Apakah Benar Masalah Game Bajakan Tak Selalu Berdampak Negatif?

Studi di Uni Eropa menunjukkan, pembajakan tidak memberikan dampak ke penjualan game. Benarkah begitu?

Katanya game bajakan punya dampak positif ke industri game. Apakah itu? Apakah benar demikian? Simak analisanya di sini.

Mencuri adalah tindakan kriminal. Semua orang tahu itu dan kebanyakan orang tidak pernah mencuri. Meskipun begitu, banyak orang yang melakukan pembajakan konten digital dan merasa bahwa hal itu bukan tindakan yang salah. Seolah hal itu tidak cukup buruk, pembajakan menjadi masalah yang terus ada selama berpuluh-puluh tahun. Bahkan setelah layanan streaming film dan musik menjamur, pembajakan film dan musik juga tidak menghilang.

Dalam artikel ini, saya akan membahas tentang pembajakan dalam game, mulai dari definisi, metode yang biasa digunakan, alasan gamers melakukan pembajakan, sampai dampak pembajakan ke industri game.

Definisi dan Metode Pembajakan Game

Sederhananya, piracy atau pembajakan konten digital adalah kegiatan untuk menduplikasi konten yang dilindungi oleh hak cipta. Pembajakan bisa dilakukan pada berbagai jenis konten digital, mulai dari buku elektronik, film, musik, software, sampai game.

Pembajakan sering dibandingkan dengan pencurian. Hanya saja, dalam kasus pembajakan, "barang" yang dicuri merupakan produk digital, seperti musik, film, atau game. Hal lain yang membedakan pembajakan dengan pencurian adalah pembajakan tidak menghilangkan atau menghancurkan konten orisinal. Sebagai contoh, jika saya membuat gambar dan teman saya membuat duplikasi dari gambar itu tanpa izin saya, hal ini tidak akan serta-merta membuat saya kehilangan gambar yang saya buat. Namun, pembajakan tetap merugikan kreator konten, karena menghilangkan potensi pemasukan, seperti yang disebutkan oleh Business Insider.

Pembajakan konten digital terus menjadi masalah selama berpuluh-puluh tahun. Seiring dengan berkembangnya teknologi, metode pembajakan pun berubah. Salah satu metode pembajakan yang pertama muncul adalah pembajakan menggunakan peer-to-peer network. Jaringan P2P memungkinkan pengguna untuk mendistribusikan dan membagikan media digital dari satu komputer ke komputer lain. Jadi, media digital yang hendak didistribusikan tidak tersimpan dalam server, tapi di komputer pengguna lain.

Jaringan Client-Server (kiri) versus jaringan Peer-to-Peer. | Sumber: Research Gate

Di 1999, Napster hadir sebagai layanan music sharing menggunakan jaringan P2P. Di Napster, pengguna bisa mengunggah dan mengunduh musik dalam bentuk MP3. Jadi, para pengguna Napster bisa mengunduh lagu secara gratis. Namun, sistem Napster melanggar hak cipta. Alhasil, perusahaan itu dituntut dan akhirnya jatuh bankrut. Meskipun begitu, sampai sekarang, metode jaringan P2P masih digunakan untuk mendistribusikan konten bajakan.

Selain pembajakan via jaringan P2P, metode pembajakan lain yang telah ada sejak lama adalah pembajakan fisik. Pembajak yang menggunakan metode ini akan mengunduh konten secara ilegal dari internet lalu menyimpannya ke CD, USB, atau storage lainnya. Pembajakan secara fisik sangat marak pada tahun 2000-an. Ketika itu, ada banyak toko yang secara terang-terangan menjajakan CD bajakan, bahkan di tempat seperti mall sekali pun. Sekarang, tampaknya, jumlah toko yang menjual atau menyewakan CD bajakan telah mulai berkurang. Alasannya, masyarakat semakin sadar akan dampak buruk pembajakan dan juga karena sekarang, siapapun bisa melakukan pembajakan tanpa harus bergantung pada pihak ketiga.

