Talk is cheap. Semua orang bisa mengklaim bahwa dia jago di sebuah bidang. Namun, membuktikan pernyataan itu adalah soal lain. Di sekolah dan universitas, rapor dan IPK menjadi alat untuk mengukur kemampuan para murid dan mahasiswa. Bagi orang-orang yang sudah bekerja, sertifikat bisa menjadi salah satu cara untuk memvalidasi kemampuan seseorang. Pertanyaannya, apakah dunia esports memerlukan sistem sertifikasi?
Esports Certification Institute Ingin Membuat Ujian Bersertifikasi, untuk Apa?
Esports Certification Institute mengumumkan rencana mereka untuk mengadakan ujian sertifikasi di bidang esports pada akhir April 2021. Tujuannya, mereka ingin mendorong terciptanya budaya meritokrasi dan menumbuhkan profesionalisme di dalam diri para pelaku esports. Selain itu, mereka juga berharap, keberadaan ujian bersertifikasi ini akan membuat dunia esports menjadi lebih inklusif.
Lalu, bagaimana cara untuk mendapatkan sertifikasi dari ECI? Sederhana, Anda hanya cukup mengikuti ujian yang mereka berikan. Tes dari ECI mencakup tiga bidang, yaitu pengetahuan tentang esports, kemampuan untuk menyelesaikan masalah, dan statistik. Selain sertifikat, orang yang telah lulus ujian juga akan masuk dalam program keanggotaan ECI. Orang-orang yang menjadi anggota ECI akan dapat melakukan networking dan berdiskusi dengan para penasehat ECI.
ECI didirikan oleh Sebastian Park, mantan VP of Esports dari Houston Rockets, tim NBA dan Ryan Friedman, mantan Chief of Staff dari Dignitas, organisasi esports asal Amerika Serikat. Sementara itu, anggota dewan penasehat ECI terdiri dari eksekutif dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam esports, mulai dari perusahaan venture capital BITKRAFT, perusahaan hukum ESG Law, sampai organisasi esports seperti Cloud 9 dan Gen.G.
“Salah satu masalah terbesar di industri esports adalah para pelamar kerja tidak punya bukti konkret bahwa dia punya kemampuan yang diperlukan perusahaan,” kata Park, seperti dikutip dari Yahoo. “Industri esports ingin mempekerjakan seseorang berdasarkan kemampuannya. Hanya saja, tidak banyak cara yang bisa dilakukan untuk merealisasikan hal itu.”
Tentu saja, ujian dari ECI tidak gratis. Anda harus membayar US$400 untuk bisa ikut ujian tersebut. Pihak ECI menjelaskan, sebelum menentukan harga dari ujian bersertifikasi ini, mereka telah melakukan riset pasar. Mereka merasa, biaya tes yang mereka berikan relatif lebih murah jika dibandingkan dengan ujian sertifikasi di bidang lain. Misalnya, untuk bisa mendapatkan sertifikasi Chartered Financial Analyst (CFA), seseorang harus membayar US$1000. Bagi orang-orang yang kurang mampu, ECI telah berdiskusi dengan berbagai institusi pendidikan untuk membuat program ujian gratis.
Alasan ECI untuk membuat ujian bersertifikasi di bidang esports adalah karena mencari pekerja yang mumpuni di dunia esports bukan hal yang mudah. Faktanya, CEO Activision Blizzard, Bobby Kotick bahkan rela mendonasikan US$4 juta ke University of Michigan agar mereka bersedia membuka jurusan esports. Meskipun begitu, keinginan ECI untuk membuat tes bersertifikat justru menuai banyak protes dari para pelaku industri esports. Alhasil, ECI harus memunda rencana mereka untuk mengadakan ujian sertifikasi.
Saat ini, di Indonesia, jumlah program yang menawarkan sertifikat di bidang esports juga tidak banyak. Salah satunya adalah RRQ Academy, yang ditujukan untuk orang-orang yang ingin melatih kemampuan gaming mereka dan menjadi pemain profesional. Saat ini, RRQ Academy menawarkan pelatihan untuk empat game, yaitu Mobile Legends, PUBG Mobile, LoL: Wild Rift, dan Free Fire. Setelah mengikuti kelas selama dua hari, peserta akan mendapatkan sertifikat. Pihak RRQ Academy menjelaskan, sertifikat yang peserta akademi dapatkan tidak dilengkapi dengan penilaian akan kemampuan pemain. Selain itu, sertifikasi tersebut juga tidak punya waktu kedaluwarsa.
Sekarang, saya akan membahas tentang pro-kontra dari pengadaan ujian bersertifikat di dunia esports.
