Beberapa bulan ini begitu banyak orang dari grup-grup besar yang mulai tertarik masuk ke investasi di tech startup di Indonesia, bahkan perusahaan-perusahaan dari Jepang, Singapura, Malaysia, China, dan AS mulai perlahan masuk menjajal pasar startup di Indonesia. Kebanyakan dari mereka adalah perusahaan finansial yang ingin berinvestasi di startup-startup tech Indonesia yang memang sedang “panas”.
Namun sayangnya niat membara para investor ini tiba-tiba padam begitu bertemu dengan beberapa startup Indonesia yang mereka nilai belum siap dan cenderung termakan “Romantisisme Silicon Valley” – meminjam istilah yang saya dengar dari Budi Putra.
Punya ide brilian, cari co-founder, sukses dapat funding dari investor, diakuisisi oleh Google dan menjadi kaya raya dengan reputasi luar biasa dan mungkin sebuah Ferrari merah di garasi. Nikmatnya dunia.
Namun kenyataannya tidak demikian, meskipun mimpi para startup ini bisa menjadi motivasi yang bagus, namun mimpi para investor yang datang ke Indonesia justru hancur setelah bertemu dengan startup-startup Indonesia.
Investor-investor ini mengeluhkan banyak hal dari startup Indonesia, mulai dari lemahnya konsep yang dibuat, lemahnya diferensiasi dan inovasi, kurangnya kesiapan manajemen dan aspek legal, sampai ke valuasi yang membumbung tinggi dan tidak masuk perhitungan finansial dan ekonomi.
Kelemahan konsep sebuah startup sebenarnya amat sangat subyektif dari sudut pandang tiap investor yang berbeda, kadang-kadang konsep yang lemah jika dieksekusi oleh founder yang tepat bisa berevolusi menjadi sesuatu yang luar biasa, contohnya AirBnB yang awalnya ditolak banyak VC karena konsep yang aneh). Namun konsep yang kuat sekalipun jika dieksekusi oleh founder yang lemah bisa jadi malapetaka untuk investor, contohnya Color yang mencairkan US$40 juta untuk konsep yang luar biasa namun gagal memuaskan pengguna.
Dan entah kenapa masih banyak startup Indonesia yang keluar dengan solusi untuk masalah yang sebenarnya tidak ada, berbekal tagline “the next Facebook” atau “the next Twitter” tanpa diferensiasi yang jelas, tentu saja investor sudah muak mendengarnya. Konsep yang tidak solid seperti ini tentu berpotensi merugikan investor, terutama para investor yang terbilang baru di bisnis online.
Kesiapan manajemen dan aspek legal memang juga opsional, namun bisa menunjukkan betapa seriusnya para founder dalam menjalankan startup ini. Legalisasi perusahaan, laporan keuangan, business plan memang agak menganggu untuk dibuat, namun menjadi nilai plus jika dilakukan oleh startup.
Poin ketiga ini yang benar-benar membuat banyak investors langsung patah semangat, valuasi yang membumbung tinggi tanpa revenue, tanpa profit, dan bahkan tanpa business plan tentu hanyalah sebatas mimpi yang terlalu mahal. Dan kebanyakan startup agak kesulitan menjelaskan alasan valuasi yang tidak masuk akal tersebut, investor-pun gagal diyakinkan.
Tentu saja tidak semua startup Indonesia seperti ini, banyak juga yang benar-benar menjalankan startupnya dengan skill, knowledge dan passion. Startup-startup inilah yang akan sukses dalam jangka panjang, bukan yang mengejar hype semata.
Tech startup di Indonesia memang sedang bertumbuh cepat sekali, namun dengan banyaknya “startup” yang ngawur seperti ini tentu bisa menjadi reputasi buruk di mata investors luar maupun dalam negeri. Dalam jangka panjang bisa membuat investor malas berinvestasi di startup Indonesia, namun jika investor mengikuti valuasi yang tidak masuk akal ini-pun bisa memicu ketidakseimbangan ekosistem ekonomi, tech bubble.
Good article and bold message. I think most of startup you mentioned on article similar to new honda jazz tagline, “Raising the bar, too high” 😀
Mungkin ini lebih ke persoalan trust dari VC ke teman-teman enterpreneur lokal ya. Karena enterpreneur blm bisa sepenuhnya dipegang maka VC kembali ke 101, minta semacam kelengkapan administratif.
Soal variasi ide startup, ya harus maklum lah ya. Baru juga bertumbuh, invalid ideas pasti banyak. Peta Silicon Valley dan Jakarta juga berbeda. Akibatnya pasar yang diacu oleh enterpreneur lokal juga jauh terbatas dibandingkan dengan Silicon Valley dan sekitarnya.