Metode lain yang sering digunakan oleh pembajak untuk mendistribusikan konten bajakan adalah melalui situs streaming. Sebenarnya, cara kerja situs streaming konten ilegal tidak jauh berbeda dari layanan streaming legal, seperti Spotify atau Netflix. Hanya saja, situs streaming bajakan biasanya menampilkan banyak iklan yang mengganggu. Seolah hal itu tidak cukup buruk, terkadang, situs streaming ilegal juga akan memasang malware atau ransomware di komputer audiens ketika mereka mengakses situs tersebut.

Layanan cloud juga sering digunakan oleh pembajak untuk menyimpan dan membagikan konten ilegal. Jadi, pembajak akan menyimpan konten bajakan dalam layanan cloud populer, seperti Dropbox, OneDrive, atau Google Drive.  Pembajak cukup membagikan tautan ke layanan cloud tersebut untuk mendistribusikan konten bajakan. Kabar baiknya, perusahaan penyedia layanan cloud storage biasanya akan mencari dan menghapus file bajakan yang mereka temukan. Sayangnya, para pembajak bisa dengan mudah membuat akun baru untuk menyimpan konten bajakan yang dia dapatkan.

Alasan Gamers Menjadi Pembajak

Sebelum saya membahas tentang alasan mengapa sebagian orang memilih untuk membajak konten digital, khususnya game, saya hendak menyatakan bahwa saya tidak mendukung pembajakan, apapun alasannya.

Gamers punya beragam alasan mengapa mereka memutuskan untuk membajak sebuah game daripada membeli versi orisinal. Tentu saja, akan selalu ada sekelompok orang yang membajak game atau konten digital lainnya karena mereka memang tidak mau membayar untuk mendapatkan akses ke konten tersebut. Selain itu, juga ada orang-orang yang percaya, semua konten digital seharusnya bisa diakses dengan gratis.

Giveaway tetap punya daya tarik untuk konsumen. | Sumber: Don Agnello/Unsplash

Memang, secara psikologis, manusia senang dengan barang gratis. Buktinya, media sosial bisa sukses. Padahal, selalu ada "harga" yang harus dibayar ketika Anda mendapatkan sebuah produk. Dalam kasus media sosial, pengguna memberikan bayaran dalam bentuk data pribadi, seperti umur, gender, dan kesukaan. Meskipun begitu, miliaran orang tetap mau menggunakan media sosial.

Bukti lain bahwa orang-orang menyukai produk gratis adalah banyaknya merek yang menggunakan model promosi diskon atau giveaway sebagai strategi marketing mereka. Banyak orang akan rela mengantre selama berjam-jam demi mendapatkan donat atau sepotong pizza gratis. Di dunia digital, banyak orang juga rela mendaftarkan email mereka dalam email list sebuah situs demi mendapatkan akses gratis ke konten digital.

Alasan lain mengapa seorang gamer membajak game adalah karena dia tidak punya uang untuk membeli game orisinal. Mengingat harga game AAA bisa mencapai ratusan ribu rupiah, hal itu tidak aneh. Sebagian gamers juga percaya, orang miskin pun berhak untuk mendapatkan akses ke konten digital, termasuk game.

Namun, secara pribadi, saya menganggap alasan ini adalah alasan yang sangat egois. Karena, konten digital atau karya seni lainnya bukanlah kebutuhan pokok. Seseorang tidak akan mati hanya karena dia tidak bisa bermain game. Jadi, jika seorang gamer memang tidak memiliki uang untuk membeli game, dia seharusnya tidak membajak game tersebut demi bisa memainkannya. Memangnya, jika saya tidak punya uang yang cukup untuk membeli Ferrari, saya mendadak berhak untuk mencuri mobil mewah itu dari orang lain atau dari para dealer? Kan tidak.

