Antara Perempuan dan Laki-Laki di Game dan Esports Menurut Hasil Sejumlah Penelitian

Salah satu faktor yang memengaruhi kemampuan seseorang adalah kemampuan kognitif

Perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki. Mereka berhak untuk mendapatkan perlakuan yang setara tanpa diskriminasi. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, perempuan memang berbeda dari laki-laki dari aspek biologis. Dan perbedaan biologis itu punya pengaruh pada berbagai aspek kehidupan seseorang. Salah satunya dalam kompetisi olahraga. Sampai saat ini, kebanyakan pertandingan olahraga biasanya dipisahkan berdasarkan gender.

Atlet perempuan tidak diadu dengan atlet laki-laki karena memang ada perbedaan kemampuan fisik di antara keduanya. Lalu, bagaimana dengan esports? Dalam competitive gaming, kebugaran fisik bukanlah faktor penentu kemenangan utama. Idealnya, perempuan bisa bertanding berdampingan dengan laki-laki.

 

Kenapa Olahraga Tradisional Dipisahkan Berdasarkan Gender?

Dalam pertandingan olahraga, kemenangan memang penting. Namun, kemenangan bukanlah segalanya. Cara seseorang mendapatkan kemenangan juga tidak kalah penting. Karena itu, dalam kompetisi olahraga bergengsi seperti Olimpiade, fair play menjadi salah satu nilai yang dijunjung tinggi.

"It takes more than crossing the line first to make a champion. A champion is more than a winner. A champion is someone who respects the rules, rejects doping and competes in the spirit of fair play." - Jacques Rogge

Jacques Rogge adalah Presiden dari International Olympic Committee pada 2001-2013. Dari kutipan di atas, terlihat jelas bagaimana dia menjunjung fair play. Selain semangat fair play, elemen lain yang tidak kalah penting dalam kompetisi olahraga adalah level playing field. Menurut BBC, level playing field merupakan keadaan dimana semua peserta kompetisi bertanding menggunakan peraturan yang sama dan punya kesempatan yang sama untuk menang. Lebih dari itu, level playing field juga berarti peserta yang diadu dalam sebuah kompetisi ada pada level yang sama. Jadi, seorang atlet NBA tidak akan diadu dengan orang yang hanya bermain basket sebagai hobi.

Pentingnya fair play dan level playing field dalam kompetisi olahraga menjadi salah satu alasan mengapa atlet perempuan tidak diadu dengan atlet laki-laki di kebanyakan cabang olahraga. Pasalnya, secara fisik, pria dan perempuan memang berbeda. Pria punya massa otot dan massa tulang yang lebih besar. Selain itu, kadar lemak di tubuh perempuan juga lebih tinggi. Kadar lemak di tubuh atlet perempuan berkisar pada 14-20%, sementara pada atlet laki-laki, kadar lemak di tubuh mereka hanyalah 6-14%. Tak hanya itu, pria dewasa juga biasanya punya kapasitas paru-paru yang lebih besar. Semua ini membuat pria lebih unggul dari perempuan dalam segi kekuatan.

Komposisi tubuh pria dan perempuan. | Sumber: The Body Counselor

Menurut studi yang berjudul Women and Men in Sport Performance: The Gender Gap has not Evolved since 1983, performa atlet perempuan memang masih kalah dari atlet laki-laki. Dalam studi itu, para peneliti menganalisa rekor dunia di berbagai cabang olahraga. Mereka juga mengamati performa para atlet Olimpiade di lima kategori olahraga dari tahun ke tahun. Mereka menggunakan data dari para atlet dalam 82 Olimpiade.

Data dari studi itu menunjukkan, rata-rata, performa atlet perempuan 10% lebih rendah dari atlet laki-laki. Tergantung pada olahraga yang diadu, perbedaan performa antara atlet laki-laki dan perempuan bisa menjadi lebih besar atau lebih kecil. Performa atlet perempuan paling mendekati performa atlet pria dalam olahraga renang gaya bebas. Perbedaan performa antara atlet perempuan dan laki-laki di cabang olahraga itu hanyalah 5,5%. Sementara itu, ada perbedaan yang sangat besar -- sekitar 36,8% -- pada kemampuan atlet pria dan perempuan dalam cabang olahraga angkat berat.

"Perempuan dan laki-laki memang punya fisik yang berbeda. Biasanya, perbedaan itu terkait kekuatan," kata Andy Lane, psikolog olahraga di University of Wolverhampton pada How We Get to Next. Memang, dalam olahraga tertentu -- khususnya olahraga yang melibatkan stamina aerobik, seperti lari jarak jauh -- atlet perempuan bisa unggul dari laki-laki. Kabar baiknya, tidak semua olahraga mengadu fisik para atletnya. Ada beberapa cabang olahraga yang lebih mengutamakan aspek lain, seperti esports.