Gw penasaran, dengan kondisi pasar yang tidak banyak berbeda di beberapa tahun ke depan, akan dibawa ke mana boom startup ini. Kalau mau berkembang lebih cepat rasanya harus go global. Tapi bakal lebih banyak tebak-tebakan.
agree, too much hype and bit overrated 🙂
Baca postingan ini jadi kenget buku : What Would Google Do? –Jarvis
Dulu pas pertama beli kelihatan bagus banget ni buku.
Tapi beberapa bulan kemarena aku baru sadar klo buku ini ‘shitty things’.
Isinya cuma mbahas The Next Google ato Facebook ato Youtube.
Padahal satu per satu layanan Google mulai tutup karena sama sekali tidak menghasilkan.
//sebenernya banyak layanan Google mulai tutup karena server yg membengkak dan tidak menghasilkan.
Youtube dah mulai digeser Netflix yang notabene berbiaya.
Kalo seandainya pembayaran net bisa menggunakan pulsa HaPe hampir dipastikan jasa2 gratis akan mati dengan cepat.
Misal Anda bayar 3ribu/month dengan pulsa buat join ke sebuah situs sosial :
contohnya kayak situs yg merunut hirearki keluarga (saya lupa namanya).
Situs ini bersaing dengan facebook, tapi situs ini mendapat uang langsung dari pengguna, bukan dari iklan.
Dan situs ini very profitable.
Chris Anderson menulis buku Free dan mendukung Rynair, sama seperti Jarvis.
Richard Branson bilang “Saya pernah ditawari berinvestasi di Maskapai Rynair, tp sy menolak karena pelayanannya yang buruk.”
Sturt Up Billion dolar company in paper… just in paper…
Baca postingan ini jadi kenget buku : What Would Google Do? –Jarvis
Dulu pas pertama beli kelihatan bagus banget ni buku.
Tapi beberapa bulan kemarena aku baru sadar klo buku ini ‘shitty things’.
Isinya cuma mbahas The Next Google ato Facebook ato Youtube.
Padahal satu per satu layanan Google mulai tutup karena sama sekali tidak menghasilkan.
//sebenernya banyak layanan Google mulai tutup karena server yg membengkak dan tidak menghasilkan.
Youtube dah mulai digeser Netflix yang notabene berbiaya.
Kalo seandainya pembayaran net bisa menggunakan pulsa HaPe hampir dipastikan jasa2 gratis akan mati dengan cepat.
Misal Anda bayar 3ribu/month dengan pulsa buat join ke sebuah situs sosial :
contohnya kayak situs yg merunut hirearki keluarga (saya lupa namanya).
Situs ini bersaing dengan facebook, tapi situs ini mendapat uang langsung dari pengguna, bukan dari iklan.
Dan situs ini very profitable.
Chris Anderson menulis buku Free dan mendukung Rynair, sama seperti Jarvis.
Richard Branson bilang “Saya pernah ditawari berinvestasi di Maskapai Rynair, tp sy menolak karena pelayanannya yang buruk.”
Sturt Up Billion dolar company in paper… just in paper…
Baca postingan ini jadi kenget buku : What Would Google Do? –Jarvis
Dulu pas pertama beli kelihatan bagus banget ni buku.
Tapi beberapa bulan kemarena aku baru sadar klo buku ini ‘shitty things’.
Isinya cuma mbahas The Next Google ato Facebook ato Youtube.
Padahal satu per satu layanan Google mulai tutup karena sama sekali tidak menghasilkan.
//sebenernya banyak layanan Google mulai tutup karena server yg membengkak dan tidak menghasilkan.
Youtube dah mulai digeser Netflix yang notabene berbiaya.
Kalo seandainya pembayaran net bisa menggunakan pulsa HaPe hampir dipastikan jasa2 gratis akan mati dengan cepat.
Misal Anda bayar 3ribu/month dengan pulsa buat join ke sebuah situs sosial :
contohnya kayak situs yg merunut hirearki keluarga (saya lupa namanya).
Situs ini bersaing dengan facebook, tapi situs ini mendapat uang langsung dari pengguna, bukan dari iklan.
Dan situs ini very profitable.
Chris Anderson menulis buku Free dan mendukung Rynair, sama seperti Jarvis.
Richard Branson bilang “Saya pernah ditawari berinvestasi di Maskapai Rynair, tp sy menolak karena pelayanannya yang buruk.”
Sturt Up Billion dolar company in paper… just in paper…
Very nice post, Rama.
Indonesia dapat mention dari Sarah Lacy dan TechCrunch lalu pikir kita bisa bikin Twitter baru. IMHO strtup revolusioner sepwrti Twitter cuma bisa mulai di Silicon Valley dengan ekosistem yang sudah lahir dari 40 tahun yang lalu; dengan VCnya yang sudah pernah ambil untung milyaran $ dari Google, Apple IPO dll. Jakarta masih jauh dari sana.
