Industri mobile game di Indonesia bernilai US$1,5 miliar pada 2021, menurut laporan Newzoo. Hal itu berarti, pemasukan industri mobile game Indonesia merupakan yang terbesar ke-8 di dunia.
Sayangnya, pasar game Indonesia masih didominasi oleh game buatan developer asing. Kabar baiknya, Indonesia tetap punya sejumlah developer game yang tidak hanya bisa bertahan di ranah game, tapi juga terus tumbuh sebagai perusahaan.
Salah satunya, Agate International. Karena itulah, saya akan membahas tentang profil Agate dalam artikel ini.
Awal Mula Agate International
Agate didirikan pada 2009. Pada awalnya, perusahaan asal Bandung ini hanya mempekerjakan 18 orang yang juga merupakan co-founders perusahaan. Namun, sekarang, mereka telah memiliki sekitar 300 karyawan. Kini, Agate dipimpin oleh Shieny Aprilia. Dia resmi menjabat sebagai CEO Agate per 1 Juni 2022. Sebelum itu, dia menjabat sebagai Chief Operating Officer.
Perempuan yang akrab dengan panggilan Shieny ini merupakan salah satu co-founder dari Agate. Di situs resminya, Agate menjelaskan bahwa pada awalnya, Shieny mengambil peran sebagai programmer, sebelum dia fokus pada sisi bisnis dan manajemen. Dia bercerita, sejak kecil, dia memang memiliki cita-cita untuk bekerja di developer game.
“Saya berterima kasih karena mendapatkan kesempatan untuk berkarya di industri game, bisa membangun industri game Indonesia bersama dengan Agate,” kata Shieny dalam wawancara dengan Hybrid.co.id. Ketika ditanya apakah pekerjaan sebagai developer game sesuai dengan ekspektasinya, dia menjawab: ada bagian yang memang sesuai ekspektasi dan ada yang tidak sesuai.
“Kalau dulu, saya bermimpi ingin bisa membuat game sesuai yang saya mau. Soal ini, ekspektasinya agak berbeda. Karena, apa yang kita kerjakan tidak selalu sesuai dengan harapan. Tapi, kalau pekerjaan di perusahaan game dijalani dengan sungguh-sungguh, tetap terasa seru. Dan hal ini masih sesuai ekspektasi,” jelas Shieny.
Shieny mengungkap, dia telah bekerja bersama Agate selama 13 tahun. Bersama dengan para co-founders Agate, dia mendirikan perusahaan game itu ketika mereka lulus kuliah. “Saya memang bercita-cita mau bekerja di perusahaan game setelah lulus,” katanya. “Setelah bertemu dengan teman-teman para co-founder, ternyata mereka lebih ‘gila’ lagi. Mereka nggak hanya mau bekerja di perusahaan game, mereka ingin membuat game sendiri. Saya nggak berpikir ke arah sana,” ujarnya sambil tertawa.
Pada 2009, industri game lokal Indonesia masih belum sebesar sekarang. Jumlah developer yang ada pun masih lebih sedikit. Meskipun begitu, Shieny mengatakan, dia dan teman-temannya tidak merasa khawatir akan keputusan mereka untuk berkarir di industri game. “Karena kita masih naif, baru lulus kuliah, jadi percaya diri saja,” katanya.
Sekarang, Shieny menganggap, kesempatan untuk bekerja di perusahaan game tetaplah kesempatan langka. Pasalnya, jumlah perusahaan game di Indonesia masih terbilang sedikit, apalagi jika dibandingkan dengan perusahaan software.
“Sebenarnya, semakin ke sini, semakin terbuka mata saya, bahwa ternyata industri game memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi, baik di global maupun di Indonesia,” ungkap Shieny. “Awal-awalnya memang hanya modal semangat. Tapi, setelah nyemplung, ternyata pasar game ini memang market yang bagus, pasarnya masih terus tumbuh.”
Agate, dari Masa ke Masa
Di awal berdirinya, Agate hanya mempekerjakan 18 orang yang juga merupakan co-founders. Shieny mengatakan, semua co-founder Agate langsung bekerja secara full time di perusahaan. Sekarang, Agate telah menjadi perusahaan yang memiliki karyawan sebanyak 300 orang. Perubahan Agate sebagai perusahaan tidak hanya terlihat dari jumlah pegawai mereka, tapi juga dari skala proyek yang mereka kerjakan. Sekarang, skala dari proyek yang Agate buat telah menjadi semakin besar.
