beli barang sponsor. Organizer harus memikirkan cara dan bahasa yang cocok sama target market-nya, untuk memastikan audiens merasa produk sponsor sesuai dengan ketertarikan mereka dan memang mendukung game terkait.”
Kesimpulan
Pada dasarnya, esports memang kegiatan digital. Pertandingan esports bisa dilakukan secara online, tanpa mengharuskan para peserta bertatap muka. Namun, turnamen esports offline tetap memberikan pengalaman yang berbeda, sehingga tetap ada orang-orang yang lebih memilih untuk menonton pertandingan esports secara langsung daripada sekadar melalui online.
Hanya saja, kebanyakan turnamen esports offline belum menjual tiket berbayar. Ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi, mulai dari pasar yang belum matang, masyarakat yang sudah terlanjur terbiasa menonton gratis, sampai masalah eksklusivitas sebuah acara. Ke depan, seiring dengan berkembangnya esports, tak tertutup kemungkinan penyelenggara turnamen esports akan menjual tiket berbayar.
“Menurut saya, Indonesia punya potensi paling besar dibandingkan negara lain di wilayah SEA dalam perkembangan esports-nya. Jadi ketika tren sistem turnamen home-away muncul saya yakin Indonesia yang akan menjadi negara pertama yang akan implementasi.” Tutup Agus.
Sumber header: ESL via Fortune