Profil Digital Happiness, Kreator dari Franchise DreadOut

Kini, Digital Happiness sibuk mengembangkan DreadHaunt dan Graveless

Ada banyak cerita hantu di Indonesia, mulai dari tuyul, pocong, sampai genderuwo. Sementara itu, di kalangan gamers, horor adalah genre yang cukup populer.

Buktinya, sejumlah franchise game horor masih bisa bertahan sampai saat ini. Sayangnya, kebanyakan game horor hanya mengusung hantu "internasional", seperti zombie atau vampire. Tidak banyak -- atau mungkin justru tidak ada -- game yang menampilkan hantu-hantu khas Asia, khususnya Indonesia. Sampai pada akhirnya, Digital Happiness meluncurkan DreadOut pada 2014.

Berikut kisah dari Digital Happiness.

Awal Mula Digital Happiness

Digital Happiness didirikan pada 2013. CEO Digital Happiness, Rachmad Imron mengatakan, alasan mengapa dia tertarik untuk membuat developer game adalah karena game memang merupakan passion-nya. Selain itu, dia juga ingin membuat game yang bisa merepresentasikan budaya Indonesia.

"Waktu itu, kita agak gemas, melihat industri game di Indonesia belum memiliki game yang kita mau," kata Imron dalam wawancara dengan Hybrid.co.id. "Dari kecil, kita sudah bermain game. Dari game, kita belajar Bahasa Inggris. Kita mengenal berbagai budaya dari game. Kita bisa tahu akan viking, Valhalla, ninja, samurai dari games. Sayangnya, tidak ada game yang merepresentasikan identitas kita. Berangkat dari sana, kita ingin membuat game yang bisa menjadi perwakilan Indonesia."

DreadOut merupakan game komersial pertama yang Digital Happiness rilis. Sebelum itu, mereka pernah membuat fan game dari The Raid. Senang dengan film The Raid, tim Digital Happiness pun membuat fan game dari film itu secara gratis. Hanya saja, walau respons dari para gamers baik, Digital Happines mengalami masalah dengan Sony Pictures, yang memegang hak atas intellectual property (IP) dari The Raid. Pada akhirnya, Sony meminta fan game The Raid itu untuk dihapus. Menariknya, hal ini justru mendorong Digital Happiness untuk menciptakan IP mereka sendiri.

Ialah DreadOut, franchise utama dari Digital Happiness. Sampai sekarang, mereka telah merilis DreadOut, DreadOut 2, DreadOut: Keepers of the Dark, dan DreadEye VR. Saat ini, Digital Happiness juga sedang mengembangkan game baru untuk DreadOut, yang dinamai DreadHaunt. Keunikan dari DreadHaunt jika dibandingkan dengan game-game DreadOut sebelumnya adalah game ini merupakan game multiplayer online.

Inspirasi di Balik DreadOut

Ketika ditanya tentang alasan mengapa Digital Happiness memutuskan untuk fokus pada franchise game horor, Imron mengatakan, kru Digital Happiness memang senang dengan genre horor. Alasan lainnya adalah karena ada banyak cerita mistis di Indonesia, yang memudahkan Digital Happiness dalam melakukan riset.

"Ada banyak cerita atau lore hantu di Indonesia. Contohnya, nama kota Pontianak. Namanya kan berasal dari cerita hantu kuntilanak," ujar Imron. "Jadi, kita pun memutuskan untuk membuat game horor. Karena melakukan risetnya cenderung 'mudah' dan 'murah'. Berbeda dengan, misalnya, kalau kita mau membuat cerita tentang Majapahit atau Sriwijaya. Kita akan harus melakukan riset yang panjang dan membutuhkan biaya yang besar."

Imron juga menekankan betapa pentingnya riset dalam membuat game. Menurutnya, riset tema dapat membantu developer untuk menemukan identitas dari game yang sedang mereka buat. Harapannya, hal itu juga akan menjadi keunikan yang dapat memberikan nilai lebih pada game tersebut.

"Setelah riset tema, baru kita coba untuk sinergikan dengan riset market," ungkap Imron. "Misalnya, kita melakukan riset market tentang game horor itu bagaimana. Apa ada market-nya? Sekarang, bagaimana keadaan pasar untuk game horor?" Dari riset market ini, tim Digital Happiness bisa mengetahui bahwa belum ada game horor yang fokus pada hantu khas Indonesia. Jadi, ketika DreadOut menampilkan konsep tersebut, hal itu jadi keunikan dari game tersebut.

