Dark
Light

Iklim Investasi Startup Web di Indonesia

1 min read
May 1, 2010

Berawal dari pembicaraan saya dengan beberapa investor dalam 2 minggu ini, saya berkesempatan ngobrol langsung dengan 5 calon investor yang tertarik untuk invest di web startup lokal. Saya pun mendapat banyak perspektif baru dari sudut pandang seorang investor ketika ingin melakukan investasi di sebuah startup.

Kebanyakan dari mereka cukup terkejut ketika melihat poster startup-startup Indonesia yang ternyata sudah cukup banyak. Pertanyaan yang hampir selalu keluar adalah “Yang mana yang bagus dan potensial?”. Tentu saja itu yang mereka cari, saya pun menyebut beberapa startup yang menurut pendapat pribadi saya cukup menarik meskipun belum ada yang “world changing” ataupun “disruptive”.

Beberapa dari mereka, terutama VC company asal AS, sangat tertarik untuk berinvestasi di web startup Indonesia dan hampir semua VC company tersebut memiliki kriteria yang cukup sulit. Kriteria disini bukan berarti sebuah startup harus memiliki plan ataupun ide yang super keren, melainkan capability dari para founder itu sendiri untuk mengelola ide tersebut hingga menjadi sebuah barang jadi siap jual.

Kapabilitas dan komitmen ini yang seringkali menjadi momok menakutkan bagi investor, kenapa? Karena kebanyakan founder startup lokal tidak memiliki komitmen jangka panjang. Ketika investor mulai mendalami sang founder dan startupnya, kebanyakan mengindikasikan bahwa founder sudah memiliki exit strategy yang cepat. Begitu produk jadi, langsung cari pembeli dan jual. Harus diakui, berdasarkan pembicaraan saya dengan beberapa startup lokal di Jakarta, Bandung dan Jogjakarta, hal terebut memang sering saya temui.

Building a great company is not a sprint, it’s a marathon.

Investor merasa seolah-olah hanya membeli ide saja, tanpa eksekusi berarti. Hal ini yang membuat investor banyak yang kemudian mengurungkan niat untuk berinvestasi lebih lanjut. Exit strategy memang penting dan setiap startup harus punya, namun jika exit strategy anda terlalu cepat dan pendek tentu sangatlah disayangkan.

Masalah kedua adalah dari jumlah investasi itu sendiri. Beberapa VC company luar memiliki policy internal untuk berinvestasi capital minimal 1 juta dollar. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa ada startup lokal yang mampu dan layak menerima uang investasi 1 juta dollar? Ingat, 1 juta dollar ini harus dikembalikan berlipat ganda (atau lebih) dalam jangka waktu tertentu. It’s a huge amount of money for a local startup. Too huge.

Kendala-kendala ini memang menjadi halangan tersendiri bagi para investor untuk berinvestasi di Indonesia. Saya pun bertanya, apakah ini masalah business plan dan business model? Bukan, ini masalah ide yang disruptive, world changing dan kemampuan dari para founder untuk mengeksekusi plan tersebut. Sebuah plan bisa dirancang dengan amat rapi dan hampir tanpa cela, namun semua kembali ke tangan para founder dan shareholder yang mengeksekusi plan tersebut. Hal tersebut termasuk kemampuan teknis, manajerial, leadership dan recruitment yang flawless.

Ingin sekali dengan pendapat dari teman-teman startup maupun yang berminat investasi di web startup lokal, saya tunggu di kolom komentar.

image credit : http://boredofdictators.wordpress.com/

Rama Mamuaya

Founder, CEO, Writer, Admin, Designer, Coder, Webmaster, Sales, Business Development and Head Janitor of DailySocial.net.

Contact me : [email protected]

16 Comments

  1. Sungguh menarik artikel ini. Ya betul seperti kata penulis, cukup susah untuk web startup lokal memberikan komitmen terhadap investor asing yang tentunya walaupun memberikan modal besar, tapi ingin hasil yang besar juga. Salah satu caranya menurut saya adalah, buat produk yang benar-benar baru dan menargetkan fungsi pasar yang luas, baik Indonesia maupun luar.