Shieny mengatakan, game merupakan industri yang cepat berubah. Demi bisa bertahan, Agate pun harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan dalam industri game. Sebagai contoh, pada 2009, Agate fokus untuk membuat game berbasis web menggunakan Flash, karena ketika itu, game Flash memang tengah populer.
“Lalu, kita masuk ke mobile. Game smartphone pun, awalnya kita membuat game berbayar terlebih dulu, sebelum kita pindah ke game free-to-play,” cerita Shieny. “Sekarang, kami bisa mewujudkan mimpi untuk merilis game di konsol, seperti Switch dan PlayStation.”
Dia menjelaskan, sekarang, Agate banyak mengembangkan game multiplatform. Selain itu, mereka juga fokus untuk membuat game online. “Kalau dulu, membuat game single-player saja sudah penuh perjuangan,” ungkap Shieny.
Menyadari bahwa game adalah industri yang mengalami perubahan dengan cepat, Agate mencoba untuk membuat budaya perusahaan yang sesuai. Shieny menjelaskan, Agate selalu berusaha untuk mendorong para karyawan mereka untuk “level up”. Dia berkata, “Anak-anak Agate harus selalu mau belajar. Jadi, ketika ada perubahan, mereka akan mau embrace perubahan itu.”
Shieny menjadikan tren NFT game sebagai contoh. “Tahun kemarin, NFT booming. Tapi sekarang, NFT sudah nggak seseksi kemarin,” ujarnya. Walaupun, dia mengakui, dari sisi teknologi, industri NFT kini memang sudah menjadi semakin matang.
Sementara itu, dari segi jumlah game yang Agate sudah buat, Shieny memperkirakan, selama 13 tahun berdiri, Agate telah membuat ratusan game. Namun, jumlah game yang mereka telah mereka rilis berkisar 50-100 games di berbagai platform.
Skala dari game-game yang Agate buat pun beragam, mulai dari game super kecil yang bisa diselesaikan dalam waktu satu bulan, sampai game yang membutuhkan waktu dua sampai tiga tahun untuk dikembangkan.
Dalam membuat game, Shieny menjelaskan, setiap proyek akan ditangani oleh satu tim. Dan masing-masing tim tersebut akan fokus untuk membuat game masing-masing. Dengan begitu, dalam satu waktu, Agate bisa mengembangkan beberapa game sekaligus, meskipun game-game itu dibuat oleh tim yang berbeda-beda. Shieny mengatakan, alasan mengapa setiap tim hanya fokus untuk mengerjakan satu proyek adalah agar mereka bisa fokus.
“Artists tidak bisa mengerjakan dua proyek yang berbeda sekaligus. Nanti, artstyle-nya jadi tidak konsisten, karena mereka harus terus mengubah artstyle yang mereka gunakan,” kata Shieny. “Begitu juga dengan programmers dan game designers. Kalau mengerjakan dua proyek sekaligus, hasilnya tidak akan maksimal.”
Proses Pembuatan Game di Agate
Sebelum bekerja untuk Agate, Shieny mengatakan, dia pernah bekerja sebagai pegawai magang di perusahaan software. Menurutnya, membuat game lebih sulit daripada membuat software biasa. Karena, game tidak hanya harus bisa berjalan dengan lancar, tapi juga seru untuk dimainkan.
Hanya saja, definisi “seru” dari setiap gamers berbeda-beda. Sebagian orang mungkin akan senang untuk memainkan game yang menantang seperti Dark Souls, tapi sebagian yang lain mungkin akan lebih suka untuk bermain game yang ringan.
Saat membahas tentang kriteria yang digunakan untuk menentukan game apa yang hendak Agate buat, Shieny mengatakan, pandangan pribadi para pekerja menjadi salah satu hal yang dipertimbangkan.
“Tidak hanya di Agate, kebanyakan developer juga pasti senang untuk bermain game,” kata Shieny. “Karena sudah terbiasa main game, mereka jadi tahu game yang bagus itu seperti apa. Mereka sudah punya sense yang bagus.”
