Gaming tak lagi menjadi industri kecil yang ditujukan untuk segelintir orang. Menurut laporan Newzoo, pada 2019, industri gaming secara global diperkirakan bernilai US$152,1 miliar. Nilai tersebut tidak menghitung total penjualan console atau hardware lain serta pemasukan dari iklan dalam game. Pertumbuhan industri gaming yang pesat tak lepas dari semakin banyaknya perangkat untuk bermain game, mulai dari PC, console, sampai perangkat mobile. Sekarang, sebanyak 86 persen dari pengguna internet bermain game di setidaknya satu perangkat.
Menariknya, tidak semua pemain game melabeli diri mereka sendiri sebagai “gamer“, walau mereka memang senang bermain game. Sebanyak 80 persen orang yang mengaku tidak hobi main game mengatakan, mereka tetap senang bermain game di smartphone mereka. Memang, perangkat mobile menjadi salah satu alasan mengapa industri gaming bisa tumbuh subur. Tahun ini, perangkat mobile — smartphone dan tablet — diperkirakan menyumbang 45 persen dari total pendapatan industri gaming.
Seiring dengan semakin banyaknya orang-orang yang bermain game, semakin banyak pula variasi game yang muncul. Dalam 10 tahun belakangan saja, muncul berbagai genre baru dalam industri game. Tidak heran, karena preferensi dari masing-masing gamer memang berbeda-beda. Menurut laporan Facebook Gaming Marketing, ada dua indikator yang menjadi bukti bahwa preferensi para gamer kini menjadi semakin bervariasi.
Salah satunya adalah semakin beragamnya genre game di perangkat mobile. Jika dulu ponsel hanya bisa memainkan game yang sangat sederhana — seperti Snake — sekarang, Anda bisa memainkan game sekompleks game MOBA atau battle royale, seperti Mobile Legends dan Player Unknown’s Battleground Mobile. Bukti lain yang menunjukkan bahwa preferensi para gamer sekarang semakin beragam adalah meningkatnya minat akan properti intelektual yang familier.
Sementara itu, dalam laporannya, Facebook membagi para gamer menjadi tiga kategori, yaitu pemain hyper-casual, hardcore, dan kategori di antara keduanya. Masing-masing kategori memiliki karakteristiknya sendiri. Tergantung target pasarnya, para developer dan publisher game bisa menyesuaikan strategi atau bahkan tipe game yang akan mereka buat atau luncurkan.
Hypercasual gamer
Dalam satu tahun belakangan, tidak hanya game-game yang lebih serius yang muncul, tapi juga game hyper-casual, seperti Stack Ball, Run Race 3D, Tiles Hop: ED Rush, Clean Road, Traffic Run, dan Crowd City. Berdasarkan laporan App Annie pada Q2 2019, game-game tersebut masuk dalam daftar game yang paling sering diunduh. Salah satu ciri khas pemain game hyper-casual adalah mereka tak keberatan dengan iklan dalam game. Ini terbukti dari suksesnya sistem free-to-play yang diterapkan sejumlah game. Sebanyak 75 persen mobile gamer mengatakan bahwa mereka tak keberatan dengan iklan dalam game asalkan mereka bisa memainkan game dengan gratis. Jadi, developer yang ingin menargetkan hyper-casual gamer, mereka tak usah terlalu memerhatikan game economy dan bisa fokus untuk memonetisasi game mereka.
Salah satu keluhan para pemain game hyper-casual justru iklan yang monoton. Sebanyak 73 persen mobile gamer mengatakan, iklan yang mereka lihat dalam game tidak bervariasi. Padahal, sebagian besar dari mereka justru ingin melihat iklan yang beragam. Sebanyak 40 persen mengatakan ingin melihat iklan dari game lain, 39 persen ingin melihat produk lain non-game, dan 21 persen sisanya ingin iklan yang seimbang antara keduanya.
Hardcore Gamer
Sama seperti pemain game hyper-casual, hardcore gamer juga memiliki karakteristik tersendiri. Biasanya, para hardcore gamer mencari game dengan mekanisme yang kompleks dan menantang. Dulu, jika seseorang ingin memainkan game multiplayer yang rumit, dia hanya bisa menemukan game seperti itu di PC atau konsol. Sekarang, game-game mobile juga mulai memiliki mekanisme yang lebih rumit. Game-game mobile yang kompleks muncul berkat teknologi smartphone yang juga semakin canggih, memungkinkan game “berat” dijalankan di smartphone.
Karena game menjadi semakin rumit dan menantang, ke depan, para hardcore gamer kemungkinan akan menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain. Beberapa genre membuat pemainnya menjadi lebih aktif bermain daripada genre lainnya, seperti real-time action atau multiplayer RPG. Anda bisa melihat genre game yang membuat para pemainnya menjadi lebih sering bermain game pada grafik di bawah ini.
Dengan semakin kompleksnya gameplay mobile game, maka mulai muncul esports scene untuk mobile game. Di dunia, kompetisi untuk mobile game mulai bermunculan. Di Indonesia, yang sebagian besar masyarakatnya mengenal internet melalui smartphone, sejak awal, mobile esports memang lebih menarik daripada esports untuk PC atau konsol.
Tahun ini, turnamen dengan total hadiah terbesar di Indonesia adalah Mobile Legends Professional League Season 4 dengan total hadiah mencapai US$300 ribu atau sekitar Rp4,25 miliar. Sementara itu, di tingkat global, game-game seperti Arena of Valor, Clash Royale, dan Clash of Clans membuat mobile esports menjadi populer. Menurut Newzoo 2019 Global Esports Market Report, Arena of Valor dan Clash Royale masuk ke dalam daftar 25 game yang paling sering ditonton pada 2018. Sementara pada Desember 2018 sampai Februari 2019, total durasi video ditonton dari 10 streamer yang menayangkan konten mobile esports mencapai 12,4 juta jam.
