Pada awal 2022, ada beberapa akuisisi besar di industri game, seperti akuisisi Zynga oleh Take-Two Interactive, Activision Blizzard oleh Microsoft, dan Bungie oleh Sony. Namun, tidak semua proses akuisisi tersebut berjalan mulus. Belum lama ini, Federal Trade Commission (FTC) dari Amerika Serikat mengungkap bahwa mereka akan melakukan investigasi akan akuisisi Bungie oleh Sony. Para narasumber dari The Information mengatakan, investigasi FTC ini mungkin akan memperlambat proses akuisisi Bungie, menjadi enam bulan lebih lama. Karena itu, diperkirakan, proses akuisisi Bungie baru akan selesai pada awal 2023.
Investigasi yang dilakukan oleh FTC memang tidak akan bisa membatalkan proses akuisisi Bungie oleh Sony. Namun, keputusan mereka untuk menyelidiki proses akuisisi tersebut menunjukkan betapa agresifnya organisasi antitrust itu belakangan, seperti yang disebutkan oleh EuroGamer. Dalam artikel kali ini, saya akan membahas tentang peran lembaga antitrust seperti FTC serta contoh kasus monopoli dalam industri game.
Organisasi Antitrust di Dunia dan Contoh Kasus Antitrust
Didirikan pada 1914, FTC adalah organisasi mandiri milik pemerintah Amerika Serikat yang berfungsi untuk melindungi konsumen dan memastikan industri tetap kompetitif. Tugas utama dari FTC adalah untuk menegakkan regulasi antitrust di Amerika Serikat serta mencegah dan menghapuskan praktek bisnis anti-kompetisi, termasuk monopoli. FTC juga bertugas untuk melindungi konsumen dari praktek bisnis yang berbahaya atau justru menipu. Contoh kegiatan yang dilakukan oleh FTC antara lain investigasi atas penipuan atau iklan palsu, penyelidikan sebelum merger, serta investigasi atas penipuan.
FTC punya hak untuk menyelidiki sebuah perusahaan atau bahkan seluruh industri. Dalam investigasi mereka, jika FTC menemukan bahwa sebuah perusahaan telah melanggar peraturan antitrust, mereka bisa membuat perusahaan tunduk pada ketetapan mereka melalui consent order, yaitu perjanjian tertulis yang diakui oleh pengadilan bahwa semua pihak yang terlibat telah setuju dengan kesepakatan yang tercapai. Selain itu, FTC juga bisa memulai litigasi federal atau mengajukan komplain administratif, yang akan disampaikan di hadapan Administrative Law Judge. Kasus ini bisa naik ke US Court of Appeals atau bahkan Supreme Court alias Mahkaman Agung.
Pada 1990-an, FTC pernah mengadakan beberapa investigasi atas penipuan telemarketing, dimulai dengan Project Telesweep pada 1995. Melalui proyke tersebut, FTC dapat menemukan setidaknya 100 tawaran bisnis palsu. Selain itu, FTC juga pernah memblokir proposal akuisisi Palmyra Medical Center oleh Putney Memorial Hospital. Alasannya, karena akuisisi itu dianggap berpotensi untuk merugikan konsumen. Kasus itu bahkan dibawa sampai Mahkamah Agung. Pada 2013, pengadilan menetapkan FTC sebagai pemenang dari kasus tersebut.
Tak hanya Amerika Serikat, ada banyak negara atau kawasan yang punya lembaga antitrust, seperti Jepang dengan Japan Fair Trade Commission, India dengan Competition Commission of India, Australia dengan Australian Competition & Consumer Commission, dan Eropa dengan European Commission.
M. Rasyad Wibisono, Junior Partner dari Raudhah Mariyah & Partners, yang juga dikenal dengan Wibi 8Ken, mengatakan bahwa Indonesia punya dua lembaga yang berfungsi layaknya FTC. Dia menjelaskan, FTC punya fungsi sebagai lembaga antitrust sekaligus perlindungan konsumen. Sementara di Indonesia, kedua masalah itu ditangani oleh dua lembaga yang berbeda. Komisi Pengawas Persaingan Usaha bertanggung jawab masalah antitrust sementara masalah perlindungan konsumen ada di bawah penanganan Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Lebih lanjut, Wibi mengatakan, KPPU tidak bisa mengambil inisiatif untuk melakukan penyelidikan. Sebuah kasus harus dilaporkan terlebih dahulu sebelum KPPU bisa mengambil tindakan. “Kasusnya KPPU itu perdata, jadi bentuknya memang aduan, harus dilaporkan dulu,” ujarnya, saat dihubungi oleh Hybrid melalui pesan singkat. Dia menambahkan, regulasi anti-kompetisi milik negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terinspirasi oleh regulasi antitrust di Amerika Serikat.
