Di tengah-tengah pandemi, Mobile Legends Professional League Season 5 (MPL ID S5) jadi harus menggelar babak Playoffs mereka tanpa tatap muka alias online. Meski saya dan para penggemar esports Indonesia harus merasakan kehampaan dengan absennya gempita langsung di venue yang biasanya ditawarkan oleh Grand Final MPL Indonesia, nampaknya hype MPL ID masih terus terjaga dan bahkan meningkat.
Menurut Esports Charts, peak viewers Grand Final MPL ID bahkan mencapai angka 1 juta penonton– rekor baru yang belum pernah dicapai sebelumnya. Hal ini juga terjadi berkat partai pamungkas antara rival abadi di skena esports Mobile Legends Bang Bang (MLBB), RRQ melawan EVOS Esports.
Menariknya, hasil pertandingan tersebut berbanding terbalik dari Grand Final musim sebelumnya karena RRQ yang berhasil jadi juara MPL ID S5. Di MPL ID S4, partai final juga menyajikan pertarungan antara RRQ dan EVOS. Namun kala itu, EVOS yang berhasil membawa pulang piala MLBB paling bergengsi di tingkat nasional.
Selain hasil pertandingan yang berbeda tadi, buat yang mengikuti skena MLBB juga pasti menyadari ada perbedaan besar di formasi EVOS Esports antara S4 dan S5.
Antara Pemain Muda Melawan Pemain Senior
Di S4, EVOS masih digawangi oleh 3 pemain senior jagoan yaitu Eko “Oura” Julianto, Yurino “Donkey” Putra, dan Gustian “REKT”. Ketiga pemain tersebut sudah malang melintang di dunia persilatan MLBB sejak MPL Indonesia Season 1. Ketiganya juga mengawal dua pemain baru Muhammad “Wann” Ridwan dan Ihsan “Luminaire” Besari Kusudana.
Sebaliknya, di MPL Indonesia Season 5, hanya REKT pemain senior yang tersisa di roster EVOS. Di musim ini, EVOS bahkan menggunakan pemain yang benar-benar baru mencicipi MPL ID di partai terakhir mereka yaitu Raihan “Bajan” Delvino Ardy dan Fahmi “Rexxy” Adam Alamsyah. Wann dan Luminaire mungkin bisa dibilang cukup senior karena sudah terdeteksi namanya di Season 3 meski memang baru bersinar di Season 4. Namun tentu pengalamannya masih kalah jauh dibanding Oura dan Donkey tadi ataupun dibanding Lemon dan LJ di kubu sebelah.
Di seberangnya, RRQ justru menggunakan pemain-pemain kawakan sampai akhir musim. Di musim ini, RRQ jadi juara bersama dengan banyak pemain senior di dalamnya.
Muhammad “Lemon” Ikhsan dan Joshua “LJ” Darmansyah adalah pemain tangguh sejak Season 1. Keduanya juga resmi menjadi 2 pemain yang berhasil memboyong piala MPL ID 2x sepanjang sejarah. LJ sebelumnya jadi juara bersama TEAMnxl di Season 1 sedangkan Lemon juga berhasil menghantarkan timnya (RRQ) juara di Season 2.
Jika berbicara soal rekor pemain yang timnya berhasil jadi juara MPL lebih dari 1x, secara teknis, memang masih ada 2 nama lagi yaitu Afrindo “G” Valentino dan Diky “TUTURU”. Sayangnya, Afrindo yang jadi juara di Season 1, tak pernah diturunkan bermain sekalipun di Season 4 meski terdaftar di roster EVOS. TUTURU yang jadi juara Season 2 bersama RRQ juga harus duduk di bangku cadangan selama babak Playoffs musim ini.
Selain LJ, TUTURU, dan Lemon tadi, pemain RRQ lainnya juga tidak kalah pengalamannya. Calvin “VYN” sudah masuk ke MPL ID sejak Season 2 — kala itu bersama BOOM Jr. Sedangkan Rivaldi “R7” Fatah juga punya pengalaman di esports yang tinggi meski baru masuk MPL di Season 4, mengingat dia sebelumnya telah malang melintang di kancah Dota 2 Indonesia.
M Zulkarnain “Wizzking” Zulkifli yang di akhir musim duduk di bangku cadangan RRQ juga punya segudang pengalaman sejak Season 2 — sebelumnya ia menggunakan nama Dugong bersama Saints Indo. Hanya Yesaya Omega “Xin” Armando Wowiling yang paling junior karena namanya baru muncul di Season 3 MPL ID — bersama Star8.
Oh iya, kudos buat Mochammad “KB” Ryan Batistuta yang menyebut dirinya ’emelpedia’ yang telah menyuguhkan informasi tentang waktu kemunculan beberapa pemain yang saya sebutkan di atas tadi. Semoga jangan jomlo lama-lama ya Be… Wkwawkakwa…
Maka dari itu, pertandingan final antara EVOS melawan RRQ kali ini bisa dibilang pertempuran antara ‘darah muda’ dan pemain kawakan.