Selain sudut pandang pribadi para developer, Agate juga akan melakukan tes ke konsumen untuk melakukan validasi akan proyek game yang hendak dibuat. Salah satu cara Agate untuk mendapatkan saran dan komentar dari konsumen adalah dengan membiarkan mereka memainkan prototipe game yang belum sempurna. Terkadang, Agate juga akan melakukan validasi atas konsep game. Shieny mengatakan, hal ini bisa dilakukan dengan memasang “iklan palsu”.
“Jadi, sebenarnya, game yang sedang dibuat belum ada, tapi kita sudah buat iklan, poster, dan trailer, seolah-olah game-nya sudah jadi,” cerita Shieny. “Dari sana, kita bisa mendapatkan data yang sangat membantu.”
Dia mengungkap, dua persen adalah standar Click Through Rate (CTR) dari sebuah iklan. Namun, Agate meningkatkan angka itu menjadi lima persen. Artinya, jika Agate memasang fake ad untuk ditampilkan pada 10 ribu orang, mereka baru akan menganggap konsep game itu menarik ketika ada 500 orang yang mengklik iklan tersebut.
Walau konsep game sudah melalui proses validasi, terkadang, tetap muncul masalah dalam tahap pengembangan, seperti selera konsumen yang berubah atau masalah internal. “Misalnya, ketika dana pengembangan tinggal sedikit, tapi proses pengembangan masih lama, kita bisa perkecil skala game,” ujar Shieny. Dia memberikan contoh, memperkecil skala sebuah game bisa dilakukan dengan mengurangi jumlah level dalam game tersebut.
Berbeda dengan startup, yang terkadang melakukan pivot dan mengubah produk yang mereka buat untuk menyesuaikan dengan pasar, developer game tidak akan melakukan pivot. “Kalau kita harus melakukan pivot, lebih baik jika kita mulai membuat game dari nol lagi,” jelas Shieny. “Karena kalau dari segi premise sudah salah dan kita harus melakukan pivot, hal itu akan memakan banyak waktu.”
Ekspansi ke Asia Tenggara
Sebagai perusahaan yang telah berdiri selama belasan tahun, tentunya, Agate punya visi dan misi tersendiri. Shieny mengatakan, misi Agate, ketika perusahaan didirikan pada 2009 adalah untuk memberikan kesempatan pada orang-orang Indonesia yang ingin bekerja di industri game. “Dan tidak hanya pekerjaan di entry level. Karena kalau hanya itu, kita tidak akan bisa berkompetisi di tingkat global. Padahal, kita mau bisa bersaing di level global,” katanya.
Selain itu, Agate juga ingin bisa menjadi “hub” untuk pekerja di industri game Tanah Air. Shieny juga mengungkap, Agate berencana untuk melakukan ekspansi ke Asia Tenggara. Harapannya, agar nama Agate bisa semakin dikenal di skala global.
Shieny percaya, misi Agate kini menjadi semakin penting. Pasalnya, dia memperkirakan 95% dari generasi Alpha — generasi setelah gen Z — senang untuk bermain game. Hal itu berarti, dalam 5-10 tahun ke depan, akan ada semakin banyak orang yang tertarik untuk membuat atau bekerja di industri game, layaknya para pendiri Agate.
“Kalau kita tidak bisa menciptakan opportunity untuk mereka, kan sayang, cita-cita orang tidak bisa menjadi kenyataan,” ujar Shieny. “Kalau orangnya super fight, dia mungkin tetap bisa bekerja di industri game, walau di luar negeri. Tapi jika seperti itu, Indonesia tidak akan bisa menjadi kreator. Dan kita hanya bisa menjadi konsumen.”
Shieny mengatakan, beberapa negara di Asia Tenggara — seperti Vietnam, Thailand, Singapura, dan bahkan Malaysia — memiliki jumlah pekerja industri game yang lebih banyak. Namun, dia yakin, dari segi kualitas, pekerja Indonesia juga tidak kalah mumpuni.
“Hanya dari sisi jumlah kita masih kalah,” katanya. Salah satu alasannya, menurut Shieny, adalah karena regulasi di negara-negara seperti Malaysia lebih baik. Walaupun, dia tidak memungkiri, pemerintah Indonesia telah mengadakan berbagai program untuk mendukung perusahaan game lokal.