Selain itu, sekarang, semakin banyak game yang bisa dimainkan dengan gratis. Jadi, seharusnya, tidak memiliki uang tidak lagi bisa menjadi alasan mengapa gamers membajak sebuah game.

Ada banyak game gratis yang bisa dimainkan. | Sumber: GameSpot

Bokek bukan satu-satunya alasan gamers membajak game. Terkadang, gamers merasa harus membajak game karena game yang ingin mereka mainkan tidak diluncurkan di tempat tinggalnya, menurut laporan Kotaku. Memang, ada beberapa game yang hanya diluncurkan untuk negara atau kawasan tertentu. Misalnya, beberapa game Fire Emblem hanya dirilis untuk Jepang. Jadi, gamers di luar Jepang yang ingin memainkan game itu tidak punya cara lain selain membajak. Selain game yang diluncurkan di kawasan tertentu, gamers juga kadang membajak game-game lawas via emulator. Alasannya adalah karena game itu tidak lagi dijual di pasar. Biasanya, gamers yang memainkan game tua di emulator juga percaya, apa yang mereka lakukan tidak merugikan developer atau publisher game. Karena, game itu memang sudah tidak lagi dijual.

Gamers yang punya cukup uang untuk membeli game orisinal terkadang juga masih membajak. Kali ini, alasannya adalah karena mereka tidak punya kartu kredit. Memang, kartu kredit adalah metode pembayaran yang paling lumrah untuk melakukan pembelian di toko game digital, seperti Steam. Padahal, di Indonesia, jumlah pengguna kartu kredit sangat sedikit. Per April 2021, jumlah kartu kredit yang beredar di Indonesia hanya mencapai 16,7 juta unit, turun dari 17,5 juta unit pada Mei 2020.

Untungnya, sekarang, platform seperti Steam juga menawarkan opsi pembayaran lain. Misalnya, di Steam, Anda bisa menggunakan Dana. Sementara Play Store atau App Store bahkan menawarkan opsi pembayaran via e-wallet, seperti Dana, GoPay, OVO, atau ShopeePay. Tak hanya itu, di Indomaret, Anda juga bisa membeli gift card untuk Steam atau Play Store. Semua hal ini memudahkan gamers untuk membeli game orisinal.

Terakhir, alasan mengapa gamers membajak game adalah karena mereka tidak tahu bahwa game yang mereka gunakan adalah game bajakan atau mereka menganggap pembajakan bukan hal yang salah. Biasanya, pembajak di kategori ini cenderung masih muda. Dulu, saya juga masuk dalam kategori ini. Ketika saya membeli CD game seharga Rp10 ribu, saya tidak pernah peduli apakah game itu memang game orisinal atau bajakan. Apalagi, di era 2000-an, pembajakan sangat marak. Dan hal ini membuat saya jatuh pada logical fallacy bandwagon: karena semua orang membajak game, saya merasa, mebajak game adalah hal yang biasa dan tidak salah.

Untungnya, sama seperti preman dalam sinetron, gamers yang membajak game juga bisa tobat. Salah satu hal yang paling lumrah terjadi adalah gamers membajak game ketika masih muda dan belum memiliki uang. Namun, ketika mereka sudah beranjak dewasa dan memiliki penghasilan sendiri, mereka mulai membeli game orisinal.

Hal lain yang bisa membuat pembajak game tobat adalah karena mereka tahu betapa sulitnya proses pembuatan game. Tak hanya itu, biaya untuk membuat game -- apalagi game AAA -- juga tidak kecil. Pada 2014, Kotaku membuat artikel tentang biaya yang diperlukan untuk membuat game AAA. Sony menyebutkan, dana untuk membuat game PlayStation 4 berkualitas berkisar antara US$20-50 juta. Sementara pada 2011, Ubisoft memperkirakan, biaya untuk membuat game Xbox 360 atau PlayStation 3 adalah US$60 juta. Dan pada 2012, Take-Two mengaku, mereka bisa menghabiskan US$60 juta untuk mengembangkan game-game terbaik mereka.