Pro dari Adanya Program Sertifikasi di Esports
Sertifikat bisa menjadi bukti bahwa seseorang punya kredibilitas di bidang tertentu. Misalnya, semua orang bisa saja membuat akun Facebook. Namun, tidak semua orang memegang sertifikat Facebook Blueprint. Sertifikat tersebut hanya diberikan pada orang-orang yang memang mengerti cara menggunakan berbagai produk digital marketing yang disediakan oleh Facebook dan anak-anak perusahaannya.
Selain bukti kredibilitas, keuntungan lain dari memiliki sertifikat bagi pekerja adalah memperluas pengetahuan, menurut International Society of Automation. Hal ini akan membantu seseorang untuk menanjak tangga karir. Selain itu, mengikuti ujian bersertifikat juga akan meningkatkan reputasi seseorang sebagai seorang profesional. Sementara itu, bagi perusahaan, keberadaan sertifikasi akan memudahkan mereka untuk mencari pekerja yang sesuai dengan kriteria yang mereka cari.
We are excited to announce the launch of Esports Certification Institute, a Public Benefit Corporation created to foster professionalism, promote meritocracy, and increase diversity and inclusion in esports. ECI was created to give another path into esports for industry hopefuls pic.twitter.com/NQyxjiWOBc
— EsportsCI (@EsportsCi) April 27, 2021
Gary Ongko, CEO BOOM Esports membandingkan industri esports layaknya “Wild West”. “Banyak pekerja di esports yang merupakan esports enthusiasts, tapi nggak pernah lulus ujian apapun,” katanya saat dihubungi oleh Hybrid.co.id. “Karena sekarang belum ada atau belum banyak jurusan esports, jadi mungkin, sertifikat ini bisa bantu kita untuk hiring orang yang mau kerja/terjun ke esports.”
Sementara itu, menurut Head of Operations, Mineski Indonesia, Herry Wijaya, munculnya sistem sertifikasi di esports merupakan bukti bahwa minat masyarakat untuk bekerja di esports semakin tinggi. Dan hal itu merupakan kabar baik. Karena, semakin banyak orang yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, semakin besar pula talent pool yang tersedia. Apalagi karena sekarang, persyaratan untuk bisa bekerja di dunia esports semakin tinggi. Memang, mulai muncul universitas yang membuka jurusan esports. Hanya saja, industri perlu menunggu selama beberapa tahun sebelum mereka bisa mempekerjakan orang-orang yang mengambil jurusan esports saat ini.
Mengikuti program sertifikasi juga bisa menjadi bukti bahwa seseorang serius untuk menekuni sebuah bidang baru. Pasalnya, untuk mendapatkan sebuah sertifikat, seseorang harus siap untuk menginvestasikan uang dan waktunya dalam mempelajari suatu bidang baru. Sebagai contoh, untuk mendapatkan sertifikat dari RRQ Academy, seseorang harus membayar Rp199 ribu untuk ikut kelas online dan meluangkan waktunya selama 2×6 jam.
Terakhir, keberadaan program sertifikasi juga bisa membuat sebuah skill semakin dihargai. Contohnya, dengan adanya sertifikat Facebook Blueprint, orang-orang akan lebih mengerti bahwa membesarkan dan merawat Facebook Page perusahaan tidak semudah mengurus akun pribadi.
Kontra dari Munculnya Program Sertifikasi untuk Esports
Salah satu fungsi utama dari program sertifikasi adalah untuk memvalidasi kemampuan seseorang. Hanya saja, lingkup pekerjaan di dunia esports sangat luas. Kualifikasi yang diperlukan untuk menjadi pelatih tim akan sangat berbeda dari kriteria yang dicari dari seorang videographer. Tak hanya itu, esports adalah industri yang masih muda dan sangat dinamis. Dalam dunia esports, masih belum ditemukan “best practice” seperti di industri lain yang sudah lebih matang. Contoh sederhananya, penulisan kata “esports” pun masih belum seragam. Sebagian menulis eSports, sementara sebagian menggunakan e-sports.
Tak bisa dipungkiri, program sertifikasi memang bisa memudahkan perusahaan untuk mencari pegawai yang kredibel. Namun, jika kepemilikan sertifikat dijadikan persyaratan mutlak untuk bisa bekerja di perusahaan esports, hal ini justru akan menciptakan masalah. Karena, tidak semua orang akan bisa mengikuti ujian demi mendapatkan sertifikat. Seperti yang disebutkan oleh Tobiaz M. Scholz dari The Esports Observer, keberadaan ujian bersertifikat justru bisa mempersulit seseorang untuk terjun ke dunia esports.
