Saat SMA, saya mulai menyadari kalau saya menyukai game-game RPG dengan cerita yang kompleks dan karakter yang beragam. Saat itu, kemampuan saya dalam berbahasa Inggris masih sangat pas-pasan. Meskipun begitu, saya rela bermain sambil membawa kamus Inggris-Indonesia demi mengerti alur cerita yang disajikan dalam game. Kontras, kakak saya lebih suka game fighting atau racing yang hanya punya sedikit cerita atau bahkan tidak sama sekali. Saya dulu selalu bertanya-tanya: kenapa ada orang yang bisa menikmati game yang tak punya alur cerita yang jelas?
Semakin dewasa, saya semakin paham bahwa selera game setiap orang berbeda-beda, sama seperti selera musik, film, atau bahkan makann. Menariknya, selera musik seseorang biasanya juga dipengaruhi oleh karakteristiknya, termasuk cara berpikir.
Orang-orang yang masuk dalam kategori Empathizer — kelompok orang-orang yang punya ketertarikan kuat dengan emosi dan pikiran orang lain — biasanya menyukai lagu-lagu mellow yang menimbulkan rasa sedih dan punya lirik menyentuh. Sementara orang-orang yang masuk dalam kategori Systemiser — orang-oarng yang lebih tertarik pada pola dan aturan di dunia — biasanya menyukai lagu-lagu kompleks yang bisa ditemukan di genre klasik.
Sama seperti selera musik, selera game seseorang juga dipengaruhi oleh sifat dan karakteristiknya. Tak hanya itu, karakteristik seseorang juga memengaruhi cara dia bermain. Pertanyaannya, karakteristik apa saja yang bisa memengaruhi selera game seseorang?
Orientasi Sosial
Menurut studi, salah satu faktor yang punya dampak paling besar dalam menentukan selera game seseorang adalah orientasi sosial: apakah seorang gamer senang untuk bermain game bersama dengan orang lain atau bermain sendiri. Ya, manusia memang makhluk sosial, tapi tidak semua orang senang bersosialisasi. Orang-orang yang senang bersosialisasi (aka social butterfly) biasanya senang memainkan game multiplayer seperti Counter-Strike: Global Offensive, DOTA 2, dan Rainbow Six, atau game yang setidaknya bisa dimainkan bersama orang, seperti FIFA. Dan kebanyakan dari game-game multiplayer punya ekosistem esports yang berkembang.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak terlalu suka bersosialisasi cenderung lebih menyukai game-game RPG atau simulasi, seperti Civilization, Dragon Age, Fallout, Final Fantasy, Persona, dan The Sims. Game-game tersebut punya satu kesamaan, yaitu dunia yang imersif dengan karakter-karakter yang realistik. Bagi para gamer yang lebih senang menyendiri, menjelajah dunia yang kompleks dalam sebuah game sudah dapat memberikan kesenangan tersendiri.
Saya sendiri lebih suka memainkan single-player game. Tak hanya karena saya memang suka game-game dengan cerita yang berat, saya juga tidak terlalu suka bermain dengan orang tidak kenal. Bahkan saat bermain game multiplayer, saya hanya bermain dengan teman-teman yang sudah saya kenal. Pasalnya, bermain bersama orang yang menyebalkan akan merusak pengalaman bermain saya, tidak peduli seberapa menarik gameplay dari sebuah game. Seorang teman mengaku, dia menyukai game multiplayer, tapi komunitas yang terkadang toxic membuatnya benci dengan game multiplayer.
Gender dan Umur
Selain orientasi sosial, hal lain yang memengaruhi selera game seseorang adalah gender. Kebanyakan gamer laki-laki senang memainkan game kompetitif dan menantang, seperti DOTA 2, X-Com, Dark Souls, Call of Duty, dan Counter-Strike. Sementara itu, gamer perempuan cenderung lebih menyukai game yang santai dengan dunia yang imersif, seperti Kingdom Hearts, Dragon Age, Stardew Valley, dan Legend of Zelda. Tentu saja, selalu ada pengecualian. Misalnya, saya punya teman perempuan yang memang senang bermain game yang menantang, seperti Code Vein dan S.T.A.L.K.E.R.: Shadow of Chernobyl.
Gender tak hanya memengaruhi jenis game yang dimainkan seseorang, tapi juga gaya bermain atau bahkan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam game. Contohnya, gamer laki-laki punya kecenderungan lebih tinggi untuk memainkan ras yang dianggap “jahat”, seperti Orc. Berdasarkan studi, salah satu alasan mengapa gamer perempuan enggan untuk memilih ras-rasa “jahat” adalah karena kebanyakan ras tersebut punya penampilan yang… well, jelek. Sebenarnya hal itu tidak aneh, mengingat banyak gamer perempuan yang sangat mementingkan estetika atau penampilan dalam game.
