Bicara Soal Tantangan dan Peluang Pasar Game di Asia

Senior Analyst dari Niko Partners berbincang-bincang seputar tantangan dan peluang pasar game di wilayah asia.

Apabila kita melihat peta perkembangan game dan esports, besarnya potensi pasar Asia mungkin memang sudah diakui banyak pelaku industri. Pada Agustus 2020 lalu saja misalnya, dikabarkan bahwa pemasukan industri esports di Asia menembus angka Rp7,6 triliun. Selain itu, perkembangannya di Asia secara umum juga tergolong cukup pesat yang didorong oleh perkembangan mobile gaming.

Karenanya, tidak heran apabila beberapa developer game asal negara barat seperti Riot Games mulai melakukan penetrasinya ke pasar game di Asia, termasuk Indonesia. Dalam satu kesempatan, Daniel Ahmad selaku Senior Analyst dari Niko Partners sempat berbagi soal potensi dan juga beberapa hal yang patut dipahami soal pasar game di Asia dalam salah satu seri artikel The Collective yang dibuat oleh Lewis Silkin.

Dalam hal skala pasar game di Asia, Daniel sendiri mengatakan bahwa Asia merupakan salah satu kawasan gaming terbesar di dunia. Ada total sekitar US$80 juta pemasukan yang didapatkan dari industri game, 1,5 miliar gamers, dan lebih dari 500 juta orang penggemar esports di Asia.

Esports yang juga menjadi salah satu fenomena di Indonesia. Sumber: MPL Official

Lebih lengkap soal demografi, Daniel Ahmad pun menjelaskan. "Sebagai contoh demografi, kami ada data gamers di negara Tiongkok. Dari 720 juta orang pemain games, rata-ratanya berada di usia 18 hingga 35 tahun dengan 90% di antaranya bermain game setidaknya 60 menit selama 1 bulan. Lalu 18% di antaranya bermain game selama 30 jam lebih per pekan dan 80% dari gamers menonton video orang bermain game (rekaman ataupun live stream) di waktu senggang."

Lalu dalam hal esports, Daniel Ahmad juga menjelaskan sedikit alasan kenapa esports bisa berkembang pesat dan sangat berarti bagi gamers di wilayah Asia.

"Saya rasa alasan perkembangan popularitas esports yang eksplosif di Asia pada dasarnya adalah karena ada persimpangan antara kompetisi dan komunitas di dalam esports. Kehadiran esports juga memberikan kesempatan bagi pemain untuk berinteraksi dengan sebuah game secara lebih mendalam, lebih berarti, seraya membagikan pengalaman tersebut kepada kawan." Tutur Daniel.

Bergerak ke arah bisnis, pembahasan lalu berlanjut soal peluang monetisasi dari in-app purchases dalam ranah pasar Asia. Sejauh ini game free-to-play memang terlihat menunjukkan perkembangan yang pesat. Beberapa contohnya mungkin bisa kita lihat dari jajaran game mobile yang pemasukannya menembus angka US$1 miliar lebih. Selain itu, perkembangan esports hingga saat ini sebenarnya juga bisa dibilang jadi salah satu kausalitas dari kehadiran game free-to-play.

Lebih lanjut ia juga menjelaskan bahwa model free-to-play memang menjadi salah satu model bisnis yang paling diandalkan oleh industri game di Asia.

"Asia adalah yang paling terdepan dalam hal model bisnis dan model distribusi di dalam video game. Free-to-play adalah salah satu yang populer sebagai model distribusi di Asia selama kurang lebih dua dekade belakangan. Ditambah besar dan cepatnya perkembangan mobile gamers juga telah menjadi lahan yang subur bagi para developer untuk bereksperimen dengan model monetisasi free-to-play seperti in-app purchases dan mekanik 'gacha'. Meski gacha dan loot boxes memang diregulasi di kawasan Asia, namun game seperti Genshin Impact telah menjadi bukti bagaimana model free-to-play ternyata juga bisa sukses di pasar barat."

Kesuksesan PUBG Mobile juga bisa dibilang jadi salah satu bukti penerapan model free-to-play yang tepat. Sumber: Tencent

Menutup perbincangan, Daniel Ahmad lalu juga membicarakan soal tantangan dan peluang bagi developer game yang ingin sukses di pasar Asia. Dalam hal peluang, Daniel membicarakan soal pentingnya memahami siapa sosok gamers yang ingin dituju. "Ada beragam sub-kebudayaan di antara para gamers di Asia sehingga ada berbagai cara untuk menjangkau dan bekerja sama dengan mereka." Ucap Daniel Ahmad.

"Dalam laporan Niko Partners yang membahas soal gamers di Tiongkok, kami membuat catatan bahwa kebanyakan gamers cenderung lebih percaya dengan Key Opinion Leaders (disebut juga influencers) dalam hal memilih produk yang tepat, ketimbang dengan iklan tradisional ataupun orang marketing." Tambah Daniel.

Membicarakan tantangan, Daniel mengatakan soal regulasi, terutama apabila ingin mencoba masuk ke pasar Tiongkok. "Masalah regulasi adalah salah satunya, terutama di Tiongkok karena seorang developepr harus mendapatkan izin pemerintah terkait konten yang akan disajikan dari sebuah game. Selain Tiongkok, Vietnam juga memiliki regulasi ketat tersebut." Ucap Daniel.