Salah satu contoh kasus antitrust adalah ketika Google dikenakan denda sebesar US$ 2,7 miliar oleh European Commission pada November 2010. Alasannya, karena Google dianggap telah menyalahgunakan dominasi mereka sebagai search engine untuk memprioritaskan produk shopping mereka sendiri. Google mengajukan banding atas denda tersebut. Pada April 2015, European Commission kembali mengenakan denda pada Google. Ketika itu, denda yang diajukan oleh European Commission justru lebih besar lagi, mencapai US$5 miliar. Google didenda karena mereka dianggap telah menyalahgunakan posisi mereka sebagai penguasa pasar sistem operasi untuk mendahulukan layanan yang mereka buat sendiri. Lagi, Google mengajukan banding atas tuntutan tersebut.
Di industri game, contoh kasus antitrust adalah ketika State Administration of Market Regulation (SAMR) di Tiongkok melarang Tencent untuk melakukan merger antara Huya dan DouYu. Di Tiongkok, Huya dan DouYu merupakan dua platform streaming game terbesar. Sementara Tencent adalah pemegang saham mayoritas di Huya. Tak hanya itu, mereka juga menguasai lebih dari 30% saham DouYu. Karena itu, pada 2020, Tencent mengajukan proposal untuk melakukan merger dari kedua perusahaan tersebut. Jika Huya dan DouYu bergabung, entitas hasil merger dari keduanya diperkirakan akan menguasai 80% dari pasar streaming game di Tiongkok, yang nilainya mencapai US$3 miliar dan diperkirakan masih akan terus naik.
Satu tahun setelah Tencent mengajukan proposal untuk merger antara Huya dan DouYu, SAMR menolak proposal tersebut. Alasan SAMR adalah karena Huya dan DouYu akan menguasai lebih dari 70% pangsa pasar streaming game di Tiongkok jika keduanya bergabung. Padahal, Tencent sendiri sudah menguasari 40% pangsa pasar game online. Jadi, jika mereka juga menguasai pasar streaming game, hal ini akan menyulitkan perusahaan-perusahaan lain untuk bersaing dengan Tencent.
Wibi mengatakan, regulasi antitrust di Indonesia bukanlah regulasi usang yang tidak pernah digunakan. Hanya saja, kasus antitrust di Indonesia terkadang tidak terekspos. Dia menjadikan kasus Honda-Yamaha sebagai contoh kasus antitrust di Indonesia.
KPPU pernah menduga bahwa PT. Astra Honda Motor (AHM) dan PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing Indonesia (YIMM) melakukan praktek kartel atas motor skuter matik 110-125 cc. Atas dugaan itu, mereka lalu melakukan investigasi. Dan pada Februari 2017, KPPU menyatakan bahwa Honda dan Yamaha memang bersalah. Alhasil, Honda dikenakan denda sebesar Rp22,5 miliar dan Yamaha Rp25 miliar. Denda yang dikenakan oleh KPPU itu merupakan besar denda maksimal. Berdasarkan Pasal 47 Ayat (2) Huruf g UU No. 5 Tahun 1999, pelaku kartel bisa dikenakan sanksi tindakan administratif berupa denda sebesar minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp25 miliar.
Untuk menyatakan Honda dan Yamaha bersalah, KPPU mengajukan tiga bukti. Pertama, pertemuan antara petinggi Yamaha dan Honda di lapangan golf. Dua bukti lainnya adalah dua email dari petinggi Yamaha-Honda. Email pertama pada 28 April 2014 dan email kedua pada 10 Januari 2015. Tidak setuju dengan keputusan KPPU, Yamaha dan Honda mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pada Desember 2017, pengajuan banding tersebut ditolak. Tak hanya itu, PN Jakut justru mendukung keputusan KPPU.