Imron bercerita, pocong yang tampil di DreadOut juga telah melalui sejumlah evolusi. Pada awalnya, pocong di DreadOut tampil seperti pocong biasa, berbalut kain kafan dan mendekati korban denga melompat. Namun, gamers di luar Indonesia justru menganggap penampilan pocong itu lucu dan tidak menyeramkan. Alhasil, tim Digital Happiness untuk membekali pocong di DreadOut dengan senjata berup celurit.

Fokus Digital Happiness ke Genre Horor

DreadHaunt bukan satu-satunya proyek yang sedang digarap oleh Digital Happiness. Belum lama ini, mereka merilis cuplikan dari game baru yang mereka buat: Graveless. Walau game ini bukan bagian dari franchise DreadOut, ia tetap memiliki vibe mistis dan horor. Tentang hal ini, Imron menjelaskan mengapa Digital Happiness tetap membuat game berbau horor dan mistis, walau mereka sedang membuat game di luar franchise DreadOut.

Imron membandingkan proses membuat game layaknya membuat rumah. "Saat membangun rumah, kita kan perlu membangun pondasi, baru kita kembangkan," kata Imron. Setelah fokus dalam membuat game horor dalam seri DreadOut, Digital Happiness kini telah memiliki "pondasi" dalam membuat game horor.

"Kita kan masih bootstrap company. Untuk membuat IP baru itu membutuhkan dana dan sumber daya yang lumayan besar," ujar Imron. Meskipun Digital Happiness selalu fokus pada game horor, tapi mereka selalu berusaha untuk menonjolkan unsur yang berbeda pada setiap game yang mereka buat.

Imron menjelaskan, DreadOut merupakan game horor dengan playtime selama sekitar 4 jam. Sementara durasi bermain DreadOut 2 lebih lama. Selain itu, game itu juga mengusung konsep non-linear. "Graveless sendiri punya tema yang jauh berbeda. Game ini menggabungkan unsur fantasi, horor, dan action," ungkap Imron. "Graveless adalah salah satu IP yang kita bangun selain Dread Universe."

DreadOut Sebagai IP: Game, Film, dan Komik

DreadOut tidak hanya hadir sebagai game, tapi juga film dan komik. Imron mengungkap, sejak awal, selain membuat game dengan identitas lokal, Digital Happiness memang ingin menjadi perusahaan yang bisa bertahan hidup dari IP. Pada awalnya, walau mereka memiliki "grand design" untuk mengembangkan DreadOut ke film, komik, dan bahkan merchandise, mereka memutuskan untuk fokus dalam membuat game terlebih dulu.

"IP itu tidak akan bernilai apa-apa jika kita tidak bisa membuktikannya di pasar, kalau dari segi pemasukan, IP-nya tidak bagus," ujar Imron. "MIsalnya, kalau game kita gagal, ya tidak akan jadi apa-apa, ia tidak akan dibuat menjadi film." Kabar baiknya, setelah DreadOut dirilis, ada pihak yang menawarkan untuk mengadaptasi game itu menjadi film.

Imron bercerita, ada banyak pihak yang menawarkan untuk mengangkat DreadOut sebagai film. Dari semua tawaran yang didapat, Digital Happiness mempercayakan adaptasi DreadOut ke film pada sutradara Muhammad Stamboel alias "Kimo Stamboel". "Kalau sama Om Kimo, kita sangat setuju," kata Imron. "Karena kita memang fans-nya dan directing skill-nya juga oke. Visinya juga nyambung dengan kita. Jadi, kita serahkan hak lisensi DreadOut untuk diadaptasi ke layar lebar."

Adaptasi game menjadi film atau seri TV adalah tren yang telah ada sejak lama. Dan beberapa tahun belakangan, semakin banyak game yang diadaptasi menjadi film, mulai dari Resident Evil, Assassin's Creed, sampai World of Warcraft. Selain itu, franchise game juga bisa diangkat ke media hiburan lain, seperti animasi (Arcane dari League of Legends) dan seri TV (The Witcher).

Imron pun menyadari tren ini. Namun, dia mengatakan, sebagai IP maker, seseorang atau sebuah perusahaan tidak boleh terburu-buru untuk membuat IP mereka ke dalam berbagai media. Menurutnya, untuk membangun IP, sebaiknya, perusahaan fokus pada satu media terlebih dulu.