Dua teman perempuan saya mengaku, ketika mereka bisa melakukan kustomisasi karakter dalam game, mereka cenderung memainkan karakter perempuan. Alasannya sederhana: karena armor dan peralatan untuk karakter perempuan biasanya terlihat lebih estetik. Dengan catatan, gender karakter utama tidak akan memengaruhi jalan cerita.
Sementara jika gender karakter memengaruhi interaksi dengan karakter lain, dua teman saya mengatakan bahwa mereka akan memilih gender yang menawarkan interaksi paling menarik. Saya setuju dengan pendapat ini. Saat saya pertama kali memainkan Dragon Age: Origins, saya bermain sebagai perempuan. Namun, setelah tahu bahwa hanya Warden laki-laki yang bisa menjadikan Morrigan sebagai kekasih, saya bermain sebagai pria saat saya memainkan game itu untuk kedua kalinya.
Gender juga biasanya memengaruhi job/class yang dimainkan seseorang dalam sebuah game. Dalam TTRPG seperti Dungeons and Dragons, gamer perempuan biasanya lebih menyukai kelas support, seperti Bard, Cleric, dan Druid. Selain itu, mereka juga senang memainkan karakter Magician dan Alchemist, yang biasanya tidak maju ke lini depan. Memang, perempuan biasanya lebih menyukai karakter yang mengandalkan Intelligence daripada kekerasan.
Sebaliknya, gamer pria biasanya lebih menyukai karakter yang mengutamakan Strength dan Dexterity. Mereka juga punya kecenderungan lebih tinggi untuk mencoba kelas yang sering dianggap “jahat”, seperti Thief, Assassin, atau Necromancer.
Kecenderungan cara bermain gamer laki-laki dan perempuan yang dibahas sejah ini mungkin terlihat seperti stereotype. Dan mungkin, stereotype ini memang sesuai untuk sebagian orang. Meskipun begitu, akan selalu ada pengecualian. Saya punya seorang teman laki-laki yang paling suka dengan ras Elf dan memainkan karakter utility.
Big Five Personality Traits
Dalam psikologi, pendekatan untuk mempelajari kepribadian seseorang disebut dengan trait theory. Salah satunya adalah teori Big Five Personality Traits. Dalam teori yang juga dikenal dengan nama Five Factor Model (FFM) ini, kepribadian manusia digolongkan ke dalam 5 grup, yaitu Conscientiousness, Agreeableness, Neuroticism. Openness, dan Extraversion/Extroversion.
Sifat Conscientiousness berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk fokus pada sebuah tujuan. Beberapa karakteristik orang-orang yang memiliki Conscientiousness tinggi adalah mereka cenderung teliti, berhati-hati, dan bertanggung jawab. Sementara sifat Agreeableness memengaruhi tingkat keramahan seseorang. Orang yang dianggap Agreeable biasanya cenderung ramah dan ringan tangan dalam memberikan bantuan. Tingkat Neuroticism memengaruhi kemampuan seseorang untuk mengendalikan pikiran dan emosi mereka. Orang dengan tingkat Neuroticism tinggi biasanya mudah stres, sering mengalami mood swing, dan sering merasa insecure.
Sementara itu, karakteristik Openness mengacu pada keinginan seseorang untuk mencoba hal baru. Biasanya, orang-orang memiliki tingkat Openness tinggi merupakan orang yang kreatif dan imajinatif. Mereka juga tak ragu untuk mencoba hal-hal baru dalam hidup. Karakteristik terakhir adalah Extraversion. Orang-orang yang mendapatkan energi ketika bersosialisasi dengan orang lain memiliki nilai Extraversion yang tinggi. Biasanya, mereka mudah berteman dan senang untuk berinteraksi dengan orang lain.
Menariknya, kelima karakteristik dalam FFM juga memengaruhi bagaimana seseorang bermain game. Sebagai contoh, orang-orang yang dianggap Agreeable biasanya memilih untuk memainkan kelas yang dapat membantu pemain lain, seperti Cleric dan Druid. Dalam Dungeons and Dragons, dua kelas itu identik dengan peran healer, meski mereka juga punya spell ofensif. Sementara orang-orang yang senang bersosialisasi — memiliki nilai Extraversion tinggi — biasanya akan memilih kelas yang merefleksikan kepribadian mreeka, seperti Bard atau kelas lain yang berbasis Charisma.