Tak berhenti sampai di sana, Yamaha-Honda kemudian mengajukan kasasi pada Mahkamah Agung. Hanya saja, permintaan itu kembali ditolak. Pada 2021, dua perusahaan otomotif tersebut mencoba untuk mengajukan Peninjauan Kembali ke MA. Lagi-lagi, permintaan itu ditolak pada April 2021, seperti yang dilaporkan oleh CNBC Indonesia.
Kenapa Regulasi Antitrust Penting?
Banyak negara di dunia yang membuat regulasi antitrust untuk mengatur bagaimana perusahaan beropeasi. Selain untuk melindungi konsumen, regulasi antitrust juga berfungsi untuk memastikan bahwa semua perusahaan yang bergerak di sebuah bidang memiliki posisi yang sama. Jadi, tidak ada satu perusahaan pun yang bisa menguasai pasar sepenuhnya dan persaingan antar perusahaan akan terjadi secara alami. Peraturan antitrust sering diidentikkan dengan antimonopoli. Dan hal ini tidak salah. Namun, sebenarnya, peraturan antitrust juga mencakup beberapa praktek lain, seperti alokasi pasar, bid rigging, dan price fixing.
Monopoli terjadi ketika sebuah perusahaan memiliki dominasi mutlak atas suatu industri dan mematikan persaingan. Salah satu contoh kasus antitrust yang melibatkan monopoli adalah ketika Microsoft menyertakan peramban internet Edge — dulunya Internet Explorer — dalam sistem operasi Windows. Memang, sampai saat ini, Windows masih mendominasi pasar sistem operasi untuk komputer. Menurut data dari statcounter, per April 2022, Windows menguasai 74,83% pangsa pasar OS. Sementara OS X, sistem operasi terpopuler setelah Windows, hanya menguasai 15,3% pangsa pasar.
Keputusan Microsoft untuk menyertakan Edge dalam Windows dianggap pelanggaran regulasi antitrust karena mereka menggabungkan dua produk menjadi satu. Dengan menjadikan Edge sebagai bagian dari Windows, mau tidak mau, pengguna Windows akan memiliki Edge. Padahal, belum tentu pengguna Windows mau menggunakan Edge sebagai browser mereka.
Selain menggabungkan dua produk menjadi satu, ada beberapa praktek bisnis lain yang dianggap sebagai monopoli, menurut Investopedia. Salah satunya, perjanjian suplai eksklusif. Dengan perjanjian ini, pihak penyuplai hanya boleh memberikan produk mereka pada satu perusahaan. Hal ini dilarang karena bisa mematikan kompetisi. Jika penyuplai hanya bisa memberikan produk mereka pada satu perusahaan pemonopoli, perusahaan lain akan kesulitan untuk mendapatkan produk dari penyuplai dengan kualitas dan harga yang sama. Dan hal ini akan menyulitkan perusahaan untuk membuat produk untuk bersaing dengan perusahaan yang memonopoli.
Contoh praktek monopoli lainnya adalah ketika sebuah perusahaan menolak tawaran kerja sama dari perusahaan lain. Memang, perusahaan yang mendominasi pasar pun sebenarnya punya hak untuk memilih rekan yang mereka ajak kerja sama. Namun, ketika perusahaan pemonopoli menolak untuk bekerja sama demi mematikan persaingan, maka hal ini akan melanggar regulasi antitrust.
Terakhir, contoh praktek monopoli adalah predatory pricing atau jual rugi. Praktek predatory pricing terjadi ketika perusahaan sengaja membanting harga demi menguasai pangsa pasar dan mematikan para pesaing. Ketika mereka sudah mendominasi pasar, mereka lalu akan menaikkan harga demi membayar kerugian saat mereka masih berusaha untuk memenangkan hati pelanggan. Hanya saja, kasus predatory pricing agak sulit untuk dibuktikan.
Selain monopoli, contoh pelanggaran peraturan antitrust adalah alokasi pasar. Hal ini terjadi ketika dua perusahaan setuju untuk beroperasi di kawasan yang berbeda demi memonopoli bisnis di kawasan masing-masing. Contoh pelanggaran lain adalah bid rigging, yaitu saat dua atau lebih entitas berkolusi untuk menentukan pemenang dalam sebuah tender. Jadi, perusahaan yang setuju untuk kalah akan sengaja memberikan penawaran yang lebih rendah/buruk. Dengan begitu, perusahaan yang ditentukan akan menang bisa mendapatkan tender.