Namun, alasan utama mengapa gamers yang dulunya membajak beralih ke game orisinal adalah karena sekarang, proses membeli game orisinal jauh lebih mudah daripada mengunduh game bajakan. Di tahun 2000-an, banyak toko game yang menjual game bajakan. Jika Anda ingin mendapatkan game bajakan, Anda hanya perlu mencari toko game terdekat. Sebaliknya, membeli game orisinal justru lebih sulit.

Steam sering mengadakan diskon besar-besaran. | Sumber: PC Gamer

Sekarang, Anda bisa membeli game orisinal melalui toko digital, seperti Steam dan Epic Games untuk PC. Perusahaan pembuat konsol juga menyediakan toko digital untuk konsol mereka, seperti PlayStation Store, Microsoft Store, atau Nintendo eShop. Tak hanya itu, Steam juga sering mengadakan Steam Sale untuk menggoda gamers membeli game yang ada dalam daftar wishlist mereka. Epic Games bahkan sering memberikan game secara gratis. Alhasil, mendapatkan game orisinal (terkadang dengan harga miring) menjadi sangat mudah. Sementara itu, jika Anda ingin mengunduh game bajakan, Anda harus siap dengan kemungkinan akan malware dalam game. Dan terkadang, Anda harus siap dengan proses trial-and-error ketika memasang game bajakan.

Dampak Game Bajakan ke Industri

Pembajakan memang tidak menghilangkan konten orisinal. Namun, kreator konten tetap mengalami kerugian, yaitu kehilangan potensial pemasukan. Dan argumen yang menyebutkan bahwa semua konten digital harus bisa diakses gratis tidak masuk akal karena pembuatan konten memakan biaya dan sumber daya. Tidak peduli apa konten yang dibuat, setidaknya, seseorang harus menghabiskan waktu untuk membuat konten tersebut. Dan waktu adalah sumber daya yang sangat terbatas.

Pembajakan tidak hanya mempengaruhi kreator konten, tapi juga industri dan konsumen. Seorang penulis mau membuat tulisan -- dalam bentuk artikel berita, cerita pendek, atau bahkan novel -- karena dia tahu dia bisa mendapatkan insentif, biasanya berupa uang. Begitu juga dengan musisi, kreator video, dan developer game. Jika insentif itu dihilangkan, kreator akan kehilangan motivasi untuk berkarya. Memangnya, siapa yang mau bekerja tanpa dibayar? Dan jika hal ini terus berlanjut, maka industri kreatif akan kehilangan kreator.

Apa dampak nyata dari pembajakan konten digital?

Menurut MUSO, perusahaan software yang fokus pada data tentang pembajakan, pada 2018, situs pembajakan mendapatkan lebih dari 190 miliar visits dalam setahun. Amerika Serikat menjadi negara yang memberikan kontribusi visits paling besar, diikuti oleh Rusia dan India. Indonesia juga masuk dalam daftar 10 negara dengan kontribusi visits paling besar. Untuk lebih tepatnya, Indonesia ada di peringkat 7, dengan kontribusi visit ke situs pembajakan sebanyak 6,075 miliar visits.

9 negara yang memberikan kontribusi visits terbesar ke situs streaming bajakan. | Sumber: DataProt

Sementara menurut data dari Forbes dan Statista, video bajakan mendapatkan lebih dari 230 views setiap tahunnya. Lagi, Amerika Serikat menjadi negara dengan kontribusi paling besar pada views video bajakan. Dari semua konten video yang dibajak, seri TV mendapatkan views sebanyak 12,8 miliar views sementara film mendapatkan 2,2 miliar views.