 

Apa Faktor yang Memengaruhi Performa Atlet Esports?

Tak peduli gender atau keadaan fisik seseorang, hampir semua orang bisa bermain game. Buktinya, Rocky Stoutenburgh, yang juga dikenal dengan nama RockyNoHands, berhasil menjadi streamer di Twitch meski dia hanya dapat menggerakkan kepalanya karena kelumpuhan di bagian leher ke bawah. Tentu saja, hal itu bukan berarti semua orang bisa menjadi atlet esports tingkat dunia, seperti Johan "N0tail" Sundstein dari OG atau Made Bagas "Zuxxy" Pramudita dan Made Bagus "Luxxy" Prabaswara dari Bigetron. Faktanya, kemungkinan seseorang sukses sebagai atlet esports hanyalah 0,0001%.

Zuxxy dan Luxxy. | Sumber: GGWP

Kebugaran fisik memang bukan tolok ukur utama akan kemampuan seorang atlet esports. Namun, tetap ada beberapa keahlian yang harus seseorang kuasai untuk bisa menjadi pemain profesional ternama. Salah satunya adalah kemampuan sensorik-motorik. Kemampuan sensorik berkaitan dengan kemampuan untuk mengantarkan informasi yang diterima panca indera ke otak, sementara kemampuan motorik mengacu pada kemampuan untuk menyampaikan instruksi dari otak ke organ tubuh, seperti tangan. Kemampuan sensorik-motorik penting karena ia memengaruhi seberapa cepat seseorang dapat memproses apa yang dia lihat pada layar, mengambil keputusan akan apa yang harus dia lakukan, dan mengeksekusi keputusan yang dia buat dengan mengoperasikan perangkat game, seperti mouse, gamepad, keyboard, atau smartphone.

Kemampuan lain yang harus dimiliki oleh seorang atlet esports adalah spatial abilities atau kemampuan visual-ruang, termasuk kemampuan untuk membaca peta dan mengetahui posisi dari obyek yang ada di sekitarnya, baik obyek yang diam maupun obyek yang bergerak. Spatial abilities juga mencakup kemampuan seseorang untuk memprediksi dan mengantisipasi gerakan obyek atau aksi dari pemain lain. Misalnya, ketika Anda hendak menembak musuh yang sedang bergerak, Anda harus bisa memperkirakan ke mana dia akan bergerak untuk memastikan tembakan Anda akurat.

Selain kemampuan sensorik-motorik dan spatial abilities, kemampuan kognitif taktis juga memengaruhi kemampuan seseorang dalam bermain game, menurut studi The structure of performance and training in esports. Kemampuan kognitif taktis sendiri dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti persepsi, kreativitas, dan kemampuan untuk mengambil keputusan. Cakupan kemampuan kognitif taktis juga cukup luas. Jadi, kemampuan kognitif taktis biasanya dibagi ke beberapa bagian seperti ingatan dan konsentrasi, perencanaan, dan cara mengatasi masalah kompleks. Untuk bisa menjadi pemain esports yang handal, seseorang harus menguasai semua bidang kognitif taktis. Dia harus bisa memerhatikan keadaan sekitar sambil melakukan tugas lain, mengalisa situasi dan memutuskan tindakan yang harus diambil, membayangkan setiap langkah dari aksi yang hendak dilakukan, serta membuat rencana dan mengeksekusinya.

Pembagian kemampuan kognitif.| Sumber: Journals.plos.org

Konsentrasi jadi aspek lain yang tak kalah penting bagi pemain esports. Bagi atlet olahraga sekalipun, kemampuan untuk berkonsentrasi dalam waktu lama adalah kemampuan yang penting. Meskipun begitu, konsentrasi biasanya punya peran yang lebih penting bagi pemain esports. Karena, dalam olahraga tradisional, para pemain biasanya punya waktu untuk beristirahat, seperti saat time out. Sementara pada kompetisi esports, pertandingan biasanya akan berlangsung tanpa jeda.

Kemampuan sosial -- termasuk kemampuan komunikasi dan bekerja sama -- juga memengaruhi performa seorang atlet esports. Terakhir, kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang atlet esports adalah mengendalikan emosi. Hal ini tidak mudah, mengingat tekanan mental yang harus dihadapi oleh atlet esports papan atas sama seperti para atlet Olimpiade. Kegagalan seseorang untuk mengendalikan emosi dalam pertandingan -- rasa kecewa atau marah karena melakukan kesalahan, misalnya -- justru bisa membuat mereka tidak bisa memberikan performa yang maksimal.

 

Perbedaan Kemampuan Kognitif Pada Perempuan dan Laki-Laki

Industri esports memang lebih inklusif dari olahraga tradisional. Meskipun begitu, industri esports tetap didominasi oleh pria. Buktinya, kebanyakan pemain profesional merupakan laki-laki. Sebagian orang percaya, hal ini terjadi karena pemain pria dapat bermain game dengan lebih baik. Namun, apa memang benar begitu? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mencoba untuk membandingkan kemampuan kognitif laki-laki dan perempuan berdasarkan berbagai studi yang telah dilakukan.