Terakhir, praktek bisnis yang melanggar antitrust adalah price fixing. Kasus ini terjadi ketika perusahaan-perusahaan di industri yang sama setuju untuk mematok harga dari produk mereka. Alhasil, harga sebuah produk tidak lagi dipengaruhi oleh tuntutan pasar. Biasanya, perusahaan-perusahaan setuju untuk melakukan price fixing demi mendapatkan untung lebih.
Sejatinya, regulasi antitrust dibuat untuk memastikan pelaku bisnis saling berkompetisi dengan adil. Karena itulah, terkadang, regulasi antitrust juga disebut sebagai regulasi kompetisi. European Commission menyebutkan, ada beberapa alasan mengapa kompetisi dalam bisnis penting. Pertama, kompetisi cenderung meningkatkan kualitas produk dan menurunkan harga. Karena, salah satu cara bagi perusahaan untuk bisa memenangkan hati konsumen adalah dengan menekan harga dan meningkatkan kualitas dari produk yang mereka tawarkan.
Ketika perusahaan bisa menekan harga, maka konsumen bisa membeli produk dalam jumlah yang lebih banyak. Dan hal ini akan memberikan dampak baik pada perekonomian secara umum. Sementara itu, perusahaan juga akan berusaha untuk memberikan produk dengan kualitas yang lebih baik atau pelayanan purnajual yang lebih baik.
Keuntungan lain yang didapat oleh konsumen dari kompetisi dalam bisnis adalah opsi yang lebih banyak. Karena, kompetisi akan memaksa perusahaan untuk membuat produk yang unik, berbeda dari para pesaingnya. Keberagaman produk memungkinkan konsumen untuk memilih produk yang memang sesuai dengan kebutuhan dan kantong mereka. Ketiadaan opsi bisa menyebabkan masalah bagi konsumen karena hal itu berarti mereka harus menggunakan produk yang ada, terlepas dari harga atau kualitas produk tersebut. Saya yakin, warga Indonesia yang tinggal di kawasan yang tidak dijangkau oleh banyak penyedia internet mengerti masalah ini.
Terakhir, kompetisi penting karena ia bisa mendorong inovasi. Untuk bisa memberikan produk yang lebih baik, dengan harga yang masuk akal, perusahaan harus bisa berinovasi. Inovasi itu bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari konsep produk sampai layanan perusahaan.
Kontroversi Monopoli di Game
Di industri game, salah satu perusahaan yang dianggap melakukan monopoli — atau sedang membangun monopoli — adalah Microsoft. Memang, minat Microsoft untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan game sangat besar. Setelah mengakuisisi ZeniMax, perusahaan induk dari Bethesda Software, pada 2020, mereka berencana untuk mengakuisisi Activision Blizzard pada awal 2022. Dengan mengakuisisi dua perusahaan itu, Microsoft akan memegang kendali dari banyak franchise game, seperti Call of Duty, Doom, Dishonored, Fallout, Overwatch, The Elder Scroll, Quake, dan World of Warcraft.
Strategi Microsoft untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan game besar membuat sebagian pihak di industri khawatir. Salah satu kekhawatiran yang muncul adalah Microsoft akan membuat franchise-franchise game tersebut menjadi eksklusif untuk Xbox atau PC. Artinya, para pemilik PlayStation buatan Sony tidak akan bisa memainkan game-game dari sejumlah franchise ternama tersebut. Dan hal ini bisa mematikan persaingan.
Kekhawatiran lain yang muncul jika Microsoft punya kuasa atas begitu banyak franchise populer adalah hal itu justru akan membatasi kreativitas dari para developer. Tentu saja, masing-masing developer punya karakteristik dan ciri khas tersendiri ketika mereka membuat game. Namun, ketika game-game tersebut melalui proses pembuatan dan quality assurance (QA) yang sama serta harus mematuhi peraturan yang sama, bisa jadi, hasil dari game-game itu akan menjadi mirip dengan satu sama lain.
