Agensi rating Fitch memberikan pandangannya tentang segmen telekomunikasi di Indonesia dan India. Dengan berbagai kemiripan di antara kedua pasar ini, tentu tren yang terjadi di kedua negara ini serupa. Fitch menyatakan trennya saat ini adalah konsolidasi, di mana perusahaan telekomunikasi yang lebih lemah dan kecil akan diakusisi oleh yang lebih besar. Idealnya, menurut Fitch, dalam jangka panjang hanya empat operator seluler di Indonesia yang bisa menghasilkan untung.
Fitch beropini berdasarkan neraca keuangan, arus kas dan keuntungan. Konsolidasi bakal meningkatkan tingkat keuntungan operasional dan arus kas, tetapi transaksi seperti ini bisa melemahkan neraca keuntungan pengakuisisi jika didanai oleh sumber hutang.
Fitch menyebutkan bahwa perusahaan kecil di kedua negara ini terus kesulitan untuk meningkatkan pasar dan mencapai pendapatan (EBITDA) yang positif. Strategi mereka yang hanya bergantung pada pasar data yang tumbuh sangat cepat ternyata tidak berhasil, karena mereka tak mampu mencapai skala pertumbuhan dan menghasilkan profit yang signifikan karena persaingan dengan perusahaan telekomunikasi yang lebih besar.
Di Indonesia, proses konsolidasi sudah berjalan, sementara di India kurang jelasnya peraturan yang berkaitan dengan merger dan akuisisi di bidang telekomunikasi menghambat proses ini. Perusahaan telekomunikasi di India masih menunggu pelonggaran peraturan yang dikabarkan akan dilakukan akhir tahun ini.
Tiga operator terbesar di Indonesia faktanya telah menguasai pendapatan sebesar 85% dari total pasar. Hal ini mengakibatkan perebutan sisa kue oleh setidaknya lima operator lainnya menjadi tidak imbang. Proses konsolidasi sudah berlangsung tahun ini ketika XL Axiata mengumumkan akuisisi terhadap Axis yang mayoritas dimiliki oleh Saudi Telecom.
Prediksi kami proses konsolidasi ini tidak akan berhenti hingga mencapai posisi kesetimbangan yang ideal. Dengan empat operator GSM dan tiga operator CDMA yang masih aktif, tidak perlu heran jika nanti beberapa perusahaan bakal “berubah”. Perubahan itu entah tutup karena terus merugi, diakuisisi ataupun akhirnya memilih menjadi MVNO (Mobile Virtual Network Operator) yang “nebeng” jaringan ke operator yang lebih besar.
Konsep MVNO ini, meskipun sudah menjadi kajian oleh regulator, masih belum ada implementasinya di Indonesia. Sebuah riset tahun 2011 yang dilakukan oleh tim peneliti Departemen Elektro FTUI menyatakan bahwa profit kompetitif bisnis MVNO (jika diterapkan) di Indonesia adalah rendah dan dibutuhkan pengurangan daya tawar dan jumlah pelanggan operator yang sudah ada untuk mendorong berkembangnya bisnis MVNO di Indonesia.
[Ilustrasi foto: Shutterstock]