Antara Cinta dan Benci Para Fans Esports

Fans yang kecewa ketika tim favoritnya kalah bisa justru balik mencaci maki tim tersebut

Industri esports tengah berkembang pesat beberapa tahun belakangan. Ke depan, esports juga diperkirakan masih akan tumbuh. Salah satu alasan mengapa esports diduga akan menjadi industri besar -- dengan nilai hampir US$1 miliar -- adalah karena competitive gaming dipercaya akan menjadi bentuk hiburan baru di masa depan. Sama seperti bagian dari dunia hiburan lain, fans juga punya peran penting di dunia esports.

Bagi organisasi esports, sekadar memenangkan turnamen tak lagi cukup. Mereka juga harus mampu memenangkan hati fans dan mempertahankan agar fans tetap loyal dengan mereka. Jadi, jangan heran jika ada organisasi esports yang punya divisi khusus hiburan, seperti EVOS Esports dan FaZe Clan.

 

Apa yang Membuat Seseorang Menjadi Fan Organisasi Esports?

Esports kini memang sering disandingkan dengan olahraga tradisional, seperti sepak bola. Namun, alasan seseorang memilih tim esports favorit biasanya berbeda dengan alasan mereka mendukung tim sepak bola kesayangan mereka. Fans sepak bola biasanya akan memilih tim lokal untuk didukung.

Saat saya tinggal di Jakarta, The Jakmania-lah yang sering saya lihat berarak ke Gelora Bung Karno ketika Persija akan bertanding. Sementara ketika saya masih tinggal di Yogyakarta, saya kerap melihat Slemania. Memang, PSS Sleman bukanlah tim papan atas di Liga Indonesia, tapi hal itu tidak menghentikan warga Sleman dan sekitarnya untuk mendukung tim tersebut.

Ekosistem esports berbeda dengan dunia olahraga tradisional, seperti sepak bola. Di esports, hampir semua tim profesional bermarkas dari Jakarta. Namun, hal ini tidak menghentikan orang-orang di luar Jakarta atau bahkan di luar Pulau Jawa untuk menjadi fans dari RRQ atau EVOS Esports.

Fans RRQ berasal dari berbagai kota. | Sumber: Indosport

Namun, berdasarkan penelitian pada fans sepak bola yang dilakukan oleh John Williams, Associate Professor of Sociology di University of Leicester, diketahui bahwa para fans sepak bola sekarang tidak selalu mendukung tim lokal. Alasannya, keberadaan televisi dan internet memudahkan orang-orang untuk melihat dan mencari tahu tentang tim sepak bola manapun. Williams mengatakan, sekarang, masyarakat punya kecenderungan untuk memilih klub sepak bola yang kuat.

Di esports, ketangguhan tim jelas jadi salah satu faktor yang diperhitungkan sebelum seseorang memutuskan untuk mendukung tim itu. Tim yang sering menang biasanya akan punya fans yang lebih banyak. Selain kekuatan tim, hal lain yang mendorong seseorang untuk menjadi fan dari tim esports adalah identitas atau image yang ditampilkan oleh tim itu.

Alex Aune, fan Cloud9 yang juga menjadi moderator dari subreddit Cloud9, mengatakan bahwa dia menyukai organisasi esports tersebut karena kerendahan sikap mereka. Alasan lainnya adalah karena dia juga menyukai bagaimana Jack Etienne, pemilik Cloud 9, memperlakukan para atlet esports di bawah naungannya.

Tim League of Legends Cloud9 pada 2018. | Sumber: The Esports Observer

Sementara itu, menurut pemilik OpTic Gaming, Hector "H3CZ" Rodriguez, cara paling efektif untuk mendapatkan fans adalah dengan membuat audiens merasa dekat dengan roster dan bahkan staf organisasi esports. Untuk itu, dia mengunggah video setiap hari, sehingga para penonton mengetahui kehidupannya, mulai dari anak dan istrinya hingga binatang peliharaannya. Menurutnya, hal ini akan membuat para penonton merasa familier dengannya dan akhirnya, bersedia untuk mendukung dia dan timnya.

Selain itu, Rodriguez menyebutkan, organisasi esports juga bisa mendapatkan fans dengan merekrut sosok ternama dan membuat konten tentang sosok tersebut, mulai dari wawancara sampai kegiatan live streaming. Setelah sebuah tim sukses membangun fanbase, mereka lalu akan bisa fokus untuk memperkuat roster mereka.