Semua entrepreneur memang harus belajar. Saya yakin sebentar lagi entrepreneur2 Indonesia akan figure out model bisnis yang cocok untuk startup di Indonesia dan kemudian dapat kepercayaan VC dan mendatangkan return profit buat VC tersebut. Perlu waktu saja.
kebanyakan (founder) startup ini berlahir dari para freelancher (yeah you know who they are : D ) yang (kebanyakan) untuk soal formal seperti kelengkapan birokrasi serta keperluan ‘resmi’ lainnya yang malas untuk mereka rapihkan, padahal itu nilai plus. soal ide saya lihat masih terlalu berkiblat ke startup luar, belum ada yang mengeluarkan inovasi yg benar2 nhice lokal: padahal itu yg dicari para VC luar, dan jadinya seperti berolak punggung, VC ingin niche lokal, tapi para startup lokal berkiblat luar, jauh sekali bukan
Meskipun servisnya gratis untuk pengguna bukan berarti perusahaannya nggak ada revenue. YouTube itu punya Sales 1 miliar dolar. Dan btw mereka nggak bisa dibandingkan dengan Netflix karena produknya beda.
Sebenarnya boleh dibilang semua produk gratis Google akhirnya berguna untuk menjual adsense dan adwords. Jadi boleh dibilang produk2 gratis tersebut adalah Sales funnel nya Google. Sales funnel tersebut gratis jadi dipakai banyak pengguna yang kemudian mendatangkan revenue puluhan miliar dolar. Kalau mau saingan dengan Google harus investasi ratusan juta dolar untuk membuat tandingan produk2 gratis tersebut.
Shitty? I think it’s brilliant.
Setuju sekali, saya juga masih meragukan kesiapan startup di Indonesia untuk menjalankan startupnya sebagai bisnis dan menerima dana investor. Tapi semuanya bisa diperbaiki kok, asal kita semuanya mau belajar. Oktober ini Founder Institute @jktfi rencananya akan masuk Jakarta, mudah-mudahan saja bisa sedikit membantu.
Saya menggunakan klik “+1”-nya Google untuk pertama kali dalam hidup saya untuk artikel ini 🙂
Youtube sales 0 dolar (NOL DOLAR).
Youtube coba membuat iklan di bagian bawah video, tp cara ini gagal total.
Bahkan Seth Godin bilang :
“Youtube tidak menghasilkan tapi masih cukup bagus untuk mengangkat citra Google.”
Beberapa kali saya menelusuri service Google dan ada tulisan “Maaf layanan ini sudah tidak berlaku lagi.”
Mark Cuban bahkan membahasnya sendiri bagaimana Netflix menelikung Youtube.
How netflix is hurting youtube
Produknya beda? lucu sekali.
Ada sebuah buku berjudul “The Ten Commandments”–Bill Fromm
Buku ini membahas masalah manajemen karyawan.
Buku yg langsung direkomendasikan oleh Mark Hughes penulis BuzzMarketing.
Ada pembahasan menarik di buku itu.
Subab-nya berjudul “Siapa pesaing Anda”
Ada 4 produk : Rolex, Timex, Volkswagen dan Mercedes Benz.
Rolex : jam tangan mewah.
Timex : jam tangan murah/hemat
Volkswagen : mobil murah/hemat
Mercedes Benz : Mobil mewah
Bill bertanya : Mana yg bersaing?
Jawabannya adalah Rolex dan Mercedes Benz
Ini kutipan paragrafnya :
“Jika seseorang mempunyai penghasilan yang cukup banyak, ia mungkin akan memutuskan untuk membeli Rolex atau Mercedes. Anda tidak akan menawarkan padanya Volkswagen, karena yang ia butuhkan adalah simbol status. Demikian juga, Anda tidak akan menawarkan pada seseorang sebuah jam tangan Rolex jika yang ia butuhkan hanya sebuah jam tangan.”
Ini kutipan dari Lee Derrough dalam buku Bill :
“Kami tidak berkecimpung dalam bisnis taman hiburan, bisnis kami adalah hiburan. Kami bersaing dengan bioskop2 Kansas City Royals, Kansas City Chiefs, kebun binatang, golf mini, kolam renang, dan kursus2 golf.”
Lee hampir bersaing dengan semua orang yang menawarkan hiburan. –Bill From
Tentu saja adsense bagus.
Hanya mungkin kita harus menyadari bahwa penghasilan bukan hanya datang dari iklan atau akuisisi.
Mungkin hal2 sederhana seperti menyewakan CD seperti CD Baby.
Sy teringat kata David HH saat jd pembicara :
“Zappos have a great idea because ‘selling fucking shoes’, better than than another guys.”