Sebagai contoh, ketika Disney membeli franchise media besar — seperti Star Wars dan Marvel — maka nada dan tema dari film, komik, dan game dari franchise-franchise tersebut harus sesuai dengan prinsip Disney sebagai perusahaan. Misalnya, mengingat Disney memiliki reputasi sebagai perusahaan yang ramah keluarga, maka film, komik, atau konten apapun dari Star Wars, Marvel, dan franchise lain di bawah Disney, mungkin akan kesulitan untuk mengangkat tema yang lebih dewasa atau membuat konten yang memang menargetkan audiens dewasa. Ditakutkan, hal serupa akan terjadi pada franchise-franchise yang ada di bawah Microsoft.
Masalah lain yang mungkin terjadi jika Microsoft menguasai begitu banyak franchise game adalah mereka akan melakukan konsolidasi dari franchise-franchise yang dianggap mirip. Jika Call of Duty berhasil menjadi game shooter yang populer, Microsoft mungkin tidak akan tertarik untuk membuat game shooter lain. Karena, game tersebut justru akan menjadi pesaing dari Call of Duty, yang merupakan jagoan Microsoft. Pada akhirnya, hal ini justru akan membatasi kreativitas dari studio-studio yang ada di bawah Microsoft.
Padahal, seperti yang sudah dibahas sebelumnya kompetisi merupakan salah satu hal yang mendorong perusahaan untuk terus meningkatkan kualitas dari produk mereka. Tak terkecuali dalam industri game. Di industri game pun, ada beberapa franchise populer yang harus saling beradu dengan satu sama lain. Contohnya, Mario dengan Sonic atau Mortal Kombat dan Street Fighters, seperti yang disebut oleh Digital Trends.
Jika Microsoft berhasil mendominasi industri game, hal lain yang dikhawatirkan oleh sebagian orang adalah Game Pass. Semakin banyak gamers yang menggunakan Game Pass, semakin besar pula kuasa Microfot atas developer pihak ketiga yang memang membutuhkan Game Pass untuk bisa menjangkau banyak gamers. Kerugian lain yang mungkin terjadi adalah Microsoft akan menaikkan harga dari Game Pass.
“Masalahnya adalah pada model berlangganan dari Game Pass,” kata Matt Stoller dari American Economic Liberties Project, dikutip dari The Verge. “Semua entitas yang tidak punya jaringan distribusi mereka sendiri akan mengalami kesulitan untuk bisa membuat game dan mendistribusikan game tersebut.”
Meskipun begitu, tidak semua pelaku industri game menduga bahwa Microsoft sedang berusaha untuk membangun monopoli. Sebagian pihak lainnya merasa, apa yang dilakukan oleh Microsoft — mengakuisisi ZeniMax dan Activision Blizzard — bukan pelanggaran atas regulasi antitrust. Karena, keputusan Microsoft untuk mengakuisisi ZeniMax merupakan merger vertikal dan bukannya horizontal. Transaksi itu dianggap sebagai merger vertikal karena Microsoft dan ZeniMax dianggap memiliki peran yang berbeda di bidang yang berbeda. Microsoft sebagai distributor game, sementara ZeniMax merupakan pembuat game.
David Hoppe, Managing Partner dari Gamma Law, perusahaan hukum asal San Francisco, Amerika Serikat mengatakan, akuisisi Activision Blizzard oleh Microsoft punya prinsip yang sama dengan akuisisi ZeniMax.
“Akuisisi Activision Blizzard oleh Microsoft merupakan contoh dari ‘integrasi vertikal’ dalam industri game — ketika manufaktur konsol (distributor game) mengakuisisi developer game (produsen game),” kata Hoppe pada IGN. “Tentu saja, akuisisi ini merupakan transaksi paling besar dalam sejarah industri game. Tapi, selama ini, pengadilan Amerika Serikat biasanya enggan untuk menerapkan regulasi antitrust yang ketat pada integrasi vertikal.”
Hoppe menambahkan, memang, akuisisi Activision Blizzard oleh Microsoft bisa dianggap sebagai integrasi horizontal, mengingat Microsoft juga membuat game sendiri. Meskipun begitu, dia merasa, pemerintah akan kesulitan untuk menerapkan prinsip hukum ketika produk yang terlibat merupakan produk kreatif, seperti game. Pasalnya, setiap game bisa dianggap sebagai produk yang unik. Jadi, Microsoft tidak bisa dibilang sebagai pesaing langsung dari Activision Blizzard. Artinya, akuisisi Activision Blizzard oleh Microsoft tidak melanggar peraturan antitrust.