Bagi orang-orang yang senang mencoba hal baru, mereka biasanya menyukai ras Elf, yang sering dianggap sebagai ras yang cerdas dan kreatif. Sebaliknya, mereka biasanya tidak suka dengan Dwarf, yang sering diidentikkan dengan sifat keras dan kaku. Soal class/job, mereka cenderung memainkan Thief, tapi enggan memainkan Fighter. Pasalnya, kelas Fighter dianggap terlalu menggantungkan diri pada kekuatan fisik.
Tentu saja, FFM bukanlah satu-satunya teori pengelompokkan kepribadian di dunia. Pada 2016, sebuah universitas di Spanyol mengadakan studi tentang perilaku manusia. Dari studi itu, mereka membuat program komputer yang kemudian membagi perilaku manusia ke dalam 4 kelompok, yaitu Pessimistic, Optimistic, Envious, dan Trusting.
Ciri khas orang-orang yang masuk dalam kategori Trusting adalah mereka cenderung kooperatif dan tidak terlalu peduli dengan kemenangan. Sebaliknya, tipe Envious berisi orang-orang yang fokus untuk menjadi lebih unggul dari pemain lain, tak peduli dalam hal apa. Tipe Optimists percaya, dia dan teman bermainnya akan memilih opsi terbaik untuk kepentingan bersama. Sementara tipe Pessimist merasa, semua opsi yang mereka punya buruk dan mereka harus memilih salah satu yang tidak terlalu buruk.
Saat bermain game, saya membayangkan tipe Envious sebagai orang-orang yang senang melakukan Min-Maxing, terobsesi dengan status karakter mereka dan selalu berusaha untuk membuat karakter yang bisa menghasilkan damage maksimal. Sementara orang-orang yang masuk dalam kategori Trusting kemungkinan akan memilih karakter support dan sudah puas jika mereka bisa membantu teman bermain mereka.
Satu hal yang harus diingat, manusia adalah makhluk kompleks dengan pola pikir yang juga kompleks. Sulit (atau malah mungkin mustahil) untuk mengotak-kotakkan manusia ke dalam beberapa grup saja. Apa yang saya coba sampaikan di artikel ini bukanlah pakem yang menentukan bahwa seseorang dengan karakteristik tertentu pasti akan menyukai game dengan genre tertentu atau akan memainkan karakter yang spesifik.
Di sini, saya mencoba untuk menunjukkan, bagaimana perilaku seorang gamer dapat memengaruhi kebiasaan mereka dalam bermain game. Memang, game dapat memberikan dampak pada para pemainnya. Namun, sifat seorang gamer ternyata juga memengaruhi bagaimana mereka bermain game.
Kesimpulan
Saat saya kuliah, seorang teman mengajak saya untuk bermain Dota 2. Ketika itu, dia selalu menyarankan saya untuk menggunakan hero carry dan bermain di mid-lane. Namun, saya berkeras bahwa saya tidak suka bermain di mid-lane sebagai carry. Tanggung jawab sebagai carry — “to carry the team to victory” — rasanya terlalu berat untuk saya. Saya lebih senang bermain sebagai support. Saat itu, teman saya heran melihat saya yang puas hanya dengan memberikan assist. Pada saat yang sama, saya tidak mengerti dia yang mau menanggung tanggung jawab sebagai carry.
Sekarang, saya semakin mengerti bahwa para gamer tidak hanya bisa menikmati game dengan genre yang berbeda-beda, tapi mereka juga bisa menyukai peran yang berbeda dalam game. Seperti saya, sebagian orang mungkin sudah puas dengan peran support. Namun, sebagian gamer yang lain mungkin lebih senang memainkan karakter utility, dan sisanya hanya puas ketika dia menjadi seorang DPS/Carry/Hitter.
Birds of the same feather flock together. Biasanya, seseorang akan berteman dengan orang-orang yang punya sifat yang sama, atau setidaknya mirip, dengannya. Namun, dalam hal bermain game, saya rasa, sebaiknya Anda justru berkumpul dengan orang-orang yang punya gaya bermain yang berbeda. Bayangkan jika Anda membentuk tim Dota 2 berisi 5 orang yang hanya mau bermain carry. Dalam kasus ini, bermain bersama orang-orang dengan preferensi role justru akan membuat pengalaman bermain menjadi lebih menyenangkan.
Sumber header: Wizard of the Coast via Kotaku