“Zappos great idea because treat costumer nicely.”
saya suka sekali dng artikel ini LIKE IT !!!
saya rasa baik youtube yang menjadikan dirinya sebagai funnel sales google atau netflix yang secara langsung tetap saja masing masing mempunyai konsumennya sendiri sendiri.
Bukannya mematahkan konsep, tapi sehabat apapun konsep dan sekeren apapun yang menjalankan tentu hasil termasuk juga revenue dan kelangsungan usaha bukan ditentukan manusia kan 🙂
Jadi coba saja jalan dengan konsep yg ada kalau dirasa masih menghasilkan ( youtube sebagai sales funnel) ya silahkan diteruskan, kalau dirasa berat coba cari exit startegy
angka dari mana tuh sales Youtube 0 dollar?
Google itu media placement for ads, dia bikin funnel dimana mana,supaya semakin banyak ads terbaca. itu yg dia jual ke pemasang iklan 🙂
Dan dengan revenue dia yg selalu mengkilap, I think there’s nothing wrong with Google’s business model, but then who are we to judge Google ( or facebook, or twitter) haha
Love this article! the romantisme reminds me to: http://techcrunch.com/2011/02/27/sorry-entrepreneurs-youre-probably-the-rule-not-the-exception/
About the readiness. I think what we’re lacking here is complete ecosystem. I get meetings with VC’s who’re looking to invest in tech companies that make about USD 1million a year. Heck, we can’t even spend that much in a year. And there are stil very little internet companies in Indonesia at that stage now. We’re few years behind than the hype. What the ecosystem need is incubators to get the startups off the ground and VCs (or mentors) to grow with us to eventually meet VCs who are looking to invest in companies that make USD 1million a year. Aminnnn
Ada sebuah kutipan yang sangat bagus dari Jason F, ini yg mengubah pandangan saya ttg startup :
“Orang akan dengan suka hati membayar barang/jasa yang mereka sukai.”
apapun yg Selina tulis, gw like aja. Abis dia jarang komen dan dia klien gw hahaha. Jadi mau brapa box Sel untuk alamat baru? haha
Nah loh, gimana para founder? hati-hati terjadi efek bubble seperti tahun 2000. Bisa jadi malapetaka bagi perekonomian kita 🙂
apapun yg Agus tulis, gw like aja. Abis dia jarang komen dan dia belum jadi klien
gw hahaha. Jadi mau brapa iPad 2, berapa iPhone 4 & berapa MacBook Air? haha
nice article bro!! really like this!!
great article broo!! like this
Dari pengalaman memulai startup sebagai kerja sampingan,
saya sudah pernah melakukannya beberapa kali. Walau hasil dari usaha tersebut belum
ada yang mampu menggantikan pekerjaan fulltime saya, namun peluang untuk
memulai sesuatu yang saya inginkan terus terang memberikan kenikmatan
tersendiri.
Saya pribadi merasa mentorship merupakan langkah awal yang
dapat di share dengan mereka yang ingin belajar bagaimana memulai suatu
startup. Mengingat banyaknya investment yang menginginkan peluang bisnis di
Indonesia berasal dari luar, maka tidak heran jika banyak dari mereka yang memiliki
preconditioned way of thinking tentang bagaimana uang mereka dimanfaatkan.
Seperti contoh pembentukan usaha. Apa saja yang diperlukan untuk dapat
mendirikan suatu usaha di Indonesia. Dari yang saya dengar, uang “formulir” ada berbagai
macam, tergantung kita bertanya kepada siapa. Namun di Illinois misalnya,
membuat LLC (Limited Liability Company) hanya memerlukan 1-2 lembar formulir
yang ongkosnya tertera jelas di formulir sehingga tidak ada yang namanya “tangan
jahil”. Perbedaan kultur ini sedikit
banyak dapat menimbulkan kegetiran investor yang tidak dapat melihat cahaya di
akhir lorong. Bagi mereka, lebih baik tidak berinvestasi daripada harus membuang
uang (Dalam hal perbaikan birokrasi ini saya melirik kepada mereka yang duduk di pemerintahan).
Di sisi lain, yang perlu dipikirkan oleh startup lokal adalah
kemampuan membaca pasar lokal. Mengerti bagaimana masyarakat pelaku ekonomi di Indonesia melakukan bisnis dan mengerti pasar
dalam arti luas. Apa yang dihargai dan apa yang tidak. Apa yang premium dan apa
yang low-grade. Menjembatani antara hasil usaha yang ada value dengan monetary revenue.
Jangan hanya berpikiran untuk memulai sesuatu yang akan menghancurkan facebook
atau the next google. Namun berpikiran bagaimana karya/startup ini dapat
membuat perusahaan besar Silicon Valley untuk mau mengetuk pintu usaha anda dan
mengajak rundingan. Start small, know your market and audience *really well*,
and build from it. Semoga sukses.