Pandemi yang masih terjadi hingga saat ini ternyata sudah mulai mengganggu jalannya bisnis layanan p2p lending. Makin minimnya pendanaan yang dikeluarkan hingga masa depan yang masih belum jelas menjadi isu yang disorot vertikal bisnis tersebut saat ini. Dalam sesi #Selasastartup kali ini, DailySocial mengundang Direktur Asetku Andrisyah Tauladan, untuk berbagi informasi dan beberapa kendala yang masih kerap ditemui saat ini.
Menekan risiko gagal bayar
Salah satu fokus utama yang dicoba untuk dipertahankan oleh Asetku sebagai platform p2p lending adalah mempertahankan risiko gagal bayar hingga 0%. Dengan demikian perusahaan bisa meyakinkan kepada pemberi pinjaman (lender) bahwa investasi yang sudah digelontorkan terjamin dan pasti akan kembali.
Di sisi peminjam (borrower), Asetku mencoba untuk mendisplinkan mereka untuk selalu mematuhi perjanjian, terkait dengan pembayaran yang wajib dilakukan. Dengan demikian perusahaan bisa melihat dan melakukan kurasi organik, siapa saja peminjam yang memiliki rekam jejak positif.
“Karena kebanyakan lender kita adalah kalangan ritel yang memberikan pendanaan kepada mereka peminjam yang kebanyakan adalah mitra dari layanan e-commerce, kami menyadari benar kebutuhan dan kebiasaan dari para lender kami. Untuk itu meskipun pandemik berlangsung, kami mencoba untuk mempertahankan risiko gagal bayar tetap di nol persen,” kata Andrisyah.
Disinggung seperti apa demografi dari lender yang telah bergabung di Asetku, secara umum dari kalangan berusia sekitar 37 tahun. Sementara untuk borrower kebanyakan berasal dari kalangan milenial yang berusia sekitar 25 tahun.
“Itu semua sesuai dengan target kami mulai dari usia, pekerjaan hingga kebutuhan mereka untuk melakukan pinjaman hingga memberikan pendanaan melalui platform Asetku,” kata Andrisyah.
Besarnya pasar layanan p2p lending
Meskipun saat ini makin banyak bermunculan layanan p2p lending di Indonesia, tidak menjadikan platform seperti Asetku kehilangan target pengguna. Dengan kebijakan dan pemahaman yang benar di antara masing-masing pemain, masih banyak segmentasi pengguna yang bisa dirangkul. Untuk itu masing-masing penyedia harus menentukan dengan tepat, layanan seperti apa yang ingin dihadirkan dan siapa target pengguna yang ingin diincar.
“Saat ini baru sekitar 3,4% pendanaan yang digelontorkan kepada UKM oleh layanan p2p lending, artinya masih besar peluang untuk masing-masing pemain bermain di layanan tersebut yang bisa menguntungkan target pengguna,” kata Andrisyah.
Selama penyebaran virus Covid-19 ini menurut Andrisyah akan makin terlihat, siapa saja pemain yang akan unggul dan siapa di antara mereka yang bakal tergerus dan terpaksa tutup layanan. Makin ketatnya masyarakat umum menyimpan uang mereka dan menahan keperluan untuk berinvestasi, menjadikan pemain yang masih baru dan belum menjadi top of mind masyarakat akan kehilangan peluang.
“Ke depannya saya lihat konsolidasi pun mungkin akan terjadi di antara pemain-pemain baru yang masih kecil tersebut. Di sisi lain untuk pemain yang sudah besar dan cukup populer, akan makin cerdas lagi mengatur model bisnis mereka,” kata Andrisyah.
Di Asetku sendiri sejak bulan Januari 2020 ketika Covid-19 sudah mulai menyebar di Wuhan, Tiongkok, perusahaan telah menyiapkan modeling risiko. Tujuannya untuk memastikan lender dan borrower bahwa pinjaman dan investasi yang telah diberikan bisa berjalan secara normal. Modeling tersebut yang diklaim mampu untuk mempertahankan posisi risiko gagal bayar Asetku berada dalam posisi 0%.
“Kami telah menerapkan beberapa tahap modeling, di antaranya adalah memberikan potensi dan probabilitas terbaik bagaimana proses disburse loan yang tepat, memanfaatkan data, demografi dan histori para calon peminjam,” kata Andrisyah.
Cara lain adalah Asetku menunda pemberian pendanaan kepada peminjam yang sudah mendaftarkan untuk sementara dan hanya fokus kepada peminjam dan pemberi pinjaman yang sudah berjalan saat ini. Secara langsung cara tersebut mempengaruhi kepada penjualan dari perusahaan. Namun sesuai dengan misi perusahaan agar bisnis bisa berjalan secara stabil, sikap hati-hati dalam mengambil keputusan patut untuk diterapkan.
Masa depan layanan p2p lending
Masih diwarnai dengan berita miring soal pinjaman online ilegal, namun dengan menerapkan proses yang benar dan tidak asal memilih, dipastikan semua layanan p2p lending ilegal tersebut bisa diminamilisr jumlahnya. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara pinjaman online ilegal dan layanan p2p lending yang terdaftar oleh OJK. Kebanyakan mereka yang ilegal tidak memiliki kantor di Indonesia dan hanya memanfaatkan aplikasi yang kemudian diunggah di Play Store untuk menyebar luaskan layanan mereka.
“Yang bisa dilakukan oleh masyarakat umum adalah melihat apakah layanan p2p tersebut sudah terdaftar di OJK. Langkah tersebut bisa digunakan untuk memverifikasi layanan yang resmi dan terdaftar di Indonesia,” kata Andrisyah.
Meskipun baru muncul tahun 2016 lalu, saat ini layanan p2p lending telah muncul sebagai platform pilihan kalangan unbanked dan underserved, untuk mencari alternatif pinjaman atau tambahan modal. Kolaborasi dengan berbagai pihak terkait pun makin agresif dilancarkan, seperti perbankan, layanan e-commerce, penyedia layanan digital untuk verifikasi hingga tanda tangan digital. Semua kolaborasi tersebut wajib diperluas untuk mengembangkan ekosistem layanan p2p di Indonesia.