Memang, dalam penelitiannya, Williams menemukan bahwa seseorang punya kecenderungan untuk mendukung tim yang menaungi idolanya. Misalnya, seseorang bisa setia dengan FC Barcelona karena dia menyukai Lionel Messi. Di dunia esports, seseorang bisa saja menjadi fan dari RRQ karena mengagumi Muhammad "Lemon" Ikhsan. Apalagi, di esports, seseorang fan bisa dengan mudah berkomunikasi dengan idolanya melalui media sosial.

Sayangnya, kemudahan berkomunikasi yang ditawarkan oleh media sosial dan internet ini layaknya pedang bermata dua bagi organisasi esports. Di satu sisi, tim esports profesional bisa membangun fanbase dengan lebih mudah. Di sisi lain, para fans juga bisa menggunakan media sosial untuk mencecar tim yang kalah.

 

Karakteristik Fans Esports di Indonesia

Di Indonesia, RRQ merupakan salah satu organisasi esports yang mengutamakan kemenangan. Sesuai dengan namanya, RRQ ingin menjadi "raja" di dunia esports Indonesia. Strategi ini berhasil membuat RRQ mendapatkan banyak fans. Tak hanya itu, CEO RRQ, Andraline Pauline alias AP mengatakan, fans RRQ di Indonesia cukup setia. Namun, ada harga yang harus RRQ bayar. Mereka harus bisa memenuhi ekspektasi para fans mereka.

"Risiko tim besar dengan fanbase yang juga besar ya itu, pressure-nya tinggi," ujar AP melalui pesan singkat. "Jika kita tidak bagus, mereka juga tidak segan-segan untuk kritik. Tapi semua fans pasti ingin tim favoritnya menang."

CEO BOOM Esports, Gary Ongko mengatakan hal yang sama: fans esports di Indonesia cukup setia. "Fans Mobile Legends pasti fans mati RRQ, fans Dota 2, juga pasti fans mati BOOM," ujarnya pada Hybrid.co.id. "Aura di Free Fire, mau menang atau kalah, fansnya juga banyak.

Lebih lanjut, Gary mengungkap, "Ada juga fans yang loyal ke player, seperti olahraga tradisional. Paling gampang kelihatan, ya seperti InYourDream, kan fans-nya banyak. Atau fans Khezcute. Di mana Khezcute bermain, pasti organisasinya didukung. Misalnya, kalau besok Khezcute pindah ke EVOS, ya mereka ikut pindah."

Alfi Syahrin Nelphyana alias Khezcute. | Sumber: Liquipedia

Namun, Gary tidak memungkiri, juga ada fans "karbitan" di esports, yaitu orang-orang yang hanya mendukung sebuah tim ketika tim tersebut sedang di atas angin. "Sama seperti di olahraga tradisional, ketika Anda menang, orang-orang akan mendukung atau pura-pura mendukung tim Anda," kata Gary sambil tertawa.

Meskipun setia, fans esports Indonesia cukup menuntut, aku Gary. Jika sebuah tim kalah, tidak jarang para fans mendadak merasa lebih tahu apa yang harus dilakukan. Namun, Gary merasa, hal itu bukanlah hal yang aneh, mengingat hal serupa juga terjadi di dunia olahraga tradisional. "Ketika tim kalah, pada sok jadi manager. Padahal, ya semua give their best. Dan di kompetisi profesional, semua memang jago. Perbedaan antara menang dan kalah sangat tipis," ujarnya.

Tak berhenti sampai di situ, jika tim unggulannya kalah, para fans juga bisa berbalik menyerang mereka. Gary bercerita, BOOM cukup sering mendapatkan ancaman, terutama ketika sedang kalah.

Gary menjelaskan, para pemain diminta untuk mengacuhkan makian dari para netizen. Selain itu, para pemain BOOM juga akan diingatkan akan "siapa yang penting dan filter outside noises," ujar Gary. "Kalau sukses, haters banyak itu normal. Kalau lo nggak ada haters, lo nggak sukses."

