Clinton "Fear" Loomis Ungkap Pengaruh Usia terhadap Performa Atlet Esports

Daripada usia, karier seorang atlet esports lebih ditentukan oleh hidup atau matinya sebuah game

Karier olahraga profesional dan usia adalah dua musuh abadi yang sulit dipisahkan. Di dunia olahraga, umumnya masa jaya atau puncak kehebatan seorang atlet terjadi ketika usianya berada di sekitar 20 tahun akhir atau 30 awal. Di bawah itu, kemampuan serta pembentukan tubuh atlet itu mungkin belum maksimal. Sementara di atas itu, performa tubuhnya sudah mulai menurun. Memang ada beberapa pengecualian, seperti “King Kazu” (Kazuyoshi Miura) yang tetap bermain di liga Jepang meski usianya sudah 51 tahun. Tapi kasus seperti ini jelas sangat jarang.

Dunia esports rupanya menunjukkan tren serupa soal usia, namun lebih parah. Fear alias Clinton Loomis beberapa waktu mengungkapkannya dalam sebuah tulisan di media sosial. Fear adalah atlet Dota 2 profesional yang kini telah berusia 30 tahun. Sepanjang kariernya, ia sudah memenangkan banyak kejuaraan ternama, bahkan mengantar tim Evil Geniuses menjadi juara dunia di The International 2015. Namun ia tidak selalu menjadi pemain.

Fear pernah “pensiun” dari roster Evil Geniuses, dan beralih menjadi pelatih. Namun pada akhirnya ia kembali menjadi pemain. Kini pun, meski sudah tidak bersama Evil Geniuses, Fear masih merupakan pemain aktif di tim J.Storm. Peraihan posisi pertama Chongqing Major North America Qualifier membuktikan bahwa usia tua tidak membuat taring dan cakarnya tumpul. Sesuai namanya, Fear tetaplah pemain yang ditakuti di dunia Dota 2. Sayangnya, tidak semua atlet esports punya jalan hidup seperti Fear.

Fear kini berusia 30 tahun dan bermain untuk tim J.Storm | Sumber: J.Storm

Usia 30 di esports, waktunya pensiun?

“Saat ini, banyak pemain, penggemar, bahkan organisasi memperlakukan para pemain berusia 20an akhir sebagai pemain tua yang sudah hampir pensiun. Karena itulah, menjadi pemain profesional di esports, dibandingkan olahraga lainnya, adalah investasi yang buruk untuk masa depan—bahkan meskipun Anda sukses. Saya melihat banyak pemain kehilangan kepercayaan diri dan pensiun karena miskonsepsi yang muncul di kalangan komunitas ini,” demikian tulis Fear.

Bila kita bandingkan dengan dunia sepak bola misalnya, kita tidak akan bilang Cristiano Ronaldo sudah waktunya pensiun ketika usianya menginjak 30. Pesepak bola asal Portugal itu justru meraih puncak kariernya di usia 31, ketika ia memenangkan Euro 2016 dan menjadi top scorer nomor satu sepanjang masa di Real Madrid. Ronaldo di usia 31 adalah masa keemasan, tapi mengapa Fear di usia yang sama malah dianggap sudah waktunya pensiun?

“Ekspektasi karier di olahraga tradisional punya jangka waktu satu dekade lebih panjang daripada di esports,” lanjut Fear. Alasannya, salah satunya, adalah karena olahraga tradisional dari masa ke masa hampir tidak pernah berubah. Sementara esports selalu berubah, dan game yang saat ini populer bisa saja tenggelam dalam beberapa tahun ke depan.

“Wajar bila sebagian besar pemain hanya hebat di satu game tertentu saja, dan begitu game itu mati, mati pulalah masa depan mereka yang memainkannya. Saya percaya bahwa lebih mudah untuk mempelajari sebuah game ketika Anda masih muda, dibanding ketika sudah tua,” jelasnya. Ini sangat masuk akal. Meski Fear sangat ahli bermain Dota 2, belum tentu dia bisa punya prestasi yang sama bila berpindah ke League of Legends. Sama halnya seperti Cristiano Ronaldo belum tentu jadi juara Eropa bila ia pindah jadi pemain basket.

