Game merupakan salah satu industri yang justru tumbuh selama pandemi. Alasannya, banyak orang yang menjadikan game sebagai alat pelarian dari realita. Selain itu, game juga menjadi tempat bagi orang-orang untuk berkumpul bersama teman dan keluarga mereka tanpa perlu keluar rumah.
Pada akhir 2020, My.Games mengadakan survei untuk mengetahui tingkat kesadaran gamer akan kesehatan mental. Untuk itu, mereka bekerja sama dengan International Game Developers Association (IGDA), Fair Play Alliance, dan organisasi nirlaba Take This, yang punya misi untuk membuat komunitas gaming menjadi lebih ramah pada para gamer dan developer yang mengalami masalah mental. Survei My.Games ini diikuti oleh lebih dari 21 ribu gamer yang berumur setidaknya 14 tahun di kawasan Amerika Serikat, Eropa, dan Eropa Timur.
Chief Marketing Officer My.Games, Elena Grigoryan mengatakan, mereka mengadakan survei ini demi mengetahui tren kesehatan mental di kalangan para gamer. Tujuan akhir mereka adalah untuk membuat ekosistem gaming yang lebih sehat.
Kebanyakan Gamer Sadar Pentingnya Kesehatan Mental
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh My.Games, diketahui bahwa mayoritas gamer di AS, Inggris, Rusia, Prancis, Jerman, dan Spanyol sudah menyadari betapa pentingnya kesehatan mental. Sayangnya, tidak semua gamer paham akan pengertian dari kesehatan mental. Misalnya, di Jerman, jumlah gamer yang mengerti konsep kesehatan mental hanya mencapai 28%, sementara di Prancis, angka ini naik sedikit menjadi 29%. Kabar baiknya, jumlah gamer yang paham akan pengertian kesehatan mental jauh lebih banyak di Rusia (40%), Spanyol (53%), Amerika Serikat (76%), dan Inggris (79%).
Dari survei My.Games, juga diketahui bahwa selama lockdown, sebanyak 93% responden bermain multiplayer game. Dan sekitar 84% dari mereka mengaku bersedia untuk mengobrol dengan pemain lain. Kebanyakan gamers berkata, mereka memang sudah terbuka untuk berkomunikasi dengan gamer lain bahkan sebelum lockdown diberlakukan. Namun, sekitar 25% responden mengaku, mereka menjadi lebih aktif berinteraksi karena lockdown.
“Secara global, kami menemukan bahwa multiplayer game membantu para gamer melalui masa-masa isolasi,” kaga Executive Director, IGDA, Renee Gittins, seperti dikutip dari Pocket Gamer. “Di masa-masa sulit seperti sekarang, game menjadi alat penting untuk tetap terhubung dengan satu sama lain.”
Sementara itu, sekitar 38% responden menjadikan game sebagai alat untuk berkomunikasi dengan teman-teman mereka. Di AS, sebanyak 64% gamer menyebutkan, berinteraksi dengan gamer lain membantu mereka mengatasi rasa kesepian. Hanya 9% responden yang mengaku, menjalin komunikasi online membuat keadaan mental mereka memburuk, lapor VentureBeat. Hasil survei My.Games sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Entertainment Software Association (ESA). Pada Juli 2020, ESA mengeluarkan laporan yang menyebutkan bahwa bermain game membantu masyarakat AS untuk mengatasi rasa kesepian salama pandemi.
Game Tidak Selalu Menguntungkan
Bermain game memang bisa membantu seseorang untuk mengatasi rasa kesepian di selama lockdown. Namun, hal itu bukan berarti para gamer tidak mengalami masalah kesehatan sama sekali. Data dari survei My.Games menunjukkan, sebanyak 33% gamer di AS pernah mengalami gangguan kecemasan atau gangguan terkait stres lainnya selama lockdown. Angka ini sedikit turun di Inggris, menjadi 32%. Di Prancis dan Spanyol, jumlah gamer yang mengalami gangguan kecemasan hanya mencapai 15%, yang merupakan angka paling rendah.
Di Inggris dan AS, jumlah gamer yang mengalami gangguan kecemasan memang lebih tinggi dari negara-negara lain. Untungnya, gamer di kedua negara itu juga cukup aktif untuk mencari bantuan dari para ahli kesehatan mental. Sekitar 42% gamer di AS dan 38% gamer di Inggris pernah pergi ke ahli kesehatan mental selama pandemi.
Sekitar 63% gamer di AS menyebutkan, mereka akan meminta bantuan para ahli kesehatan mental jika mereka merasa memerlukannya. Hanya saja, di AS, para gamer masih menemui berbagai kendala untuk mendapatkan akses ke layanan ahli kesehatan mental. Salah satunya adalah biaya yang mahal.
Sementara itu, gamers di Inggris mengalami masalah yang berbeda. Meskipun jumlah gamer yang mengalami gangguan kecemasan di Inggris juga cukup banyak, kebanyakan dari mereka enggan untuk mencari bantuan dari psikolog atau psikiater. Sebanyak 74% gamers Inggris mengganggap, mereka tidak memerlukan bantuan psikolog atau psikiater untuk mengatasi masalah mental mereka dan menganggap pergi ke ahli kesehatan mental hanya buang-buang uang.
Selain itu, bermain game online juga bisa menimbulkan masalah lain, seperti cyberbullying atau online harassment. Ketika sedang bermain game online, sebanyak 57% responden mengatakan bahwa mereka mendapatkan hinaan, 52% mengaku menjadi korban trolls dan 52% menemukan orang-orang berperilaku agresif. Sekitar 10% dari responden bahkan mengklaim, bermain game online memberikan dampak buruk pada kesehatan mental mereka.
“Selama pandemi, metode utama yang kita gunakan untuk terhubung dengan teman dan keluarga adalah komunikasi online,” kata Grigoryan pada GameDaily. “Jumlah orang yang menjadikan game sebagai tempat untuk bersosialisasi bertambah pesat selama pandemi. Game adalah media hiburan yang kompleks, membuat kita merasakan emosi yang lebih kuat daripada ketika kita mengonsumsi media hiburan lain. Sayangnya, emosi yang dirasakan oleh para gamer tidak selalu positif. Dan anonimitas di internet memungkinkan seseorang untuk berlaku semena-mena tanpa harus khawatir akan konsekuensi dari tindakan mereka.”
Menurut Gittins, developer game harus sadar bahwa para gamer yang toxic masih jadi masalah besar di industri game. “Sistem moderasi, menciptakan budaya yang positif, dan memblokir orang-orang yang mengganggu pemain lain merupakan beberapa cara untuk menciptakan kondisi yang nyaman bagi semua gamers. Di tengah meningkatnya popularitas game online di tengah pandemi, peran developer untuk mengatur komunitas juga menjadi semakin penting.”
Sumber header: Deposit Photos