Ketika Nike masuk menjadi sponsor eksklusif League of Legends Pro League (LPL) di Tiongkok, banyak pihak yang bertanya-tanya, akan seperti apa perang Nike di dunia esports. Ada yang merasa bahwa Nike hanya mengejar keuntungan, ada juga yang menebak bahwa Nike akan menyediakan perlengkapan seperti jersey atau sepatu tim. Tapi kenyataannya, Nike punya rencana yang lebih besar dari semua itu.
Nike merilis sebuah video dokumenter di bulan September 2019 lalu, dengan judul “Unlock the Legends”. Di sana mereka buka-bukaan terkait kerja sama yang mereka lakukan dengan LPL, dan seperti apa kontribusi yang bisa mereka berikan ketika masuk ke dalamnya. Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itu, Nike melakukan apa yang pernah mereka lakukan ketika baru didirikan dulu: berbicara dengan para atlet.
Nike mengidentifikasi satu masalah yang jadi momok utama banyak gamer profesional, yaitu masalah kesehatan. Di Tiongkok, para atlet esports biasa duduk di depan komputer dari bangun tidur hingga akan tidur lagi. Dalam sehari mereka bisa menghabiskan lebih 10 jam untuk berlatih, dan ini pada akhirnya memunculkan masalah tersendiri.
Mengapa mereka harus berlatih sekeras itu? Manajer Top Esports (TES), Hao Guo, berkata, “Rasio jumlah pro gamer dengan orang-orang yang ingin menjadi pro itu kurang lebih 1:10.000, atau mungkin lebih dramatis lagi, 1:100.000, saya tidak akan kaget.” Persaingan ketat menuntut para atlet bekerja keras, dan ini sangat membebani kondisi fisik maupun mental mereka.
Statistik LPL menunjukkan bahwa rata-rata masa karier seorang atlet esports di sana adalah sekitar 2,6 tahun, dengan puncak karier di usia awal 20an. Ini angka yang luar biasa singkat dan sangat mengkhawatirkan. Bayangkan bila atlet olahraga konvensional, seperti Cristiano Ronaldo atau LeBron James, hanya bisa bermain di liga profesional selama 2,6 tahun sepanjang hidupnya. Tak hanya buruk bagi sang atlet, tapi ini juga buruk bagi liga keseluruhan sebab mereka jadi tidak bisa membangun citra superstar di dalamnya. Padahal pemain-pemain bintang itu adalah daya tarik penting untuk membangun ekosistem profesional yang berkelanjutan dan terus diminati banyak orang.
Eric Wei, VP of Category Marketing di Nike Greater China, bercerita, “Saya terkejut sekali. Karena bila kita pikir-pikir, apa yang mereka lakukan adalah aktivitas sangat low impact, dibandingkan dengan olahraga yang biasa kita tonton di TV. Kalau itu bola basket, American football, lari, semua yang mereka lakukan adalah kegiatan olahraga high impact. Dan bahwa para atlet esports ini, umur mereka, karier mereka di olahraga dan aktivitas mereka lebih pendek dari atlet yang lain (olahraga konvensional), itu mengejutkan!”
Nike kemudian mengundang beberapa atlet esports untuk hadir di fasilitas riset olahraga mereka di Amerika Serikat. Di sana mereka melakukan sejumlah tes untuk melihat seperti apa kondisi fisik para atlet ini, serta hal apa yang bisa mereka lakukan untuk memperbaikinya. Hasilnya ditemukan bahwa atlet-atlet ini buruk bahkan di tes-tes fisik dasar, dan itu artinya mereka rawan terkena cidera.
Mayoritas kegiatan para atlet esports dikerjakan sambil duduk, jadi mereka umumnya lemah di tubuh bagian bawah (kaki). Sakit punggung, leher, serta pergelangan tangan juga merupakan keluhan-keluhan yang kerap muncul di kalangan mereka. Tapi ketika mereka menjalani tes reaksi visual, atau koordinasi mata, hasilnya luar biasa bagus.
Kondisi fisik atlet yang demikian timpang merupakan tantangan baru bagi Nike. Mereka kini mengembangkan program-program perbaikan kondisi fisik atlet esports yang melibatkan para master trainer di Nike. Masalahnya, di olahraga konvensional, ketika atlet berlatih maka mereka otomatis berolahraga juga. Sementara untuk atlet esports, olahraga harus dilakukan di luar jam latihan dan itu berarti mereka harus mengeluarkan waktu serta tenaga ekstra. Di tengah kegiatan yang begitu padat, tidak semua atlet punya waktu dan tenaga itu.
Melihat kendala tersebut, Nike memasang target yang tidak terlalu muluk: membuat para atlet menguasai tubuhnya sendiri. “Saya rasa yang bisa kita lakukan dalam waktu cepat adalah meningkatkan kesehatan dan kebugaran para atlet secara keseluruhan. Jika mereka lebih selaras dengan tubuh mereka, mereka akan lebih selaras dan bisa bermain di level yang lebih tinggi,” kata Ian Muir, Director of Sport Performance Insights di Nike Sport Research Lab.
Para master trainer Nike langsung turun ke markas tim-tim LPL, seperti Royal Never GiveUp (RNG) dan Dominus Esports (DMO), untuk memberikan pelatihan pada atlet-atletnya. Pelatihan ini disesuaikan dengan kondisi tubuh para atlet, serta rutinitas yang biasa mereka lakukan.
Bagi atlet esports yang tak terbiasa berolahraga, latihan-latihan ini sangat berat. Hasilnya pun mungkin tak instan, bisa jadi baru terlihat setelah beberapa bulan atau bahkan setahun kemudian. Tapi bila ingin menjadi profesional yang lebih baik lagi, memang harus ada yang dikorbankan. Tujuan akhirnya, lewat program peningkatan kesehatan seperti ini, Nike berharap para atlet esports bisa berkarier di dunia profesional untuk waktu yang lebih lama.