Berdasarkan studi Comparison of Cognitive Functions Between Male and Female Medical Students: A Pilot Study, kemampuan kognitif pria dan perempuan dalam fase folikular sama. Sementara perempuan yang memasuki fase luteal dari siklus menstruasi akan dapat melakukan executive tasks -- tugas-tugas yang memerlukan ingatan, cara pikir yang fleksibel, dan kendali diri -- dengan lebih baik. Sayangnya, daya konsentrasi perempuan di fase luteal biasanya lebih rendah dari pria.

Instruksi dari salah satu tes memori. | Sumber: NCBI

Ketika membandingkan kemampuan peserta perempuan dan laki-laki, para peneliti di studi ini juga memerhatikan siklus menstruasi dari peserta perempuan. Alasannya, siklus menstruasi memengaruhi hormon perempuan. Secara garis besar, ada empat fase menstruasi. Fase folikular dimulai ketika seorang perempuan menstruasi sampai fase ovulasi dimulai. Sementara fase luteal juga dikenal dengan nama postovulatory phase atau fase pramenstruasi. Dalam fase ini, jumlah hormon progesteron pada perempuan akan naik.

Studi di atas bukan satu-satunya riset yang membahas tentang bagaimana gender memengaruhi kemampuan kognitif. Ada beberapa riset lain yang membahas tentang pengaruh gender pada kemampuan kognitif dan spatial seseorang. Kontra dengan hasil penelitian tadi, dalam studi Sex/gender differences in cognition, neurophysiology, and neuroanatomy, dijelaskan bagaimana Janet S. Hyde melakukan tes psikologis dan kognitif pada perempuan dan laki-laki. Di studi itu, Hyde menguji 124 variabel, termasuk kemampuan matematis, verbal, persepsi, dan motorik.

Dari penelitian tersebut, dia menemukan, gender tidak punya pengaruh yang signifikan pada performa seseorang dalam 78% variabel. Gender hanya punya pengaruh signifikan pada kemampuan motorik seseorang, seperti kecepatan melempar. Temuan lain dari studi itu adalah pria mendapatkan nilai yang lebih tinggi dalam tes rotasi obyek 3D, yang sering dikaitkan dengan IQ yang lebih tinggi dan kemampuan terkait STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) yang lebih baik. Hasil dari studi ini memperkuat asumsi bahwa pria punya kemampuan matematis dan spatial yang lebih baik. Sementara perempuan diangggap memiliki kemampuan verbal yang lebih baik.

Namun, riset terbaru menunjukkan, perempuan dan laki-laki punya spatial cognition yang tidak jauh berbeda. Penelitian itu dilakukan oleh Dr Mark Campbell dan Dr Adam Toth dari Lero Esports Science Research Lab menggunakan teknologi eye-tracking terbaru. Dari tes yang mereka lakukan, mereka menemukan, hasil tes spatial cognition dari peserta pria tidak lebih baik dari peserta perempuan, khususnya dalam tes rotasi obyek.

"Jadi, apakah laki-laki lebih baik dari perempuan? Sebenarnya, tidak juga. Studi kami menemukan bahwa pria tidak lebih baik dalam tes rotasi mental," kata Toth, seperti dikutip dari Technology Networks. "Dengan memperpanjang durasi tes, perempuan bisa memberikan performa yang sama seperti pria. Hal ini membuktikan bahwa asumsi pria lebih baik dalam tes rotasi mental adalah salah atau disebabkan oleh faktor lain selain gender."

 

Kesimpulan

Para peneliti telah melakukan berbagai studi untuk mengetahui pengaruh gender pada berbagai aspek kehidupan seseorang, termasuk dalam cara berpikir. Sayangnya, tidak semua studi memberikan hasil yang sama. Sebagian menyebutkan bahwa pria memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik -- yang berarti mereka bisa bermain game dengan lebih baik pula -- sementara sebagian yang lain menyebutkan bahwa kemampuan kognitif perempuan dan pria tidak jauh berbeda.

Sayangnya, belum banyak studi yang secara khusus membahas tentang hubungan gender dengan kemampuan seseorang dalam bermain game. Tampaknya, industri esports memang masih terlalu muda sehingga penelitian terkait competitive gaming pun belum menunjukkan kesimpulan yang konklusif. Terlalu naif juga, atau malah arogan, menyimpulkan sendiri hasil yang kita inginkan karena faktanya memang belum ada hasil yang definitif dari penelitian Satu hal yang pasti, bermain game adalah kegiatan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, terlepas dari gender, kemampuan fisik, dan status ekonomi seseorang.