Sudah hampir satu bulan berlalu sejak Mobile Legends Professional League Indonesia Season 6 selesai. Walau demikian, sepertinya masih banyak hal menarik yang bisa dibahas dari salah satu liga esports terbesar Indonesia tersebut. Terakhir kali, Chief Editor kami sempat mengupas di balik konsistensi RRQ yang berhasil menjadi juara sebanyak 3 kali sepanjang sejarah MPL ID berjalan.
Kemenangan RRQ Hoshi di gelaran MPL tentu patut diapresiasi. Apresiasi tersebut jadi perlu dilakukan mengingat hanya segelintir tim esports bisa tampil konsisten dari musim ke musim. Sejauh ini mungkin hanya Bigetron RA saja yang konsistensinya mirip seperti RRQ Hoshi — meski di berbeda skena esports. Bahkan kalau kita bandingkan dengan olahraga, tim sepakbola yang punya manajemen jauh lebih mapan saja belum tentu bisa konsisten jadi juara atau berada di peringkat 4 besar dari musim ke musim.
Terlepas dari hal tersebut, kemenangan RRQ Hoshi tersebut juga memancing topik obrolan lain. Apakah kemenangan RRQ akan membuat ekosistem liga jadi lebih baik? Pertanyaan tersebut muncul mengingat performa tim 4 besar di MPL (RRQ, EVOS, ONIC, Alter Ego) terbilang terbilang dominan sejak model franchise diterapkan mulai dari MPL ID Season 4. Menariknya, bukan hanya performa baik yang jadi konsistensi di dalam MPL ID. Ada juga tim-tim lain yang terlihat konsisten mengisi papan bawah.
Melihat fenomena ini, saya jadi bertanya-tanya sendiri. Apakah ada yang salah dari sistem kompetisi MPL ID? Apakah perlu sistem baru untuk meningkatkan daya saing tim-tim yang terseok? Kalau iya, sistem seperti apa yang tepat agar tim papan bawah bisa naik kelas? Simak sedikit pembahasan dari saya berikut ini.
AURA Esports dan Geek Fam ID yang Terseok Sejak MPL ID Season 4
Sebelum menuju ke pembahasan, mari saya jelaskan dahulu kenapa MPL ID Season 4 menjadi patokan. Kenapa saya berpikir operator liga perlu meningkatkan daya saing tim papan bawah dan kenapa AURA Esports serta Geek Fam ID yang saya jadikan contoh.
Alasan atas opini saya tersebut adalah karena penerapan model Franchise di MPL ID Season 4. Dalam model Franchise, tim yang ingin bergabung ke dalam liga harus menginvestasikan sejumlah uang. Sistem tersebut mungkin terdengar baru bagi khalayak Indonesia walaupun model tersebut sudah umum di ekosistem olahraga Amerika Serikat. Dalam konteks MPL Indonesia, biaya investasi yang dibutuhkan untuk masuk ke dalam liga adalah sebesar US$1 juta atau sekitar Rp15 miliar.
Jika semua tim yang ada di dalam MPL ID membayar biaya investasi yang sama, bukankah artinya 8 tim peserta liga berhak mendapatkan keuntungan yang sama?
Bagaimana maksudnya memberikan keuntungan yang sama ke semua yang investasi? Dalam liga olahraga Amerika Serikat, salah satu arti setara adalah kesempatan lebih besar merekrut pemain berbakat apabila posisi suatu tim terseok di musim sebelumnya. Lebih lanjut kita akan membahas sistem tersebut nanti.
Kembali ke pembahasan MPL ID, lalu kenapa AURA Esports dan Geek Fam ID menjadi contoh? Mari saya ajak Anda melihat catatan menang-kalah kedua tim tersebut sejak dari MPL ID Season 4. Kalau boleh jujur, Geek Fam ID mungkin bisa dibilang menjadi tim MPL ID yang nasibnya paling nahas sepanjang perjalanan MPL ID sejak dari Season 4 sampai Season 6.
