Setelah hampir 4 tahun menunggu, game survival horror “The Forest” besutan Endnight Games akhirnya mendapatkan sekuel. Sekuel berjudul “Sons of the Forest” ini pertama kali diperkenalkan ke publik pada tahun 2019 melalui ajang The Game Awards.
Awalnya, game survival horror terbaru dari Endnight Games ini dijadwalkan untuk rilis pada bulan Mei 2022 lalu. Namun, karena alasan tertentu, mereka memutuskan untuk menunda perilisannya ke Oktober 2022. Sayangnya, mereka sekali lagi tidak dapat menuntaskan sekuel dari The Forest ini tepat waktu, dan akhirnya merilis Sons of the Forest pada 23 Februari 2023 kemarin dengan status Early Access.
Meskipun memliki gameplay yang serupa dengan pendahulunya, Sons of the Forest menghadirkan beberapa peningkatan pada sektor grafis, gameplay, mekanik, dan AI (artificial intelligence) musuh-musuhnya. Dibanderol dengan harga Rp245 ribu, Sons of the Forest saat ini hanya tersedia di PC via Steam.
Rilis dengan status Early Access, Sons of the Forest langsung mendapat lebih dari 70 ribu ulasan positif di Steam. Namun, dengan banderol lebih dari dua kali lipat dibanding pendahulunya, apakah Sons of the Forest masih worth it untuk dipinang? Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, kali ini saya akan memberikan review jujur mengenai Sons of the Forest.
Tanpa basa-basi lebih lanjut, berikut adalah review Sons of the Forest.
Musuh-musuh makin cerdas, kombat lebih sulit
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, gameplay Sons of the Forest terbilang sama persis seperti pendahulunya. Namun, ada beberapa aspek yang ditingkatkan oleh sang developer — seperti musuh yang jauh lebih cerdas serta gameplay dan atmosfer yang lebih mencekam.
Mirip dengan The Forest, kanibal-kanibal di Sons of the Forest dapat menyerang Anda secara tiba-tiba. Entah Anda sedang membangun rumah, memotong kayu, atau memasak makanan, kelompok kanibal bisa saja tiba-tiba mengunjungi dan membuat Anda mengeluarkan kata-kata mutiara.
Lebih seramnya lagi, kanibal-kanibal di game ini lebih mahir dalam mengendap-endap dan bersembunyi. Mereka dapat menutupi diri mereka dengan dedaunan, menunggu di tengah hutan, dan menyergap Anda tiba-tiba. Tidak hanya itu, mereka juga dapat memanjat dan menunggu di pepohonan. Dan saat Anda tidak sadar mereka ada di sana, mereka akan lompat dan menyerang Anda dari atas.
Pintarnya, jika Anda berhasil menghabisi sebagian anggota kelompok kanibal yang menyerang Anda, kemungkinan besar mereka tidak akan melanjutkan serangan dan lebih memilih untuk lari menyelamatkan diri. Namun, terdapat beberapa kanibal yang emosional dan menangis saat melihat teman-temannya terbunuh dan menjadi lebih agresif.
Soal kombatnya, meski rilis dengan early access, tampaknya Endnight sangat memoles mekanik perkelahian Sons of the Forest. Tiap melayangkan pukulan di game ini, semuanya terasa nyata dan tepat sasaran. Animasi serta ragdoll dari para musuh juga dibuat sangat realistis. Namun, baku hantamnya tidak semudah di The Forest.
Pasalnya, kini kanibal-kanibal yang menjadi musuh utama Anda juga lebih cerdas dalam menangkis serangan Anda. Mereka juga lebih dinamis dalam melihat serangan yang akan Anda layangkan. Saat Anda mengayunkan kapak, mereka dapat mundur, menghindar, hingga menangkisnya menggunakan senjata mereka.
Cerita penyelamatan keluarga CEO yang hilang secara misterius
Game dimulai dengan Anda yang sedang menaiki helikopter menuju pulau pribadi milik seorang pengusaha kaya. Bukan untuk liburan, Anda ditugaskan ke sana untuk mencari sang CEO beserta anak dan istrinya yang telah hilang berminggu-minggu lamanya. Naasnya, di tengah perjalanan, helikopter Anda ditembak oleh pasukan tidak dikenal dan jatuh di pegunungan.
Setelah sadar, Anda melihat regu yang terbang bersama Anda untuk melaksanakan misi penyelamatan tidak selamat dari kecelakaan helikopter — kecuali satu orang, Kelvin. Nah, Anda bersama Kelvin nantinya akan menyelidiki sebenarnya apa yang terjadi di pulau misterius itu sekaligus bertahan hidup dari serangan kanibal serta monster menyeramkan.