Selain itu, saat ini, Microsoft masih belum punya nama di industri mobile game. Dan bisa jadi, alasan mereka mengakuisisi Activision Blizzard adalah untuk mendapatkan akses ke King, yang dikenal sebagai developer dari mobile game. Salah satu masterpiece dari King adalah Candy Crush, yang berhasil masuk dalam daftar 10 mobile game dengan penghasilan terbesar sepanjang sejarah.
Perusahaan game lain yang terkadang dituduh melakukan praktek monopoli adalah Valve, yang membuat platform distribusi game, Steam. Pada April 2021, Wolfire Games, indie developer dan juga merupakan kreator dari Humble Indie Bundle, menuntut Valve. Dasar dari tuntutan itu adalah karena Valve dianggap memanfaatkan dominasi mereka di pasar PC gaming untuk mengenakan potongan sebesar 30% pada para developer yang menjual game mereka di Steam.
Dalam tuntutan mereka, Wolfire menyebutkan, keputusan Valve untuk menggabungkan Steam Gaming Platform dan Steam Game Store adalah tindakan ilegal. Sebagai informasi, Steam Gaming Platform mencakup sisi manajemen game library, social networking, achievement tracking, Steam Workshop mods, dan lain sebagainya. Sementara Game Store hanya mencakup sistem transaksi dan distribusi game.
Wolfire juga menyebutkan, sekarang, kebanyakan developer sudah terlanjur menggantungkan diri pada Steam sebagai platform distribusi game. Dan jika mereka ingin pindah ke platform lain, mereka membutuhkan dana besar. Alhasil, mau tidak mau, developer harus merilis game mereka di Steam. Apalagi, developer indie memang perlu akses ke Steam, yang memang memiliki banyak pengguna. Dengan begitu, suka tidak suka, mau tidak mau, developer harus membayar potongan sebesar 30% pada Valve.
Wolfire juga membahas tentang bagaimana perusahaan-perusahaan game besar — seperti CD Projekt Red, Electronic Arts, dan Microsoft — gagal untuk mengikis dominasi Valve. Padahal, perusahaan-perusahaan itu bukan perusahaan kecil. Dan Epic Games bahkan dikabarkan rela menghabiskan ratusan juta dollar demi mendapatkan game eksklusif dan memberikan giveaway di Epic Games Store (EGS) demi membangun reputasi sebagai platform distribusi game. Wolfire mengatakan, dengan semua itu, EGS hanya bisa mendapatkan pangsa pasar sebesar 2%. Namun, dalam sebuah wawancara, CEO Epic Games, Tim Sweeney mengatakan bahwa EGS menguasai 15% dari pangsa pasar platform distribusi game.
“Kegagalan perusahaan-perusahaan ini untuk bisa berkompetisi dengan Steam Gaming Platform menunjukkan bahwa saat ini, bersaing dengan Steam Gaming Platform adalah sesuatu yang hampir mustahil,” tertulis pada tuntutan dari Wolfire, dikutip dari Ars Technica. “Steam Gaming Platform memiliki dominasi yang sangat kuat di pasar PC desktop gaming platform. Dan mengingat mereka memiliki jaringan yang kuat dan unik, dominasi mereka tidak akan runtuh.”
Sebenarnya, Steam menawarkan opsi bagi developer untuk menjual game mereka di luar Steam Store. Caranya, publisher bisa meminta Valve untuk memberikan Steam Keys, yang bisa didapatkan secara gratis. Steam Keys itu kemudian bisa dijual di platform selain Steam yang mungkin punya biaya komisi lebih kecil dari Steam.
Walau Steam Keys bisa didapatkan secara gratis, jumlah Steam Keys yang bisa didapatkan oleh publisher terbatas. Selain itu, publisher juga tetap harus menjual game mereka di Steam. Publisher juga tidak boleh menjual game di Steam dengan harga yang lebih mahal dari harga game tersebut di platform lain. Namun, Wolfire menganggap, semua persyaratan yang ditentukan oleh Valve tentang penggunaan Steam Keys merupakan cara mereka untuk mempertahankan dominasi mereka.