Selama kurang lebih satu tahun setengah dan 3 musim berjalan, Geek Fam ID tidak pernah satu kali pun lolos ke babak Playoff MPL ID. Di Season 4 mereka mengakhiri babak Regular Season di peringkat ke-7 dengan catatan menang-kalah 3-11. Di Season 5 mereka mengakhiri babak Regular Season di peringkat ke-8 dengan catatan menang-kalah 3-11. Di Season 6 kemarin mereka kembali mengakhiri babak Regular Season di peringkat ke-7 dengan catatan menang-kalah 2-12.
AURA Esports mungkin terbilang jadi tim ternahas urutan ke-2 setelah Geek Fam ID. AURA Esports sempat tampil tangguh pada saat model franchise pertama diterapkan di MPL ID Season 4. Ketika itu, sang rubah api mendapat peringkat 4 dengan catatan menang-kalah 7-7. Tetapi, setelah itu, performa AURA Esports berangsur menurun. Mereka jadi konsisten menemani Geek Fam ID di papan bawah mulai dari Season 5. Ketika itu, AURA Esports finish dari babak Regular Season di peringkat 7 dengan torehan menang-kalah 4-10. Sementara di Season 6 AURA Esports finish dari babak Regular Season di peringkat 8 dengan catatan menang-kalah 1-13.
Jujur, sebagai pengamat saya merasa khawatir melihat torehan kedua tim tersebut dari 3 musim MPL ID belakangan. Membuat saya jadi ingat Shanghai Dragons di Overwatch League yang sempat menorehkan catatan kekalahan beruntun sebanyak 42 kali apabila melihat dua tim tersebut.
Lalu apa yang jadi masalah bagi kedua tim tersebut? Apa yang membuat mereka begitu kesulitan menyaingi tim papan atas di MPL ID? Salah satu alasannya, mungkin, mereka terseok karena kesulitan mencari pemain baru yang berbakat untuk memperkuat timnya.
Tapi apakah benar demikian? Saya lalu mencoba mewawancara tim terkait untuk membahas seputar hal tersebut.
Sulitnya Mencari Talenta Berbakat Sebagai tim Papan Bawah
Dari AURA Esports ada Reza Pahlevi selaku Head Manager divisi MLBB Aura Esports. Sementara dari Geek Fam ID ada Ines Bestari selaku General Manager Geek Fam ID. Mereka berdua mewakili tim masing-masing menjadi narasumber untuk menanggapi pertanyaan seputar apa yang terjadi selama 3 musim MPL ID berjalan.
Ternyata apa yang saya pikirkan benar adanya. Manajer dari kedua tim mengakui bahwa salah satu alasan mereka jadi sulit bersaing adalah karena kesulitan mencari talenta segar nan berbakat. Mereka berdua juga menceritakan bahwa salah satu alasan kesulitannya adalah karena para talenta baru cenderung lebih memilih untuk gabung ke tim papan atas.
“Memang mencari talenta terbaru adalah challenge terbesar bagi Geek Fam ID untuk bisa menyaingi tim papan atas di MPL sih. Penyebabnya karena kebanyakan tim peserta MPL melakukan proses recruitment secara hampir berbarengan. Selain itu pemain baru punya kecenderungan yang sangat besar untuk memilh masuk ke tim papan atas MPL.” Jawab Ines Bestari membahas soal sulitnya mencari talenta berbakat sebagai tim papan bawah di MPL ID.