Cristiano Ronaldo mencapai puncak kejayaan di usia 31 | Sumber: Goal.com

Pensiun karena suatu game mati itu wajar, misalnya seperti yang terjadi di dunia Heroes of the Storm baru-baru ini. Tapi menurut Fear, tidak ada alasan bagi seorang pemain untuk pensiun karena alasan usia. Hanya saja memang jarang sekali ada atlet esports yang cukup beruntung bisa memainkan satu game yang sama hingga mereka berusia 30 tahun lebih.

Dota adalah game yang sangat spesial karena game ini telah bertahan hidup selama 15 tahun lebih, sejak era Warcraft III di tahun 2003 dulu. Jadi Dota bisa menjadi lahan karier bagi atlet-atlet esports yang sudah berusia cukup tua. Dan menurut Fear, usia tidak akan membuat performa permainan seorang atlet esports menurun. Asalkan game yang dimainkan masih hidup, ia tetap terus bisa berkompetisi.

“Saya pernah mendengar argumen bahwa refleks Anda di video game menurun seiring usia bertambah, tapi saya sering memainkan tes reaksi melawan pemain yang lebih muda seperti Sumail, dan saya tetap bisa mengalahkan mereka walau dengan perbedaan usia 11 tahun,” cerita Fear.

“Saya mungkin salah satu pemain pertama yang masih bermain Dota di usia 30 tahunan, tapi saya berharap lebih banyak pemain mengikuti jejak saja karena saya percaya ini baik untuk Dota maupun esports secara keseluruhan. Penting bagi kita untuk tidak merasa terbatas atau tertekan oleh rentang usia fiktif yang dibuat-buat oleh orang yang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.”

Komunitas esports perlu belajar dari fighting game

Menariknya, bila kita memandang esports bukan sebagai MOBA saja, ucapan Fear justru telah terbukti benar sejak lama. Ada dunia esports di mana pemain tua sama sekali bukan hal yang langka. Dota boleh bangga karena sudah hidup selama 15 tahun, namun sebenarnya ada game kompetitif lain yang bahkan sudah hidup selama lebih dari 30 tahun: Street Fighter.

Salah satu pemain Street Fighter terbaik dunia, yang hingga kini masih bermain di level kompetitif yang tinggi, adalah Daigo Umehara dengan usia 37 tahun. Pemegang peringkat 1 Capcom Pro Tour 2018, sama-sama dari Jepang, adalah Hajime Taniguchi alias Tokido dengan usia 33 tahun. Dan masih banyak nama legenda lainnya di dunia Street Fighter seperti Justin Wong, Momochi, atau Infiltration, yang semuanya berusia di atas 30 tahun dan masih aktif, bahkan sangat ditakuti.

Tokido masih terlihat muda, tapi usianya sudah kepala tiga | Sumber: Echo Fox

Tren “pemain tua” ini tidak terjadi di Street Fighter saja, namun juga di fighting game lain. Di dunia Guilty Gear/BlazBlue, kita mengenal nama Ogawa Zato dan Dogura. Di dunia Dragon Ball FighterZ, ada GO1 dan Kazunoko. Di Tekken pun ada legenda-legenda seperti Qudans dan JDCR. Semuanya berusia 30an.

Fighting game punya tingkat kesulitan tinggi dan membutuhkan refleks luar biasa cepat, apalagi di dunia profesional. Oleh karena itu tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa pemain-pemain “tua” di atas punya refleks yang buruk. Persis seperti ucapan Fear, dunia fighting game sudah menunjukkan bahwa usia sama sekali bukan patokan bagi akhir karier seorang atlet esports, setidaknya untuk sekarang.

Bisa saja memang ada titik di mana refleks seorang atlet esports bisa menurun. Tapi kita belum tahu kapan itu akan terjadi. Usia 30 tahun terbukti salah, tapi bagaimana dengan usia 40? Atau mungkin 50? Tidak ada yang tahu, dan mungkin kita baru bisa mengetahuinya lewat statistik jauh di masa depan.

Keberadaan video game dan esports sendiri masih cukup baru, jadi kita belum bisa melihat dengan pasti di mana titik penurunan tersebut. Lain dengan olahraga tradisional yang sudah punya sejarah berabad-abad. Saat ini, pandangan masyarakat tentang batas usia dalam karier esports masih sebatas asumsi, dan tugas para atletlah untuk mematahkan asumsi-asumsi negatif itu. Bila atlet fighting game bisa, mengapa atlet MOBA tidak?

Sumber: Clinton "Fear" Loomis, VPEsports