Banyak yang mengatakan bahwa kemenangan RRQ di babak final adalah soal drafting alias strategi di game kelima namun, bagi saya pribadi, ada alasan yang lebih mendasar di balik itu. Pengalaman dan jam terbang pertandingan yang jadi faktor penentu antara para pemain RRQ dan EVOS di musim ini.
Selain mengingat kemampuan membaca strategi dan drafting juga berbanding lurus dengan pengalaman dan jam terbang, pemain baru juga cenderung melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang mungkin tidak disadari. Misalnya saja seperti face-checking bush, tidak membuka area di sekitar objective, ataupun terlalu asik berkeliaran sendirian masih beberapa kali saya lihat dari 2 pemain baru EVOS, Bajan dan Rexxy. Ditambah lagi, final MPL ID itu biasanya Bo5. Jadi kesalahan drafting di satu game saya rasa terlalu dangkal buat jadi penyebab kekalahan dari 5 game — toh formasi EVOS di Season 4 bisa mengalahkan RRQ dengan skor yang lebih telak, 3-1.
Formasi tim EVOS kali ini sebenarnya memang bisa dibilang sangar karena terbukti bisa sampai ke babak final dan menyulitkan lawan-lawannya. Namun tetap saja RRQ bukan tim yang bisa dikalahkan dengan mudah dan faktor pengalaman tadi yang jadi pembeda terbesar dengan EVOS.
Clara “Mongstar” juga setuju dengan saya soal ini. “Pengalaman memang yang paling berpengaruh (soal RRQ yang jadi juara MPL ID S5). Karena pengalaman itulah yang membangun mental dan kekompakan. Pengalaman mereka juga yang membuat para pemain RRQ sudah terbiasa menghadapi berbagai situasi dan kondisi pertandingan.”
Mongstar juga menambahkan, “selain memang punya kemampuan pemain yang di atas rata-rata, RRQ juga berani menggunakan strategi-strategi dari luar Mobile Legends. Apalagi ada R7 yang punya pengalaman yang luar biasa banyak di Dota 2. RRQ adalah tim yang paling berani mencoba sesuatu yang baru di musim ini dan itulah yang membuat mereka juara.”
Apa Dampaknya dengan Juaranya RRQ di MPL Indonesia Season 5 ke Ekosistem?
Apakah kemenangan RRQ di MPL ID S5 kali ini memang lebih positif dampaknya bagi ekosistem esports Mobile Legends Bang Bang (MLBB)? Kenapa saya bisa bertanya demikian?
Pasalnya, jika kita lihat, ada sejumlah pemain-pemain bintang di musim-musim sebelumnya yang sudah menghilang di skena esports MLBB. Hansen “Spade” Meyerson yang dulu bahkan pernah disejajarkan dengan TUTURU dan REKT sebagai Marksman paling gemilang sudah tidak kelihatan lagi. Edward “Eiduart” Tjahyadikarta yang bisa dibilang sebagai salah satu team leader yang paling disegani juga sudah tidak ada di MPL — meski ia membuat tim esports-nya sendiri, Siren Esports. Thong “Fabiens” Valentin Andara yang tak kalah senior dan mengerikan di musim-musim awal MPL ID juga sudah absen beberapa musim terakhir.
Belum lagi, jika kita melihat juara MPL ID S1, hanya LJ yang masih bersinar terang di musim ini. Supriadi “Watt” Dwi Putra memang masih diperhitungkan namanya di musim ini meski ia sempat diturunkan ke MDL (yang bisa dibilang kasta kedua) di awal musim. Fadhil “Rave” Abdurrahman dan Agung “Billy” Tribowo memang masih di RRQ namun mereka bermain untuk tim kasta keduanya, RRQ Sena, di MDL. Afrindo Valentino yang dulu jadi team leader NXL saat juara Season 1, seperti yang saya sebutkan tadi, bahkan tidak diturunkan bermain sekalipun saat masih terdaftar di roster EVOS MPL ID Season 4.
Dengan banyaknya para pemain bintang senior yang menghilang di tingkat kompetitif tertinggi MLBB meski baru berada di puncak kejayaannya sekitar 1-2 tahun yang lalu, apakah perjalanan karier menjadi pemain profesional esports MLBB memang tidak cocok untuk jangka panjang? Jika para pemain baru bisa dengan mudah menggantikan pemain lama yang sudah punya lebih banyak pengalaman, bukankah berarti karier tersebut tidak cocok untuk ditekuni dalam waktu lama?