    Sekarang era web 3.0 (semantic web) sudah mulai menapaki jalannya. Dan diperkirakan bisnis di web 3.0 akan berkembang dalam tahun 2010-2020 nanti. Jadi, mulailah startup lokal untuk R&D dibidang semantic web ini. Salah satu yang menyerupai semantic web ini adalah http://gresnews.com/. Tetapi dia lebih menggunakan text mining. Kalau R&D Indonesia dibidang semantic web ini sendiri saya kurang tahu sudah sampai tahap mana. Kalau di Malaysia, melalui mimos sudah mulai mengembangkan platform untuk semantic web. Dan beberapa perusahaan sudah mulai bekerjasama untuk menghasilkan produk.

  2. Mohon dijelaskan konsep dasar “investasi” untuk konteks startup lokal. Bagaimana prosedurnya, apa syaratnya, apa hak dan kewajiban masing2 pihak, dsb.

    Dalam artikel disebutkan: “Ingat, 1 juta dollar ini harus dikembalikan berlipat ganda (atau lebih) dalam jangka waktu tertentu.” Jadi, kalau uang tersebut ujung2nya harus dikembalikan kepada investor, apa bedanya antara investor dengan bank (yang memberikan pinjaman dengan bunga)? Saya lihat dua2nya menuntut uang kembali. Bahkan investor lebih parah, menuntut uang kembali berlipat ganda (bunga pinjaman = 100% lebih). Daripada cari investor, lebih baik cari pinjaman dari bank (bunganya lebih kecil). Bukan begitu?

  3. Ada dua macam VC company, yang pertama memberikan uang dengan imbalan share kepemilikan saham di perusahaan tersebut. Yang kedua memberikan uang dengan harapan pengembalian berlipat dalam jangka waktu tertentu. Untuk yang kedua ini memang mirip dengan bank, namun VC biasanya memberika resource berupa SDM di Board of Directors. Jadi mereka tetap terlibat langsung membantu startup melalui pemikiran, ide dan yang paling penting : koneksi.

    Semoga bisa menjawab.

  4. Benar, ide yang benar-benar bagus itu memang tidak sering muncul. Tapi ketika muncul-pun harus dibarengi dengan eksekusi yang mantap. Soal pasar sih agak relatif ya, bisa jadi ikan besar di kolam kecil, atau ikan kecil di kolam besar. Tergantung mana yang cocok saja.

    Soal semantic web, saya pikir tractionnya agak kurang ya belakangan ini. Tidak banyak yang tertarik masuk ke lahan semantic web, namun justru ada segelintir startup yang menggeluti semantic web dan untungnya mereka membuka API.. jadi startup lain tinggal pakai API saja tanpa perlu develop dari awal.

    Kalau dari beberapa sumber yang saya baca, trend ke depan adalah location based dan real-time. Tapi ya paling bertahan sampai 1-2 tahun saja, setelah itu? We'll have to figure it out.

  5. Well, for world changing thing. Saya cuma mau take notes. Haruskah web? Mengingat saya sedang dalam progress membuat sebuah device. I would like to say, this device will be revolutionare.

    Point-point yang di bawah mengenai $1M make sense. Saya sudah berkali-kali ditolak investor. Dan memang saya suka investor yang menempatkan SDM di perusahaan.

    But once again, do you have any tips to approach those $1M investor? Selain yang sudah disebutkan di atas?
    Thanks, this one is really great article.

  6. Very interesting and informative, Rama. Good point mengenai kredibilitas dari founder. Soalnya di indonesia industri internet belum berkembang sih. Mengenai investor, sebenarnya mereka itu ada beberapa kelas juga. VC memang cari investment besar dan biasanya cari startup yang sudah mulai dapat traction (misalnya sudah punya beberapa ratus ribu users). Ada juga angel investor yang bisa ngasih funding di kelas beberapa puluh ribu sampai beberapa ratus ribu USD. Angel investor biasanya ngasih seed funding buat startups yang benar-benar baru. Filosofi mereka, early startups ini lebih “murah” sahamnya — tapi tentunya lebih high-risk.