Meskipun begitu, mobile gamer yang paling antusiasi tetap bisa ditemukan di kawasan Asia Pasifik. Sebanyak 70 persen dari pengguna internet di kawasan ini bermain game di perangkat mobile. Selain itu, dalam waktu satu bulan terakhir, 27 persen gamer di Asia Pasifik pernah menonton siaran langsung terkait game, walau tidak melulu mobile game.
Gamer antara hyper-casual dan hardcore
Tidak semua gamer bisa dikategorikan sebagai pemain hyper-casual atau hardcore. Ada gamer yang masuk dalam kategori in-between. Game yang ditujukan untuk para gamer yang masuk kategori ini biasanya memiliki elemen kompetitif dari game untuk hardcore gamer, tapi menggunakan model monetisasi layaknya hyper-casual game, yaitu menggunakan iklan.
Dari penggabungan ini, developer biasanya akan membuat game dengan mekanisme atau genre yang sama sekali baru. Contohnya, game auto chess atau auto battler, seperti Dota Underlords. Game ini menawarkan competitiveness dari game Dota 2 pada PC, tapi memiliki mekanisme yang lebih simpel sehingga mudah untuk dimainkan dalam perangkat mobile.
Pentingnya IP yang familier
Sekarang, industri game dan industri film semakin menyerupai satu sama lain. Di Amerika Serikat, salah satu hal yang dipertimbangkan seseorang sebelum menonton film adalah apakah mereka mengenal franchise dari film tersebut. Dalam memilih sebuah game yang hendak dimainkan, gamer juga mempertimbangkan apakah mereka kenal dengan franchise game tersebut. Sebanyak 75 persen dari gamer di PC dan konsol memutuskan game yang hendak mereka mainkan berdasar apakah sebuah game berasal dari franchise yang mereka kenal. Tak hanya itu, mereka juga biasanya loyal pada sebuah IP. Misalnya, jika game terakhir dari Call of Duty terbukti tak terlalu memuaskan, para gamer tetap tertarik untuk membeli game Call of Duty yang akan diluncurkan.
Sama seperti gamer yang bermain di PC dan konsol, franchise juga menjadi salah satu pertimbangan bagi mobile gamer. Studio film bisa memanfaatkan hal ini dengan bekerja sama dengan developer untuk membuat mobile game dari IP yang mereka miliki. Dengan timing yang tepat, kerja sama antara studio film dan developer akan menguntungkan kedua belah pihak. Salah satu contohnya adalah game Jurassic World Alive yang diluncurkan sebelum film Jurrasic World: Fallen Kingdom.
“Kami sengaja meluncurkan Jurrasic World Alive tepat sebelum perilisan film Jurrasic World: Fallen Kingdom, memungkinkan kami untuk memanfaatkan hype yang muncul dari peluncuran film terbaru dari franchise Jurrasic Park. Berkat kerja sama antara tim yang membuat film dan game kami, Jurrasic World Alive meroket ke daftar game terpopuler,” kata Fracncois Daoud, Vice President of Marketing, Ludia, developer dari Jurassic World Alive.
Opsi lain untuk developer game yang ingin bekerja sama dengan pelaku industri film adalah dengan memasukkan konten dari sebuah IP ke game mereka. Misalnya, Epic Games bekerja sama dengan Netflix untuk membuat event crossover antara Fortnite dengan Stranger Things. Bagi developer game, menggunakan IP yang sudah dikenal akan membuat game mereka menjadi lebih menarik para gamer. Selain itu, mereka juga bisa menarik penggemar dari IP tersebut.
Sementara dari sudut pemegang IP, game bisa menjadi media baru untuk berinteraksi dengan fans mereka. Tak hanya itu, jika dibandingkan dengan media lain — seperti komik, novel, atau bahkan film — game merupakan media interaktif yang bisa mendorong tingkat interaksi. Setelah sebuah IP masuk dalam game, tujuan berikutnya adalah untuk membuat para gamer bermain lebih lama.
Saat ini, ada banyak IP yang bermula dari satu media dan diadaptasi ke media lainnya. Salah satu contohnya, komik superhero buatan Marvel yang diangkat menjadi film dalam Marvel Cinematic Universe. Selain film, juga banyak game yang mengusung karakter dan dunia dari Marvel. Di Indonesia, contohnya adalah Gundala Putera Petir yang belum lama ini diangkat ke layar lebar. Contoh lainnya adalah Dilan, yang berawal dari novel, kemudian dijadikan sebagai film, dan pada saat yang sama, juga muncul game-nya. Ada juga IP yang bermula dari game, kemudian diadaptasi ke media lain. Misalnya, Assassin’s Creed atau Pokemon.
Kesimpulan
Jumlah gamer kini menjadi semakin banyak. Selain itu, label “gamer” sekarang juga tidak melulu dipandang negatif. Di satu sisi, ini adalah kabar baik bagi developer dan pubisher game, karena pasar gaming menjadi semakin luas. Di sisi lain, karena pasar gaming telah menjadi semakin matang, maka para pemain mulai bosan dengan game yang tidak menawarkan sesuatu yang baru. Ini adalah waktu yang tepat bagi developer untuk membuat game yang memiliki unsur unik yang belum pernah ada sebelumnya.
Sumber header: pxhere