Dalam industri game, developer dan publisher memiliki fungsi yang berbeda. Biasanya, developer lebih fokus dalam proses pembuatan game. Sementara publisher lebih memperhatikan sisi marketing dan distribusi. Dalam Indonesia Game Developer Exchange (IGDX), salah satu topik yang dibahas adalah kontrak antara developer dan publisher game.
Game Seperti Apa yang Dicari oleh Publisher?
Iain Garner, CEO dan Co-Founder Neon Doctrine mengatakan, sebagai publisher, Neon Doctrine tidak memiliki preferensi khusus akan genre atau gameplay dari game yang hendak mereka rilis. Menurut Iain, selama sebuah game memiliki gameplay yang seru untuk dimainkan, maka ia punya kesempatan untuk menarik perhatian Neon Doctrine sebagai publisher.
Satu hal yang Iain keluhkan adalah ketidaktahuan developer akan cara untuk melakukan pitching ke publisher. Dia bercerita, terkadang, developer mencoba untuk menggambarkan game-nya dengan banyak kata, tanpa memberikan dukungan visual, seperti gambar dan video. Padahal, visual adalah bagian penting dari game.
“Jika Anda sedang membuat cyberpunk action game, saya ingin melihat cyberpunk action game. Saya ingin melihat gambar dan video dari game itu,” ujar Iain. “Saya ingin bisa melihat game yang developer buat demi bisa memahami mekanisme dari game tersebut sebelum saya bisa menawarkan diri untuk membantu sebagai publisher.”
Senada dengan Iain, CEO dan pendiri Toge Productions, Kris Antoni Hadiputra juga mengungkap bahwa Toge tidak memiliki genre atau gameplay favorit terkait game yang hendak mereka rilis. “Kami juga tidak punya genre atau style khusus dari game yang menarik minat kami,” katanya. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan Toge justru adalah target audiens dari game yang developer buat. Faktor pertimbangan lainnya adalah keunikan apa yang bisa developer tawarkan untuk target pasar mereka tersebut.
Selain itu, sebelum memutuskan untuk bekerja sama dengan developer, Toge juga mencari tahu tentang tim developer itu sendiri. “Jika mereka punya masalah internal, mereka mungkin bukan rekan yang tepat untuk kami,” kata Kris. “Idealnya, developer memiliki tim yang solid, berisikan orang-orang yang baik dan mudah untuk diajak bekerja sama. Pada akhirnya, kami akan bertanya: bisakah mereka menjadi teman kami?”
Apa yang Harus Dilakukan oleh Developer Saat Mencari Publisher?
CEO Ripples Asia, David Liem mengatakan, sebelum menandatangani kontrak dengan publisher, developer sebaiknya mencari tahu tentang channel distribusi apa saja yang publisher punya. Misalnya, di masa depan, apakah publisher berjanji untuk merilis game buatan developer di konsol seperti PlayStation dan Switch atau publisher akan meluncurkan game di platform untuk PC, seperti Steam dan Epic Games. Terkadang, publisher juga hanya mengkhususkan diri untuk merilis game di kawasan tertentu.
“Baiknya, developer mengerti channel distribusi milik publisher,” kata David. Lebih lanjut dia menjelaskan, developer juga harus memperhatikan apakah publisher bisa mengomunikasikan rencana marketing mereka demgan jelas. “Terkadang, apa yang developer anggap akan publisher sediakan adalah proyeksi ideal mereka sendiri,” ujarnya. Jika dibiarkan, kesalahpahaman ini bisa menimbulkan masalah di masa depan.
Saran Iain bagi developer yang ingin bekerja sama dengan publisher adalah untuk mencari tahu tentang publisher sebelum menandatangani kontrak. “Biasanya, ketika perusahaan game memiliki perilaku yang buruk, Anda akan bisa menemukan jejaknya, berupa sekumpulan developer game yang merasa kecewa, ” ungkapnya. Untuk mengetahui perilaku publisher, developer juga bisa mengobrol dengan developer lain yang pernah bekerja sama dengan publisher tersebut.