Meski latar tempatnya berbeda dengan The Forest, cerita yang disuguhkan oleh Sons of the Forest masih berkaitan dengan prekuelnya. Bahkan, ada beberapa karakter yang muncul kembali, seperti Timmy (anak yang menghilang di The Forest) dan Eric (ayah Timmy, karakter utama The Forest). Untuk cerita yang disuguhkan terbilang singkat, saya hanya membutuhkan waktu seharian (sekitar 5-6 jam) untuk menamatkannya.
Namun, poin minus pertama untuk Sons of the Forest ada di ceritanya. Ada beberapa scene yang terlalu sepi alias kurang dialog. Seperti saat helikopter jatuh, regu Anda tidak ada yang teriak atau bahkan berbicara sedikit pun. Bahkan di saat ending pun, tidak ada yang berbicara sama sekali. Hal ini membuat pengalaman story-nya terasa kurang ‘hidup’.
Selain itu, menurut saya, klimaks cerita Sons of the Forest juga terbilang kurang menantang. Tidak ada final boss serta tidak ada indikasi bahwa Anda telah mencapai klimaks. Bahkan, saya bersama dua teman saya bingung saat telah mencapai ending ceritanya. “Lho, ini sudah selesai?” Tentu saja, ini dapat dimaklumi mengingat status rilisnya yang masih early access.
Mekanik cuaca dinamis, grafik rupawan, namun masih banyak bug
Satu hal yang sangat memuaskan di Sons of the Forest adalah grafiknya yang sangat rupawan. Menggunakan Unity Engine, game ini berhasil menyuguhkan pantulan-pantulan cahaya, air, ombak, dan suasana hutan yang super realistis. Berjalan di tengah hutan terasa seperti benar-benar sedang mendaki pegunungan di Bogor.
Dengan PC kentang saya (AMD Ryzen 5 3600 dan Radeon RX 560), game ini dapat berjalan lumayan mulus di 30-40 FPS. Tentu saja, saya harus bermain dengan pengaturan grafis rata kiri namun masih di resolusi 1080p. Meski rata kiri, sinar matahari yang terhalang dedaunan pohon hingga refleksi air masih nyaman dipandang.
Selain itu, cuaca di pulau terpencil itu juga dapat berubah-ubah secara dinamis. Beberapa hari dapat berjalan dengan cuaca bersalju yang dapat membunuh sebagian besar tanaman dan mengharuskan Anda untuk menjaga suhu tubuh Anda. Beberapa hari ke depannya juga dapat hujan deras ditambah angin kencang yang dapat menggoyangkan pepohonan di sekitar Anda.
Berbicara soal tumbuhan, terkadang terdapat beberapa dedaunan dan bebatuan yang tiba-tiba muncul dan hilang di depan Anda. Tidak hanya itu, saat saya sedang memotong kayu, tiba-tiba hutan di depan mata hilang dan menjadi bukit kosong. Beberapa saat kemudian, hutan itu muncul kembali namun memakan korban. Teman saya yang sedang berjalan-jalan tersangkut di dalam pohon yang tiba-tiba muncul kembali.
Selama bermain Sons of the Forest, saya juga mendapati bug serta glitch minor lainnya seperti danau es bersuara air, item yang sering hilang entah kemana, hingga mayat kanibal yang ditelan bumi. Sekali lagi, ini dapat dimaklumi, mengingat statusnya yang masih early access.
Kesimpulan
Sekuel dari The Forest ini sangat layak untuk dibeli dan dimainkan bersama teman-teman Anda. Dengan banderol Rp245 ribu, Anda dapat seru-seruan membantai kanibal, membangun markas, hingga menelusuri misteri dari pulau terpencil itu bersama teman-teman Anda. Menurut saya, beberapa bug dan glitch minor yang saya alami dapat ditoleransi karena keseruan pengalaman bermainnya.
Namun, bagi Anda yang penasaran dengan storyline-nya, saya tidak bisa menyarankan Anda untuk menikmati cerita dari Sons of the Forest — setidaknya untuk saat ini. Pasalnya, cerita yang disematkan oleh Endnight masih terasa kurang dipoles, dengan beberapa kekurangan seperti minimnya dialog serta konten. Saran saya, tunggu hingga Endnight berani untuk melepas status early access dari Sons of the Forest.
Nah, jika Anda tertarik untuk langsung memainkan Sons of the Forest, Anda dapat membelinya di Steam.