Sementara pada sisi lain Reza Pahlevi mengatakan, “tantangan terbesarnya memang mencari talenta baru. Masalahnya adalah tim-tim tersebut memiliki keuntungan tertentu dengan menjadi papan atas. Keuntungannya adalah tim tersebut menjadi impian dari banyak pemain. Jadinya, kebanyakan pemain baru lebih mendahulukan masuk tim papan atas ketimbang tim kami. Hal tersebut tidak hanya terjadi ketika kami melakukan open trial tetapi juga sempat terjadi ketika kami sudah sampai tahap offering terhadap seorang pemain. Maka dari itu sejak Season 4 sampai detik ini kami masih banyak eksperimen untuk membangun pondasi tim. ”
Jika kita melihat dari kaca mata calon pemain, apa yang dilakukan para pemain sebenarnya tidak salah. Ibarat seperti melamar kerja, Anda sebagai pelamar tentu akan lebih mengutamakan tawaran perusahaan e-commerce besar seperti Tokopedia ketimbang tawaran e-commerce rintisan bernama Toko Acil misalnya. Tapi, saya merasa pembiaran kejadian tersebut dari pihak operator liga justru terasa tidak adil jika kita bicara dalam konteks liga berbayar. Hal ini tentunya beda cerita jika memang liganya tidak berbayar.
Persaingan mendapatkan pemain bintang itu normal. Jangankan esports, hal tersebut juga kerap terjadi di dalam sepak bola. Tetapi hal yang patut diingat adalah, olahraga sepak bola menggunakan sistem terbuka alias relegasi. Dalam persaingan terbuka, tim peserta tidak perlu membayar uang muka untuk masuk dalam liga. Mereka hanya perlu menjadi tim yang hebat agar tetap bertahan di dalam liga.
Tetapi persaingan mencari pemain jadi beda cerita jika kita bicara model liga franchise. Ibarat franchise usaha minimarket, investor baru tentu tidak diperbolehkan membuka toko baru yang bersebelahan dengan investor lama di suatu pertigaan yang ramai. Saingan antara sesama investor waralaba tentunya harus dihindari karena mereka membayar harga investasi yang telah disepakati bersama — jika memang pemilik merek dagang waralaba tadi ingin berlaku adil.
Kalau begitu apa kabar dengan Mobile Legends Developmental League? Liga yang hadir sebagai liga akademi sejak MPL Season 5 lalu tersebut harusnya bisa membantu tim seperti Geek Fam ID dan AURA Esports untuk mendapat pemain berbakat dong? Dylan Chia selaku Marketing Director MPL Indonesia juga sempat menjelaskan bahwa MDL menjadi salah satu fokus dari MPL Indonesia dalam melakukan regenerasi dan membuat MPL menjadi lebih besar lagi. Tapi seberapa efektif dampak MDL kepada tim peserta MPL?
Ines dan Reza kali ini sedikit berbeda pendapat. Ines mengatakan bahwaMDL sudah cukup membantu Geek Fam ID untuk menemukan talenta baru. “Sejauh ini gue merasa MDL sudah cukup efektif. Kami mulai mencoba mengambil talenta baru di MPL Season 6 kemarin. Menurut gue, beberapa talenta cukup memberikan dampak positif terhadap tim walau mungkin belum memberikan performa yang signifikan. Namun demikian, dampaknya sih positif dari segi proses karena mereka banyak menunjukkan perkembanan.”
Pada sisi lain pendapat Reza adalah, “Honestly speaking, MDL terbilang masih belum efektif sebagai sarana pencarian bakat. Fakta lapangannya adalah talenta baru hasil dari MDL ataupun Free Agent sifatnya masih terbilang 50:50. Jadi bisa dibilang potensinya tidak beda jauh antara pemain MDL ataupun Free Agent.”
Saya sebenarnya terbilang cukup setuju dengan apa yang dikatakan Reza. Tim peserta Franchise MPL tentu akan sangat berharap pemain yang mereka besarkan di MDL bisa berkembang menjadi pemain yang tangguh di masa depan. Apalagi masing-masing manajemen esports juga berinvestasi terhadap pemain tersebut lewat gaji yang mereka berikan.
Jadi apabila kita melihat dari kaca mata manajemen tim, wajar mereka merasa kecewa apabila akhirnya pemain MDL yang sudah digaji malah kalah berbakat dibanding pemain Free Agent yang mungkin hanya joki Rank saja. Jadi ibarat seperti investasi bodong yang tidak menghasilkan apapun.