My esports qualifications:
University Degree❌
Esports Certificate❌
Literal World Champion ✅— Isaac CB (@RiotAzael) April 28, 2021
Sementara itu, ECI mengungkap bahwa salah satu tujuan mereka membuat ujian bersertifikat adalah untuk membuat industri esports menjadi semakin inklusif. Meskipun begitu, studi membuktikan bahwa keberadaan tes terstandarisasi justru akan memperdalam jurang rasisme. Alasannya, tidak semua orang bisa mendapatkan akses ke tingkat pendidikan yang sama. Di Indonesia misalnya, siswa SMA yang tinggal di kota-kota besar pasti akan punya kesempatan lebih besar untuk meraih nilai Ujian Nasional tinggi daripada murid yang tinggal di pelosok.
Satu hal yang harus diingat, hanya karena ada banyak pelaku esports yang menentang keberadaan program sertifikasi, bukan berarti dunia esports tak butuh orang-orang profesional. Justru sebaliknya. Head of Operations, Mineski Indonesia, Herry Wijaya mengatakan, saat ini, industri esports membutuhkan orang-orang yang memang ahli di bidangnya. Namun, dia merasa, keahlian yang diperlukan dalam industri esports bisa dipelajari di industri lain. Dia menjadikan ilmu broadcasting sebagai contoh.
Salah satu daya tarik esports di mata sponsor adalah jumlah penonton yang terus naik dan umur penonton yang relatif muda. Untuk menarik penonton, tentu saja, kompetisi esports harus dikemas sedemikian rupa agar menarik. Jadi, industri esports membutuhkan orang-orang yang mengerti tentang teknik siaran. Untuk memenuhi kebutuhan itu, sebagian pelaku esports memutuskan untuk “membajak” orang-orang yang pernah bekerja di stasiun TV.
“Kita kan sudah punya rencana bisnis, sudah tahu orang-orang seperti apa yang diperlukan, ya kita tinggal cari yang memang profesional. Misalnya, kita perlu orang pajak, ya kita hire orang pajak. Kita perlu orang untuk event management, kita cari orang yang paham soal cost management, yang dipelajari di perkuliahan ekonomi,” ujar Herry ketika dihubungi melalui telpon. “Dan memang hal ini yang terjadi di industri esports 2.0.”
Hal yang sama diungkapkan oleh CEO RRQ, Andrian Pauline alias AP. Dia mengatakan, disiplin ilmu yang digunakan dalam industri esports sebenarnya sudah ada dan digunakan di industri lain, mulai dari videographer, wasit, sampai social media specialist. Pekerjaan-pekerjaan itu bukan sesuatu yang hanya tersedia di dunia esports.
“Kalau dibandingkan dengan industri olahraga konvensional, esports pada dasarnya sama. Ada coach, ada manajer, ada analis, ada pemain, ada yang mencari sponsor,” ungkap AP ketika dihubungi melalui pesan singkat. “Ada yang memastikan jadwal latihan tim, ada yang memastikan semua kebutuhan tim terpenuhi, ada yang scout pemain muda berbakat, ada akademi untuk nurture pemain-pemain muda baru.”
Lebih lanjut AP berkata, “Sebenarnya esports sama dengan olahraga. Yang beda hanya produknya. Sepak bola sudah ada 100 tahun lebih, esports baru seumur jagung, karena dasarnya adalah game. Dan nature dari game itu selalu ada masanya… Evolve terus. Tapi, kerangkanya sama. Skill yang dibutuhkan sama. Mungkin, kalau mau ada sertifikasi, tujuannya akan lebih ke pemahaman esports secara garis besar.”
Herry lalu membandingkan industri esports saat ini dengan industri esports pada awal tahun 2010-an. Ketika itu — dia menyebutkan sebagai era esports 1.0 — orang-orang yang bekerja di dunia esports adalah mereka yang memang punya passion akan esports. Namun, belum tentu mereka punya keahlian di bisnis yang mereka tekuni. Alhasil, mereka dituntut untuk bisa mempelajari skill yang diperlukan. Contohnya, Eddy Lim, Presiden dari IeSPA dan pendiri Ligagame.
“Pak Eddy kan bukan orang yang punya latar belakang broadcasting, tapi Ligagame bekerja di bidang broadcast. Jadi, dia belajar otodidak untuk fit in, mempelajari ilmu yang dia perlukan,” ujar Herry. Namun, sekarang, perusahaan esports biasanya mencari orang yang memang ahli di bidangnya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa penyelenggara turnamen mau mempekerjakan mantan pekerja stasiun televisi.