Iain mengatakan, salah satu “red flag” dari publisher adalah ketika mereka menjanjikan developer, mereka akan menjual game mereka dalam jumlah banyak. Dia bercerita, sekalipun developer membuat game yang sangat hebat dan pihak publisher telah melakukan marketing dengan baik, selalu ada kemungkinan sebuah game akan menemui masalah saat atau setelah ia diluncurkan.
Iain menceritakan tentang Samurai Punk, developer asal Australia yang meluncurkan game baru — JUSTICE SUCKS — pada 9 September 2022. Game itu menarik, terbukti dari fakta bahwa ada cukup banyak orang yang memasukkan game tersebut dalam daftar wishlist mereka. Namun, tanggal peluncuran game itu bertepatan dengan momen Ratu Elizabeth II tutup usia. Alhasil, meskipun Samurai Punk berhasil membuat game yang bagus, proses peluncuran game mereka tidak berjalan maksimal, sesuai dengan rencana semula.
Sementara itu, saran yang diberikan oleh Kris dari Toge bagi developer yang ingin menggandeng publisher adalah untuk menggunakan jasa pengacara saat membaca draft kontrak yang diberikan oleh publisher. Dia memperingkatkan, kontrak dari publisher bisa terlihat tidak bermasalah ketika dibaca oleh orang awam, tapi memiliki celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh pihak publisher.
“Anda tidak harus mempekerjakan seorang pengacara di perusahaan Anda,” kata Kris. “Anda bisa menggunakan jasa perusahaan hukum atau pengacara untuk membaca kontrak setiap kali Anda mendapatkan kontrak dari publisher. Hal ini akan menghemat biaya.”
Apa yang Terjadi Saat Kontrak Harus Dibatalkan?
Menurut Kris, idealnya, developer dan publisher memiliki hubungan saling percaya. Baik developer maupun publisher saling bekerja sama atas dasar keinginan mereka sendiri, tanpa ada niat untuk membatalkan kontrak. Namun, Kris mengakui, tidak bisa dipungkiri, selalu ada kemungkinan kontrak antara developer dan publisher harus dibatalkan. Misalnya, karena salah satu pihak tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tentang pembatalan kontrak, Kris menyarankan untuk menggunakan jasa pengacara atau badan hukum. Saran lain yang dia berikan adalah untuk tetap menjaga perilaku diri sendiri. “Always maintain morale high ground,” ujarnya. “Jika Anda selalu melakukan hal yang benar dan pihak lawan yang berusaha mengeksploitasi Anda, saya percaya, mereka akan mendapatkan karma.”
Tentang pembatalan kontrak, David menyebutkan, sejak awal, developer dan publisher seharusnya menentukan “ground rules” terkait interaksi antara keduanya. Harapannya, hal itu akan meminimalisir masalah yang mungkin terjadi antara developer dan publisher. Dia juga memberikan contoh dari ground rules yang dia maksud.
“Misalnya, apakah Anda ingin mengadakan meeting setiap dua minggu sekali. Dari pihak publisher, mungkin Anda ingin developer untuk memberikan update secara berkala. Sementara dari pihak developer, Anda mungkin ingin agar publisher menjelaskan rencana marketing mereka,” kata David.
David bercerita, masalah antara developer dan publisher terkadang berawal dari masalah kecil. Namun, jika dibiarkan, masalah itu bisa membengkak dan menjadi masalah besar. Dia juga mendorong pihak developer dan publisher untuk melakukan diskusi secara terbuka, termasuk topik yang mungkin kurang menyenangkan, seperti royalti, pajak, atau masalah lain terkait uang.
Sama seperti David, Iain percaya, kontrak antara developer dan publisher harus membahas ekspektasi kedua belah pihak secara jelas. “Dengan begitu, ketika ada masalah, kontrak bisa dijadikan sebagai awal mula diskusi,” ujarnya. “Pembatalan kontrak, langkah ini harus benar-benar menjadi langkah terakhir.”