Lalu apabila liga MDL belum banyak membantu tim peserta liga Franchise MPL, sistem seperti apa yang bisa membantu meningkatkan daya saing tim seperti AURA Esports atau Geek Fam ID?
Mungkinkah Metode “Player Draft” Meningkatkan Daya Saing Tim Papan Bawah di Liga Esports Franchise?
Jangan salah kaprah, sistem “Draft” yang saya maksud di sini bukanlah metode pemilihan hero yang biasa digunakan dalam esports MLBB. Modelnya memang agak mirip tetapi yang saya maksud dengan Draft di sini adalah metode transfer pemain yang biasa digunakan dalam liga olahraga franchise Amerika Serikat.
Sebelum membahas potensi penerapannya di esports, mari saya jelaskan dahulu cara kerja sistem Draft dengan menggunakan liga american football (National Football League atau NFL) sebagai contohnya. Pada pembahasan sebelumnya kita mendengar cerita Ines soal para tim peserta liga Franchise MPL yang saling berebut talenta dari open recruitment yang dilakukan.
Dalam sistem Draft, perekrutan dan seleksi dilakukan secara terpusat oleh operator liga. Di sisi lain, tim peserta liga Franchise jadi tidak perlu repot melakukan Open Recruitment, mereka tinggal memilih pemain dari proses Player Draft. Dalam contoh liga NFL, perekrutan dan seleksi dilakukan lewat sebuah prosesi yang disebut sebagai NFL Scouting Combine. NFL Scouting Combine bersifat terbuka, pemain american football tingkat SMA sepenjuru AS boleh turut serta asalkan mereka memenuhi beberapa syarat tertentu.
Setelah masa registrasi, fase selanjutnya adalah ujian seleksi yang dipantau oleh para tim peserta liga franchise NFL. Pada fase seleksi, pemain-pemain dari tingkat SMA diuji kemampuan fisik, psikis, dan skill permainannya. Pemain-pemain yang ikut seleksi diuji kemampuan fisiknya lewat tes lari jarak pendek, lompat vertikal, lompat jauh, dan lain sebagainya. Mereka juga diuji kemampuan bermainnya lewat tes menangkap, melempar bola, menjaga pemain, dan lain sebagainya. Psikis mereka juga diuji lewat beberapa tes psikologi. Sebagai sarana menarik perhatian pecinta olahraga american football, prosesi NFL Scouting Combine disiarkan di televisi nasional Amerika Serikat.
Setelah proses NFL Scouting Combine selesai, pemain-pemain tersebut disaring lagi berdasarkan torehan yang mereka dapatkan dari ujian kemampuan fisik, skill permainan, dan psikis. Pemain-pemain dengan torehan terbaik akan masuk ke fase selanjutnya yaitu NFL Draft dan mendapat kesempatan untuk bisa bermain di liga utama American Football. Dalam konteks NFL, kesempatan main di liga utama menjadi dambaan setiap pemain yang ada di olahraga ini.
Pada fase NFL Draft, 32 tim peserta liga franchise diperkenankan untuk memilih pemain-pemain tersebut secara berurutan. 32 tim tersebut diurut secara terbalik berdasarkan torehan mereka di liga musim sebelumnya. Tim papan bawah mendapat giliran lebih dulu untuk mengambil pemain pada prosesi NFL Draft. Tim yang menjadi juara NFL mendapat giliran terakhir dalam mengambil pemain.
Walaupun demikian, urutan pengambilan pemain (disebut Draft Order) masih bisa berubah-ubah karena satu tim diperkenankan melakukan pertukaran dengan tim lain.
Kalau pakai analogi MPL, mungkin bisa jadi seperti ini. Misalkan ada peserta seleksi MPL berpotensi tinggi bernama Mawar. RRQ sangat ingin sekali memiliki Mawar, tetapi sulit karena RRQ juara liga dan berada di urutan terakhir Draft. Sementara, di sisi lain, tim seperti Geek Fam atau AURA Esports mendapat urutan pertama Draft dan mereka boleh menukarkan urutan dengan hal lainnya (pemain misalnya). Jadi Geek Fam ID bisa saja memberikan urutan pertama proses Draft kepada RRQ jika ditukar oleh RRQ.Alberttt misalnya.
