Indonesia dianggap masih tertinggal dalam hal pemerataan jaringan dan kecepatan akses jika dibandingkan dengan negara lain, termasuk negara tetangga. Tarif layanan broadband (pitalebar) di Indonesia juga bisa dibilang tidak kompetitif karena tarif yang ditawarkan masih jauh dari harga ideal yang ditentukan oleh International Telecommunication Union (ITU) untuk layanan broadband. Berangkat dari alasan itu, acara National Broadband Symposium 2014 digelar sebagai tindak lanjut perkenalan program besar Rencana Pitalebar Indonesia (RPI) pemerintah.
Simposium ini menyambut disahkannya Peraturan Presiden tentang pengembangan jaringan pita lebar (broadband) yang pada awal September 2014. Situs resmi Bappenas menyebutkan Rencana Pitalebar Indonesia 2014-2019 (RPI 2014-2019) bertujuan untuk memberikan arah dan panduan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan pitalebar yang komprehensif dan terintegrasi di wilayah Indonesia untuk periode lima tahun ke depan. Proyek ini juga menjadi salah satu prioritas dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI).
Seperti dikutip dari Kompas, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ashwin Sasongko Sastro Subroto mengungkapkan kesepakatan dalam National Broadband Symposium ini harus dapat menurunkan tarif akses broadband.
“Harus kompetitif dengan negara-negara regional. Dan Indonesia, saat ini untuk data-data besar, bukan yang paling murah,” kata Ashwin.
Saat ini pola jaringan Internet Indonesia sebagian besar masuk ke Batam kemudian ke Singapura, karena akses pitalebar di Singapura lebih kompetitif. Kecepatan dan akses internet di Indonesia termasuk yang paling lamban bahkan di Asia berdasarkan laporan Akamai: State of The Internet Q2 2014.
Menurut Ashwin setidaknya target pengembangan jaringan pitalebar dapat membuat Indonesia sekompetitif Malaysia dan Singapura. Namun Aswhin mengakui untuk mencapai hal tersebut dia belum tahu kapan dapat terealisasi karena tidak tahu target dari pemerintah. Dana yang dibutuhkan untuk merealisasikan RPI sendiri tidak sedikit, total dana yang dibutuhkan mencapai Rp 278 triliun dan itu masih merupakan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan potential captive market.
“Ini kita mesti nunggu pemerintah lagi. Seberapa besar APBN kita bisa diarahkan untuk pembangunan itu. Revisi APBN kan belum jadi. Kita berharap pembangunan IT bisa segera sampai ke daerah-daerah,” pungkas Ashwin.
Menurut data World Economic Forum 2011 harga akses pitalebar (harga koneksi 512 Kbps) pada tahun ini sebesar Rp 600.000 per bulan. Artinya dengan pendapatan penduduk sekitar Rp 2,57 juta per bulan harga pita lebar di Indonesia masih mencapai 23%. Sedangkan menurut International Telecommunication Union (ITU) tarif pita lebar yang mendekati ideal seharusnya tidak lebih dari 5% pendapatan penduduk per bulan.
[Ilustrasi: Shutterstock]