Tentu saja, pembajakan konten digital juga memberikan dampak ekonomi. Data dari DataProt menunjukkan, Amerika Serikat mengalami kerugian sekitar US$29,2 miliar sampai US$71 miliar setiap tahun karena pembajakan konten digital. Tak hanya itu, pembajakan konten digital juga menyebabkan puluhan ribu orang kehilangan pekerjaan. Di AS, setiap tahunnya, 70 ribu orang kehilangan pekerjaan karena pembajakan musik. Sementara itu, industri film mengalami kerugian sekitar US$40 miliar sampai US$97,1 miliar per tahun karena pembajakan.

Di Indonesia, industri film mengalami kerugian sebesar Rp1,5 triliun karena pembajakan. Angka ini didasarkan pada studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia pada 2017. Satu hal yang harus diingat, lingkup studi itu hanya mencakup empat kota/kabupaten, yaitu Jakarta, Deli Serdang, Medan, dan Bogor. Peneliti senior, Chaikal Nuryakin mengatakan, jika lingkup studi diperluas menjadi 30 kota, kerugian akibat pembajakan film akan naik hingga Rp5 triliun.

Pada 2010, Business Software Alliance memperkirakan, total kerugian dari pembajakan software mencapai US$51 miliar per tahun. Selain itu, setiap tahun, sekitar 500 ribu orang kehilangan pekerjaannya karena pembajakan software.

Menariknya, walau ada banyak pihak yang menyebutkan bahwa pembajakan akan merugikan industri, studi dari European Commission menyebutkan bahwa pembajakan tidak mempengaruhi penjualan dari konten digital, termasuk musik, buku, film, dan game. European Commission membayar EUR360 ribu pada Ecorys dari Belanda untuk mengadakan studi tentang dampak pembajakan pada penjualan konten digital di Uni Eropa pada 2013. Namun, studi itu baru dirilis pada 2017. Dalam studi itu, disebutkan bahwa tidak ada bukti yang mendukung bahwa pelanggaran hak cipta atas konten digital mengurangi penjualan dari konten terebut.

Spider-Man: No Way Home.

Dari semua kategori yang diamati di studi itu -- mencakup, buku, film, game dan musik -- pembajakan hanya mempengaruhi penjualan dari film blockbuster. Setiap 10 kali sebuah film dibajak, penjualan tiket dari film tersebut berkurang 4. Rata-rata, pembajakan film membuat total penjualan turun sebanyak 4,4%. Walau memiliki persentase kecil, kerugian itu tetap cukup besar jika diuangkan. Sebagai contoh, Spider-Man: No Way Home memiliki pemasukan sebesar US$1,8 miliar. Jika pembajakan menurunkan total penjualan sebesar 4,4%, hal itu berarti, total potensi pemasukan yang hilang mencapai US$79,2 juta.

Hal menarik lain yang ditemukan dalam studi itu adalah pembajakan game justru bisa mendorong pembajak untuk memainkan game orisinal. Studi itu memperkirakan, setiap mengunduh 100 game secara ilegal, para gamers akan mengunduh atau membeli 24 game lebih banyak secara legal daripada jika mereka tidak pernah menguduh game ilegal. Satu hal yang harus diingat, margin kesalahan dari data tersebut mencapai 45%, yang berarti, yang membuatnya menjadi kurang valid.

"Kemungkinan, pembajakan bisa memberikan dampak positif pada penjualan game karena industri game bisa mengonversi pembajak menjadi pengguna berbayar," tulis para penulis dari studi tersebut, dikutip dari Ars Technica. Lebih lanjut mereka menjelaskan, ketika pemain membajak game, mereka bisa menjadi suka dengan game itu dan rela untuk membeli versi orisinal demi bisa mengakses level atau bonus ekstra.