Metode Draft yang saya jelaskan tentunya sudah dipersingkat dan disederhanakan. Karena masih ada peraturan-peraturan lain yang tidak mungkin saya jelaskan terperinci secara satu per satu di sini. Penjelasan tersebut juga masih dalam bentuk sudut pandang ideal. Karena pada kenyataannya pasti ada saja dinamika dalam proses transfer atau seleksi.
Dalam hal dinamika proses transfer, pemain boleh saja menolak direkrut oleh tim yang mengambil mereka. Kembali pada contoh Mawar, dia bisa saja menolak masuk RRQ setelah di “Draft” dan lebih memilih masuk EVOS. Walaupun begitu, proses Draft tetap mengunci hak kepemilikan RRQ atas Mawar. Maka dari itu, RRQ bisa menukarkan Mawar dengan Wann apabila EVOS juga memiliki ketertarikan terhadap Mawar. Tapi, apabila EVOS ataupun tim peserta MPL lain tidak tertarik dengan Mawar, RRQ juga boleh saja memilih untuk melepas Mawar.
Lalu apakah proses Draft ini mungkin untuk diterapkan ke dalam liga esports? Jika dilihat dari sudut pandang pengamat dan penikmat esports, jawabannya sih tentu mungkin-mungkin saja. Tapi pada sisi lain, kita juga harus melihat untung dan ruginya dari sisi operator liga apabila ingin menerapkan sistem ini.
Satu hal yang pasti, penerapan sistem seperti ini akan menambah tingkat kerumitan penyelenggaraan liga bagi sang operator. Satu yang patut diingat, liga dan asosiasi NFL sudah ada sejak tahun 1920. Sementara pada sisi lain liga MPL baru memulai model frachise sejak tahun 2019 lalu. Jadi tentunya butuh proses yang panjang untuk terus belajar dan memperbaiki sistem, termasuk sistem transfer pemain.
Kedua, pelaksanaan sistem seperti ini mungkin akan menambah biaya penyelenggaraan. Moonton selaku operator liga bisa jadi hanya memiliki dana yang terbatas dalam menyelenggarakan liga MPL. Dengan asumsi modal penyelenggaraan MPL hanya berasal dari biaya investasi tim peserta, maka Moonton cuma punya modal sekitar Rp120 miliar (Rp15 miliar dikalikan 8 tim peserta). Meski kenyataan MPL Indonesia juga selalu mendapatkan sponsor.
Misalnya modal tersebut harus cukup untuk liga MPL selama 5 tahun, maka Moonton harus mengelola modal tersebut dengan baik supaya tidak habis sebelum durasi kontrak selesai. Maka dari itu, penambahan biaya tentunya bukan ide yang baik bagi penyelenggara turnamen.
Pada sisi lain, NFL punya lebih banyak tim yang berarti punya lebih banyak modal. Mereka punya 32 tim peserta dengan nilai investasi NFL yang jauh lebih tinggi dibanding dengan MPL. Laporan Statista tahun 2019 mengatakan bahwa Anda butuh sekitar 5,7 miliar dollar AS (sekitar Rp80 triliun) jika ingin membeli tim NFL yang bernama Dallas Cowboys. Selain itu, laporan lain dari Statista mengatakan bahwa liga NFL bisa meraup sampai dengan 15,26 miliar dollar pada tahun 2019 lalu. Jadi tidak heran apabila liga tersebut bisa menerapkan sistem yang begitu rumit dan berbiaya besar hanya untuk urusan transfer pemain saja.
Walaupun begitu, metode transfer seperti demikian punya beberapa keuntungan tersendiri. Saya merasa ada dua keuntungan yang bisa didapatkan oleh operator liga.