Alternatif dari Sertifikasi
Industri esports memang tidak punya sistem sertifikasi saat ini. Namun, hal itu bukan berarti pelaku esports tak punya cara untuk memastikan para pelamar pekerjaan punya skill yang mereka butuhkan. Organisasi esports punya scout untuk mencari pemain muda berbakat. Sementara itu, Herry bercerita, tournament organizer seperti Mineski juga punya metode tersendiri untuk menyaring pekerjanya.
“Secara umum, yang kita lakukan adalah meneliti portofolio dan riwayat kerja sang pelamar,” ungkap Herry. “Setelah kita tahu apa saja kemampuannya, kita tinggal uji. Saat wawancara, juga ada tes untuk membuktikan apakah seseorang memang kompeten di bidangnya. Misalnya, seorang pelamar mengaku paham tentang event. Kita akan uji pengetahuan dasar soal event, seperti tools yang dia pakai, apakah benar atau tidak, seberapa efektif dan efisien dia menggunakan tools.”
Fathimah Prajna Iswari, People Team Lead, Garena Indonesia juga mengatakan, sertifikasi bukan kriteria utama ketika mereka hendak merekrut karyawan. Meskipun begitu, jika seseorang memiliki sertifikat, hal itu memang akan menjadi nilai tambah. Sementara itu, Garena akan menggunakan pendidikan formal untuk menyaring kandidat di tahap awal.
“Namun, yang terpenting adalah perekrut dapat melihat kualitas dari setiap kandidat, seperti bagaimana kandidat menyelesaikan masalah, bagaimana kandidat termotivasi untuk menyelesaikan tugas-tugas dengan baik, seberapa rasa ingin tahunya untuk belajar mengenai hal-hal baru, bagaimana kandidat bekerja sendiri atau dengan orang lain, dan lain sebaganya,” kata Fathimah saat dihubungi melalui email.
Secara garis besar, ada tiga tahap dalam proses perekrutan di Garena. Pertama, mereka akan meninjau semua surat lamaran yang masuk dan menentukan kandidat yang akan masuk dalam tahap berikutnya. Di tahap ini, pendidikan formal jadi salah satu pertimbangan tim Garena. Di tahap kedua, para kandidat yang lolos akan diundang untuk ikut dalam wawancara dengan hiring manager. Jika lolos tahap kedua, kandidat akan diundang ke wawancara terakhir dengan Country Head Garena Indonesia.
“Khusus untuk esports, Garena mencari orang-orang yang memiliki project management yang baik, mampu berkomunikasi dan bernegosiasi dengan baik dan juga team player yang baik,” ungkap Fathimah. “Jika kandidat punya pengalaman yang relevan, seperti pernah magang atau pengalaman bekerja di event atau broadcasting, hal itu akan menjadi nilai tambah.”
Kesimpulan
Passion tak lagi cukup untuk bekerja di dunia esports. Sekarang, orang-orang yang ingin terjun ke industri esports juga harus punya keahlian yang mumpuni. Kabar baiknya, ilmu yang Anda dapatkan dari industri lain bisa diaplikasikan di industri esports. Sebelum bekerja di Hybrid.co.id, saya lebih sering berkutat dengan teknologi. Namun, setelah beralih profesi sebagai jurnalis esports, toh ilmu penulisan dan jurnalisme yang saya pelajari di pekerjaan saya sebelumnya tetap saya gunakan.
Popularitas esports membuat semakin banyak orang tertarik untuk melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan esports. Apalagi karena esports bisa bertahan melalui pandemi virus corona. Hanya saja, orang-orang yang sama sekali awam akan esports mungkin harus mencoba mengejar ketertinggalannya. Pelatihan dan tes bersertifikasi bisa menjadi salah satu cara untuk belajar akan pengetahuan dasar soal esports.
Walau sertifikat bisa membantu pekerja untuk membuktikan kemampuannya dan memudahkan perusahaan mencari pegawai yang punya skill, kepemilikan sertifikat tidak bisa menjadi persyaratan absolut untuk masuk ke dunia esports. Salah satu alasannya karena dunia esports yang sangat dinamis. Alasan lainnya adalah karena luasnya cakupan keahlian yang diperlukan di dunia esports.
Pada akhirnya, tidak salah jika sebuah badan ingin membuat program sertifikasi esports demi memuluskan jalan orang-orang yang memang ingin menekuni bidang competitive gaming. Namun, jika tidak dieksekusi dengan hati-hati, hal itu justru bisa menyebabkan masalah sendiri di dunia esports. After all, the road to hell is paved with good intentions.
Feat Image credit: ESL