Temuan dalam studi oleh European Commission itu senada dengan kesimpulan dalam laporan berjudul How Serious is Piracy in the Videogame Industry. Untuk membuat laporan itu, penulis Nobuya Fukugawa dari Tohoku University, mengadakan survei pada pemilik PlayStation Portable dan Nintendo DS. Dalam laporannya, Fukugawa menyebutkan bahwa 40% dari responden survei tahu cara dan memainkan game bajakan secara gratis. Menariknya, hanya 5% responden yang memang mengunduh dan memainkan game bajakan. Para responden mengatakan, alasan utama mereka enggan untuk membajak adalah karena mereka tidak mau mendapatkan masalah karena membajak.

Selain itu, Fukugawa juga menemukan, tidak ada hubungan negatif antara mengunduh game bajakan dengan membeli game asli. Hal itu berarti, pembajakan tidak punya dampak negatif pada penjualan game. Satu hal yang harus diingat, studi yang dilakukan oleh Fukugawa punya beberapa keterbatasan. Pertama, tidak ada jaminan bahwa responden survei memberikan jawaban jujur, walau Fukugawa telah menjanjikan anonimitas. Kedua, responden survei merupakan pegawai kantoran dan ibu rumah tangga. Biasanya, orang-orang yang masuk dalam dua kategori itu memang cenderung tidak mau mengambil risiko. Jadi, ada kemungkinan, gamers yang memiliki pekerjaan lain lebih mau mengambil risiko dan memainkan game bajakan.

Banyak orang yang memainkan versi bajakan dari Football Manager. | Sumber: PC Gamer

Sementara menurut Adam Coster, CTO dari publisher Butterscotch Shenanigans, potensi pemasukan yang hilang dari pembajakan game tidak besar, hanya berkisar sekitar 1-5% pemasukan. Namun, sama seperti film, walau persentase potensi kehilangan pemasukan kecil, jumlah potensi pemasukan yang hilang tetap cukup besar.

Pada 2014, Sports Interactive, developer dari seri Football Manager, mengatakan bahwa jumlah gamers yang membajak game mereka mencapai 10 kali lipat dari gamers yang membeli Football Manager. Meskipun begitu, potensi pemasukan yang hilang hanyalah 1,7%. Hanya saja, 1,7% dari jumlah game Football Manager bajakan yang beredar adalah 175 ribu game, yang bernilai sekitar US$3,7 juta.

Jadi, walau persentase kerugian dari pembajakan terkesan kecil, jumlah potensi pemasukan yang hilang tetap cukup besar. Tak hanya itu, menurut UK Interactive Entertainment, pada 2011, pembajakan game menyebabkan kerugian sebesar GBP1,45miliar dan 1.000 orang yang kehilangan pekerjaan akibat pembajakan.

Kesimpulan

Banyak konten digital yang bisa diakses secara gratis. Hal ini mungkin membuat kita terlena, berpikir bahwa semua konten digital harus bisa dikonsumsi secara gratis. Padahal, kreator konten tidak akan bisa berkarya jika mereka tidak mendapatkan pemasukan. Dan salah satu cara konsumen untuk mendukung kreator favoritnya adalah dengan membeli karya sang kreator.

Untungnya, sekarang, semakin banyak cara kreator untuk mendapatkan uang dari audiens karya mereka. Misalnya, digital artists yang membuat komik dan mengunggahnya gratis ke media sosial bisa mendapatkan pemasukan melalui Patreon, Ko-fi, Karyakarsa, dan lain sebagainya. Walau hal ini bukanlah justifikasi untuk membajak konten buatan orang lain.

Di industri game, developer bisa menggunakan metode kreatif untuk mencegah gamers membajakgame mereka. Sebagai contoh, HAL Laboratory membuat versi bajakan dari Earthbound menjadi lebih sulit dimainkan. Sementara Remedy Entertainment berusaha untuk membuat para pembajak game Alan Wake malu dengan memasang penutup mata layaknya pembajak di tokoh utama. Ada juga developer yang memilih untuk membuat game yang bisa dimainkan gratis. Tentu saja, game gratis tetap punya model bisnis sendiri, mulai dari iklan, battle pass, sampai gacha.