Pertama, MPL mungkin bisa meniru apa yang dilakukan NFL dengan menayangkan prosesi Draft dan Scouting. Penayangan tersebut berpotensi menarik minat masyarakat dalam menonton esports MLBB. Minat menonton yang semakin tinggi tentunya bisa membuka peluang untuk mendapatkan tambahan sponsor di masa depan.
Kedua, sistem Draft juga memungkinkan liga untuk dapat bertahan secara lebih lama karena sistem ini terbilang memberi keuntungan tersendiri bagi semua elemen kompetisi, termasuk opertor liga, pemain, dan tim peserta.
Anda yang mengikuti perkembangan MPL lewat artikel-artikel Hybrid mungkin ingat kalau Moonton sempat mendapat beberapa sentimen negatif ketika mengumumkan model franchise MPL. Beberapa pemain protes karena kesempatan masuk liga utama jadi semakin kecil gara-gara penarapan sistem investasi tersebut.
Apabila sistem Draft diterapkan, maka kesempatan pemain untuk masuk liga utama jadi kembali terbuka lebar. Pemain yang terinspirasi ingin jadi bintang esports juga akan terus bertahan memainkan MLBB berkat jalur yang jelas untuk masuk liga utama.
Dari sisi operator liga, talenta baru yang terus berdatangan bisa membuat dinamika persaingan tim terus bertahan. Persaingan liga yang ketat tentunya diharapkan bisa mengurangi ketergantungan operator liga terhadap tim atau pemain tertentu di dalam liga. Dengan persaingan antar tim semakin ketat, maka identitas MPL sebagai liga yang kompetitif dan seru untuk ditonton bisa jadi lebih mandiri. MPL tidak lagi cuma menjadi liga yang seru kalau ada El Classico EVOS vs RRQ saja ataupun tim-tim besar lainnya. Persaingan ketat antar tim berpotensi membuat jumlah views lebih stabil. Jadi siapapun yang bertanding, penonton akan tetap menikmatinya karena hasilnya sulit untuk ditebak.
Tim peserta juga bisa diuntungkan dengan penerapan sistem ini. Tidak ada lagi cerita soal kesulitan mencari talenta baru gara-gara harus berebutan dengan tim papan atas. Semua tim punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan talenta baru berbakat dan membangun komposisi tim yang kuat. Semakin kuat tim mereka, maka akan semakin besar juga peluang bagi organisasi esports untuk membangun fanbase, dan membuka peluang-peluang bisnis baru.
Penutup
Kenyataan yang patut dipahami dan tak bisa dipungkiri dari pembahasan ini adalah tentu usia perjalanan esports yang masih sangat belia. Kita bisa lihat sendiri bahwa NFL sudah berjalan selama kurang lebih 100 tahun. Melalui proses tersebut juga, mereka terus belajar bagaimana membuat sistem yang lebih baik agar semua pihak bisa merasakan keuntungan agar liga bisa sustain secara lebih panjang dan terus berkembang positif.
Di sisi lain, esports terbilang baru mulai berkembang sebagai industri sekitar 3 sampai 5 tahun belakangan. Jadi tidak heran apabila saat ini masih banyak kekurangan dari segi sistem atau model dari suatu kompetisi esports. Walaupun demikian, saya merasa ada banyak hal yang bisa dipelajari oleh para operator liga esports dari sistem dan model liga olahraga. Sistem Player Draft hanya salah satunya saja.
Terlepas dari semua itu, saya sendiri selaku pengamat dan penikmat esports tentunya punya harapan besar industri esports bisa terus bertahan dan berkembang menjadi lebih baik di masa depan. Saat membicarakan seputar hal ini, Ines dan Reza juga mengatakan bahwa Moonton sedang menyiapkan suatu sistem agar tim seperti Geek Fam ID atau AURA Esports bisa lebih meningkat daya saingnya.
Akhir kata, semoga artikel ini bisa memicu perbincangan di antara pelaku esports lokal. Semoga esports di Indonesia bisa terus berkembang menjadi lebih baik dan terus hadir sebagai wadah pencaharian anak cucu kita di masa depan.
Feat Image: Dokumentasi MPL Indonesia — Season 4