Super app kini jadi terminologi yang makin akrab didengar. Dua pesohornya, Gojek dan Grab, terus kampanyekan jadi aplikasi yang paling super. Keduanya memang bersaing keras (secara langsung) di hampir semua lini. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di cakupan regional. Dengan status valuasi yang sama-sama “decacorn”, tak ayal pangsa pasar yang ditargetkan cukup ambisius.
Berikut ini cakupan bisnis terkini dari kedua layanan:
Grab memang cenderung lebih unggul terkait luasan cakupan. Mereka mulai ekspansi sudah sejak tahun 2014 – termasuk ke Indonesia. Sementara Gojek sendiri baru memulai ekspansi regional mereka di pertengahan tahun 2018. Ditinjau dari jenis layanan, yang terlengkap memang di pasar Indonesia. Kelengkapan layanan tersebut yang mendorong julukan super app tadi dibubuhkan.
Menurut data App Annie, per Juni 2020 aplikasi Grab sudah diunduh 187 juta pengguna, sementara Gojek 170 juta pengguna. Basis pengguna terbesarnya masih di Indonesia. Untuk Grab di kisaran 66%, sementara Gojek 90%.
Sebelumnya Gojek juga meluncurkan aplikasi terpisah untuk ekspansinya di luar Indonesia. Mulai bulan ini mereka mulai menyatukan aplikasi dan brand menjadi Gojek – sudah dimulai untuk layanan di Vietnam dengan mengubah Go-Viet menjadi Gojek. GET di Thailand juga akan menyusul dalam waktu dekat.
Laporan terbaru yang dirilis investment bank China Renaissance merangkum sejumlah capaian dan strategi bisnis Gojek dan Grab. Salah satunya terkait dengan data monthly active users. Data MAU Gojek saat ini sudah mencapai 36 juta pengguna di empat negara, sementara Grab tidak membeberkan datanya. Riset tersebut juga mengalkulasi total addressable market untuk layanan ride-hailing tahun ini akan mencapai $25 miliar.
Strategi menuju profitabilitas
Pandemi Covid-19 jelas memberikan dampak signifikan terhadap bisnis rid hailing. Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan DailySocial, tim internasional mereka mengonfirmasi hal tersebut. Pun demikian untuk Grab. Untuk efisiensi operasional bisnis, kedua perusahaan sempat melakukan layoff pada bulan Juni lalu. Grab merumahkan 5% pegawainya, setara 360 orang. Sementara Gojek merumahkan 9% dari total pegawainya setara 430 orang.
Meskipun demikian platform super app ini masih terus bertahan, karena area bisnis lainnya cenderung berpotensi terus meningkat, termasuk saat pandemi. Merujuk pada data-data bisnis yang ada, China Renaissance optimis mengatakan bahwa layanan food delivery dan e-wallet berkemungkinan besar menopang strategi keberlanjutan super app. Monetisasi dengan jumlah besar sangat mungkin dilakukan pada dua fitur tersebut.
Pertama soal food delivery. Menurut pengukuran pasar, bisnis ini berpotensi menghadirkan hingga $20 miliar tiap tahunnya. Dengan asumsi masing-masing super app mampu menguasai 5% dari pasar, minimal mereka bisa membukukan pendapatan $1 miliar tiap tahunnya dari bisnis ini. Grab pernah membeberkan revenue untuk di lini pesan antar makanan. Tahun 2017 mereka sudah membukukan $2 miliar dan bertumbuh menjadi $5 miliar di tahun 2019.
Di awal tahun ini, Gojek pun sudah sesumbar mengenai strategi membawa GoFood ke arah profit. Chief Food Officer Gojek Group Catherine Hindra Sutjahyo mengungkapkan, seluruh dorongan investor membuahkan GoFood dalam model bisnis yang sesuai dengan arah profitabilitas. Dari waktu ke waktu benchmark pencapaian GoFood berkembang, dari awalnya angka transaksi menjadi gross transaction value, dan sekarang revenue.
Melihat bisnis makanan yang berpotensi hasilkan banyak cuan, berbagai inisiatif pun digencarkan. Salah satunya dengan pengembangan cloud kitchen untuk membantu para mitra dapat secara efisien memproduksi dan menyuguhkan produk. Baik Grab dan Gojek terus memperluas cloud kitchen sebagai “dapur bersama” yang dapat diakses mitra UKM penjual makanan. Di dalamnya terdapat kedai-kedai yang hanya melayani pembelian via pemesanan di GrabFood atau GoFood.
Dompet digital jadi sumber profit berikutnya
Perjalanan super app dilalui dengan beberapa fase: akuisisi pengguna, akuisisi mitra, dan perluasan produk. Fase pertama telah dilalui dengan sukses. Jutaan mitra pengemudi yang tersebar di berbagai kota menjadi modal meyakinkan pengguna terkait keandalan dan ketersediaan layanan. Fase kedua mencatatkan capaian yang sama. Pandemi turut mendorong secara signifikan adopsi layanan pesan antar makanan dan grocery.
Lantas fase ketiga tengah dimaksimalkan masing-masing pemain. Di Indonesia, GoPay menjadi platform pembayaran yang paling banyak digunakan oleh masyarakat, bersaing ketat dengan Ovo yang kini diaplikasikan Grab (juga Tokopedia dan beberapa layanan lainnya). Jelas keberadaannya memberikan dampak besar bagi bisnis masing-masing perusahaan. Sistem pembayaran menjadi penghubung antar pelaku di dalam ekosistem aplikasi: konsumen, mitra pengemudi, dan merchant.
Kondisi ini sekaligus membuka peluang para mitra dan merchant untuk mendapatkan akses finansial yang lebih layak. Platform fintech seperti dompet digital diyakini dapat menjembatani celah yang ada, termasuk menghubungkan mereka dengan berbagai produk finansial (transfer, pinjaman, investasi).
Beberapa indikasi mengarah ke sana, termasuk keseriusan Grab melalui unit GrabFinancial. GoPay sendiri disebut sudah mencapai valuasi unicorn.
Fase berikutnya: integrasi
Prinsip super app seperti “harus menjadi yang paling lengkap” membuat Gojek dan Grab berlomba-lomba menyuguhkan berbagai layanan yang relevan. Menambahkan layanan tidak berarti harus mengembangkan semuanya sendiri. Untuk layanan telemedicine, Gojek menggandeng Halodoc, sementara Grab bersama Ping An Good Doctor. Pun untuk layanan lain, seperti insurtech, lending, hingga OTA yang terintegrasi dengan platform pihak ketiga.
Dibutuhkan unit-unit bisnis yang memungkinkan perusahaan terhubung dengan pemain terkait. Strateginya pun serupa, mulai dari mengembangkan unit ventura, program akselerasi, hingga akuisisi.
Persaingan ketat seperti ini sejauh ini dianggap bagus untuk pembentukan pasar dan seringkali menguntungkan konsumen. Sempat tersiar bahwa kedua super app ini akan melakukan merger, namun tampaknya masih menjadi wacana.