    Jadi, @AD, investor itu ngasih funding untuk mendapat kepemilikan perusahaan (saham). Sebagai startup, biasanya arrangement ini lebih baik daripada pinjaman bank. Kalau pinjaman bank harus bayar bunga, sementara kebanyakan startup nggak/belum punya revenue.

    Satu lagi yang saya mau comment. Return on Investment disinggung di dalam artikel. Biasanya VC/angel investor ini punya portfolio startup yang lumayan banyak. Mungkin dalam setahun mereka invest di 20+ startup. Kenapa? Karena di antara 20 tersebut mungkin 15 gagal/bangkrut, 3 bisa survive dengan untung kecil. Tapi yang dicari adalah 2 startup yang sukses luar biasa dan bisa menutupi rugi investasi di 15 startup yang bangkrut.

  7. Kalo saya boleh sumbang pendapat… Sebenarnya VC nggak cuma invest di web aja. Ada beberapa sektor yang diminati sekarang2 ini, antara lain green tech, renewable energy. Tapi kita juga harus bisa mentarget siapa investor yang tertarik/cocok dengan bisnis kita. Saya pernah nulis mengenai topik ini di sini: http://andresiregar.com/post/427796751/thoughts

    Tapi dari beberapa investor yang saya ketemui, mereka belum lirik Indonesia. Apalagi kalau ngomongin device yang perlu di-manufacture, biasanya mereka akan lihat ke China/India dulu. Kenapa? Karena di sana sudah ada critical mass startup. Investor US/Europe yang buka kantor di China/India sudah bisa connect ke banyak sekali target investasi.

    Jadi, mengenai investor, Indonesia memang masih ketinggalan. Kalau roda investasinya sudah mulai berputar, kita akan mulai lihat ada event2 seperti Echelon 2010 di Indonesia, dimana investor ditemukan dengan startups. Sebelum itu ada, saya pikir memang startup Indonesia sebaiknya buka pintu untuk network ke luar negeri juga.

  8. Pendapat dari bung Andre ada benarnya. Biasanya untuk concepting okelah bisa dihandle, tapi untuk mass manufacture pasti mereka lebih pilih China karena apa2 murah disana. Untuk soal mendekati investor sih ya paling coba kenal2 aja karena kebanyakan investor lebih prefer di sebuah startup berdasarkan referensi dari orang yang sudah mereka kenal dan terpercaya. Jadi nggak asal random startup yang ujug2 minta duit juga šŸ™‚

  9. Pak, one of the problems is that many VCs today are really bankers with very low tolerance for risk. Many want to own 50% plus of your startup at Round-A, which means that by the time you get to Round-B or C, no one other than the founders get any money. Ordinary engineers who work 60-80 hours per week get nothing after slaving for years. As Guy Kawasaki says, many VCs fantasize of spending $1M and owning a third of Google šŸ™‚

    IMHO, saya rasa untuk RI yg dibutuhkan adalah satu atau dua startup lokal yang sukses, sehingga dapat di jadikan model untuk startup lainnya. Masalah utama bukan hanya duit VC atau ide (lots of ideas), tetapi sumber daya manusia (SDM) yg sanggup mengeksekusi perkembangan produk.

  10. Well, pertama-tama, memang yang namanya investing kan nyadong duit, tapi apa yang bisa kita tawarkan buat mereka. Betul tidak?

    Untuk pembuatan device, pada dasarnya bukan saya ingin buat device kita 100% di sini, mati aja bikin pabrik, walau tidak menutup kemungkinan untuk ini. Tetapi desain dan visi dari suatu produk kita buat di Indo. Mass product, dan sourcing komponen memang biasanya saya ambil dari cina, kecuali molding, saya ambil dari bekasi. Be real aja.

    Untuk networking ke luar, memang sudah terjalin. Kalau tidak, tidak mungkin saya bisa sourcing. Yang saya omongkan di sini adalah branding, desain, dan visi produk adalah produk Indo, mass manufacture memang lebih feasible di HK atau Taiwan.