Tentu saja, Valve tidak tinggal diam saat mereka dituntut oleh Wolfire. Salah satu fokus dari tuntutan Wolfire adalah tentang Steam Keys. Untuk menjawab keluhan Wolfire, Valve mengatakan bahwa mereka tidak punya kewajiban untuk menawarkan Steam Keys pada developer. Apalagi, jika developer akan menggunakan Steam Keys untuk menjual game mereka di platform lain dengan harga yang lebih murah dan mematikan Steam.
Valve menjelaskan, mereka menciptakan Steam Keys dengan tujuan untuk membantu developer menjual atau memberikan game mereka di platform selain Steam. Alasan Valve melarang developer untuk menjual game mereka dengan harga yang lebih mahal di Steam dari platform lain adalah karena mereka ingin mencegah para developer memanfaatkan popularitas Steam demi menjual game mereka di platform lain. Apalagi karena Valve sepenuhnya menanggung biaya untuk membuat dan melakukan maintenance pada Steam.
Tentang potongan sebesar 30% yang Valve kenakan pada para developer, mereka meminta Wolfire untuk memberikan fakta yang mendukung pernyataan mereka: bahwa potongan itu akan menjadi lebih rendah jika pasar platform distribusi gaming lebih kompetitif. Valve menyebutkan, satu-satunya alasan mengapa Wolfier mengira potongan dari Steam akan turun karena hal itu merupakan perkiraan umum dari para ahli ekonomi.
Valve juga menekankan bahwa mereka tidak pernah menaikkan komisi yang mereka kenakan. Padahal, ketika Valve merilis Steam, mereka belum memiliki pengguna yang setia. Jadi, saat itu, mereka memang tidak bisa mengenakan biaya komisi yang terlalu tinggi. Sebaliknya, Valve justru menurunkan biaya komisi untuk game-game yang bisa mendapatkan pemasukan besar.
Valve merasa, fakta bahwa mereka bisa meminta komisi yang lebih tinggi pada developer adalah bukti bahwa mereka bisa menawarkan layanan yang lebih baik dari pesaing mereka. Mereka menjadikan Borderlands 3 sebagai contoh. Saat game itu diluncurkan secara eksklusif di Epic Games, hal itu justru menuai protes dari para gamers.
“Platform Steam bukan hanya perantara. Steam memang menawarkan nilai lebih bagi gamers dan developers,” tulis Valve, menurut laporan Ars Technica. “Gamers begitu suka dengan Steam sehingga mereka akan protes ketika sebuah game hanya diluncurkan di Epic Games Stores.”
Penutup
Dalam game monopoli, seorang pemain akan keluar sebagai pemenang ketika dia berhasil menguasai semua aset dalam game dan membuat semua pemain lain bankrut. Memenangkan monopoli memang memuaskan, walau Anda mungkin harus merelakan pertemanan Anda. Namun, monopoli hanya menyenangkan ketika ia tidak lebih dari game, saat ia tidak punya konsekuensi di dunia nyata.
Bayangkan, jika sebuah perusahaan memegang kendali penuh atas sumber daya atau produk yang diperlukan oleh semua orang, seperti internet. Banyak orang yang menggantungkan diri pada internet. Sayangnya, jaringan internet di Indonesia masih sangat tidak merata. Artinya, di kawasan pelosok, biasanya, hanya ada satu atau dua penyedia internet yang ada. Alhasil, konsumen yang tinggal di kawasan terpencil, biasanya, mau tidak mau harus mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh penyedia internet yang ada, tidak peduli seberapa tidak adil peraturan tersebut.
Seandainya, industri game dikuasai oleh satu perusahaan. Hal itu berarti, perusahaan itu bebas untuk melakukan apapun. Perusahaan ingin menaikkan harga game? Boleh saja. Perusahaan hanya akan meluncurkan game gratis dengan model bisnis gacha atau lootbox dengan kesempatan menang yang sangat kecil? Ya, bisa. Perusahaan hanya mau membuat game shooter? Silahkan. Mau tidak mau, gamers hanya bisa menerima keputusan perusahaan pemonopoli tersebut karena mereka tidak punya opsi lain.
Sumber header: Review Geek