Salah satu contoh yang paling mudah dan relevan dengan kondisi saat ini adalah karier sebagai YouTuber. Tidak ada jaminan bagi mereka-mereka yang punya pengalaman segudang agar tidak bisa dikalahkan popularitasnya dengan yang masih seumur jagung. Namun demikian, itu YouTube yang memang menitikberatkan pada popularitas semata — yang nyatanya tak selalu berbanding lurus dengan kapasitas dan kualitas. Harusnya, karier sebagai pro player tak sedangkal pada penilaian popularitas semata. Sedangkan kapasitas dan kualitas itu memang butuh pengalaman dan jam terbang yang tidak sebentar.
Maka dari itu, argumen tadi pun muncul di kepala saya. Untungnya, EVOS yang mengandalkan 3 pemain senior jagoan di Season kemarin jadi juara. Demikian juga RRQ, yang di Season 5 ini, pemainnya punya lebih banyak pengalaman bisa jadi juara. Setidaknya, pengalaman dan jam terbang di tingkat kompetitif masih punya nilai lebih buat para pemainnya — selama mereka bisa mengolahnya dengan baik (mengikuti perkembangan gameplay ataupun terus mengasah kemampuan misalnya).
“Masuk akal sih (argumen saya tentang dampak RRQ juara tadi),” ujar KB saat saya tanyai pendapatnya. “Apalagi gua juga ngerasain. Udah bukan caster lagi, kan saya analyst sekarang. Wkwkwk…” Tambah KB seraya berseloroh. “Tapi, menurut saya pribadi, kalau sampai RRQ kalah justru jadi dipertanyakan kenapa mereka tidak bisa mengolah pengalaman tadi. Karena jadi kalah dengan pemain baru yang lebih siap menang.”
Di satu sisi, meski pemain senior memang harusnya punya pengalaman yang bisa dimanfaatkan dengan baik, pemain baru juga sebenarnya punya nilai lebih (selain tuntutan kemampuan bermain tentunya). Pemain yang lebih baru mungkin punya cara pandang yang lebih segar dan ambisi yang lebih besar. Bayangkan saja seperti ini, andaikan Lemon dan LJ tidak juara lagi kali ini, mereka tetap akan diperhitungkan oleh lawan-lawannya dan dikagumi oleh para penggemarnya. Namun para pemain baru yang belum pernah memegang piala MPL sekalipun, seperti Bajan, Rexxy, ataupun para pemain Bigetron (yang sempat begitu gemilang di Regular Season S5) harusnya punya keinginan yang lebih kuat buat jadi juara untuk pertama kalinya.
Namun demikian, pemain baru juga bisa jadi terlalu cepat puas. Setidaknya itulah jawaban KB saat saya tanyakan perihal merosotnya performa Bigetron dari Regular Season ke Playoffs.
“Di sisi lain, andaikan yang juara kali ini adalah para pemain baru, mungkin akan bagus juga buat menyemangati para pemain baru lainnya untuk terjun ke tingkat kompetitif yang lebih serius. Kalau sekarang, kondisinya seperti ini, bisa jadi ujian mental sih bagi para pemain muda. Mereka yang punya mental bagus, justru bisa merasa lebih semangat untuk mengalahkan para pemain senior.” Tutup KB mengakhiri perbincangan kami lewat pesan Whatsapp.
Lalu bagaimana dengan pendapat Mongstar? Ia juga menuturkan pendapat yang tidak jauh berbeda dengan KB tadi. Menurutnya, siapapun yang menang kali ini tetap positif bagi ekosistem esports MLBB. “Jika pemain lama yang juara seperti RRQ kali ini, berarti memang pengalaman menjadi nilai lebih selama bisa diolah. Jika pemain baru yang juara, mungkin akan memacu semangat para pemain baru lainnya bahwa mereka punya kesempatan yang sama.” Ujar Mongstar yang telah malang melintang di ekosistem esports sejak era kebangkitan esports Dota 2 di Indonesia beberapa tahun silam.
Sebagai penutup, Mongstar juga menambahkan bahwa ajang kompetitif yang kurang positif untuk ekosistem adalah yang pemenang kompetisinya itu-itu saja. “Selama pemenangnya masih silih berganti seperti MPL ini, menurut saya sih masih positif kok.”
Penutup
Ekosistem esports MLBB memang masih sangat dinamis. Meski RRQ yang jadi juara kali ini, formasi pemainnya berbeda jauh dengan saat mereka memenangkan piala MPL ID S2.
Meski demikian, tentu menarik mengikuti pasar bursa transfer MPL ID berikutnya dan pertempurannya di panggung kompetitif. 2 musim terakhir, tim-tim yang berhasil juara Mobile Legends Professional League (MPL) adalah mereka yang punya setidaknya 3 pemain senior yang bisa diandalkan. Apakah hal ini akan terlihat kembali di MPL ID S6? Apakah justru para pemain baru yang akan mengangkat piala berikutnya? Kita tunggu saja…
Sumber Header: Dokumentasi MPL Indonesia