  11. Terus terang aja untuk SDM di Indo ini memang tidak poor tapi memang kedisiplinan yang sangat kurang.
    Untuk Round-A, B, C. Ada baiknya jika ada perbedaan presentase. Contoh

    RoundA – 70-30 until ROI
    RoundB – 50-50 ROI
    RoundC – 80-20 10xROI

    so founder akan mendapatkan 80% yang bisa diberikan ke karyawan.

  12. Nice article…
    Susahnya tech startup di Indonesia adalah sulitnya mendapat dukungan dari investor lokal… dan di satu sisi, seperti yg sudah ditulis Rama dalam artikel ini, sulit juga mendapat permodalan dari VC asing (dengan faktor2 yang sudah disebutkan tadi).
    Investor lokal di sini mungkin uangnya tidak kalah banyak, hanya saja mereka lebih senang invest di sektor2 yg “konvensional”, seperti Sawit, batubara, etc, meskipun dari segi funding mungkin lebih besar kebutuhannya.
    Bahkan beberapa VC lokal yg saya hubungi, mereka lebih tertarik membiayai bisnis UMKM yg sangat konvensional, dengan sistem pinjaman bagi hasil dan meminta collateral (jaminan).
    Lalu, apa bedanya dengan Bank, atau mungkin jg Bank Syariah???

    Tampaknya memang di masa2 awalnya, start-up lokal mesti berjibaku dengan cara mencari modal dari teman2, kerabat, dan menjalankan bisnis dengan efisiensi, revenue model yg kuat… sehingga pada saatnya, akan ada funding yang besar dan siap membawa kepada level ekspansi, dan bahkan IPO.

    Dan, apabila sudah sukses sebagai technopreneur, jangan lupa untuk membuat VC atau Angel Investment company, supaya para entrepreneur lokal kita selanjutnya bisa lebih mudah dalam mendapatkan funding.

  13. Dari hasil research saya di Europe ttg VC, memang business model VC di Indonesia tdk ada berjalan sebagaimana mestinya (spt di europe/ Sillicon Valley). Exit strategy utk vc biasanya adalah dgn IPO dan/ atau M&A, sedangkan di Indonesia market dan akses utk IPO atau M&A sangat tdk mungkin utk Technology sector (sangat kecil dan tdk menarik). Investor di Indonesia maunya cuma short term investment dan mempunyai peran kontrol yg besar di perusahaan yg dia invest dan berharap return of investment dalam waktu sekejap. Keadaan yg sangat sulit memang..

    Jadi utk para start up di Indonesia harus berusaha menggunakan funding sendiri (atau sodara, family). Yes, you will be working extreamly very hard. Jika sudah punya solid product dan strong revenue stream, maka investor tdk akan ragu utk berpartisipasi.

  14. Saya masih awam dengan masalah investor2 dan startup. Untuk “apa ada startup lokal yang mampu dan layak menerima uang investasi 1 juta dollar”, saya ingin tau, klo emang itu kegedean dan biaya startup ga nyampe segitu, kenapa harus cari investor?. Klo pake modal sendiri, dikit2 terus ditambah dan diperbaiki produknya apa ga bisa?

  15. starup lokal, pengen cepat kaya, dapat investor trus, beli pulau mewah. kabuur.. investor suruh selesaikan masalahnya sendiri kwkwkwk…., mendandak kaya .com ceritanya…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Previous Story

Twiterus Hidup Kembali. Bersama Indo.com.

Next Story

Cara Baru Membuat Event di Facebook

Latest from Blog

Don't Miss

Niko Partners: Pertumbuhan Industri Game Indonesia di 2023 Melambat

Game menjadi salah satu industri yang justru tumbuh selama pandemi
Bekerja di OPPO

Seperti Ini Pengalaman Bekerja Sebagai Trainer di OPPO Indonesia

Deni Suwasta sudah bekerja selama delapan tahun di OPPO Indonesia,