Dia menambahkan, biasanya, BOOM juga akan mengingatkan para pemainnya bahwa mereka bangga dengan pencapaian mereka. "Kita yang manajemen, keluarga lo, teman-teman lo, 100% pasti bangga sama lo. Jadi nggak usah dengarkan para hater." Pada akhirnya, dia mengungkap, para pemain akan diingatkan, "Netizen is just netizen."

Gary mengaku, dia tidak terlalu memedulikan ancaman itu. Memang, sayangnya, ancaman atau makian pada tim yang kalah adalah hal yang lumrah di dunia esports atau di dunia olahraga.

 

Contoh Kasus: T1

T1, organisasi esports asal Korea Selatan, belum lama ini mengalami masalah berupa harassment dari para fans. Pasalnya, mereka gagal masuk ke League of Legends World Championship. Padahal, T1 mereka baru menjuarai League of Legends Champions Korea (LCK) Spring 2020. Tak hanya itu, mereka juga memiliki Lee "Faker" Sang-hyeok, yang dianggap sebagai salah satu pemain League of Legends terbaik sepanjang masa. T1 juga menjadi organisasi esports dengan trofi Worlds terbanyak setelah memenangkan Worlds tiga kali.

Tim League of Legends dari T1. | Sumber: InvenGlobal

Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. T1 kalah dari Afreeca Freecs di LCK Summer Playoff pada awal September 2020. Hal itu berarti, mereka harus memenangkan Regional Qualifiers untuk bisa mendapatkan tiket ke Worlds 2020. Sayangnya, mereka harus bertekuk lutut di hadapan Gen.G. Dengan begitu, T1 tak bisa ikut serta Worlds 2020.

Menurut laporan Dexerto, para fans sudah mulai meradang pada Agustus 2020 karena T1 tidak memainkan Faker. Kekalahan T1 di Regional Qualifiers membuat fans semakin marah. Sebagian fans melampiaskan kemarahan mereka dengan mengirimkan ancaman pada pemain, staf, dan bahkan pemain T1. Pihak T1 lalu membahas tentang masalah ini di Twitter.

"T1 tidak bisa membiarkan segala bentuk harassment pada pemain, pelatih, staf, dan fans. Kami menghargai keberadaan fandom di komunitas kami dan menyadari bahwa kritik adalah hal yang wajar di dunia gaming profesional," ujar CEO T1, Joe Marsh di Twitter. "Namun, kejadian belum lama ini sudah masuk ke ranah ujaran kebencian dan merupakan ancaman bagi kesehatan dan keselamatan anggota tim kami."

Lebih lanjut, Marsh mengungkap, jika para fans terus menyerang tim dan staf T1, mereka akan membawa masalah ini ke ranah hukum. "Kesehatan dan keselamatan para pemain kami tetap menjadi prioritas utama kami," kata Marsh. "Tidak ada ruang untuk kebencian di esports."

 

Kenapa Fans Bisa Sangat Setia Pada Tim Favorit Mereka?

Sadar atau tidak, jati diri kita biasanya terikat dengan beberapa faktor eksternal, seperti kewarganegaraan, etnis, dan juga gender. Menariknya, menurut berbagai riset, ketika seseorang mengaku sebagai fan dari sebuah tim olahraga, maka status itu juga akan menjadi bagian dari jati dirinya. Daniel Wann, Professor of Psychology, Murray State University menjelaskan, fans sebuah tim olahraga biasanya merasa bahwa mereka punya keterikatan psikologis dengan tim kesayangan mereka. Tak hanya itu, mereka percaya, performa tim merupakan cerminan dari diri mereka.

"Jati diri seseorang terikat dengan statusnya sebagai fan dari tim X," ujar Edward Hirt, Associate Professor of Psychological and Brain Sciences, Indiana University- Bloomington, seperti dikutip dary Psychological Science. "Dan mereka akan merasakan dampak positif dan negatif, tergantung pada bagaimana performa tim favorit mereka." Karena itu, tidak heran jika orang-orang punya kecenderungan untuk mendukung tim yang kuat.

Hanya saja, sekuat apapun sebuah tim, pada akhirnya mereka akan kalah juga. Baik di dunia olahraga maupun di dunia esports, saya pernah melihat tim yang dielu-elukan akan juara justru tumbang di babak final atau semifinal. Pertanyaannya, kenapa para fans bisa tetap setia walau timnya kalah?

Berdasarkan riset yang Wann lakukan pada fans olahraga, salah satu alasan mengapa seseorang menjadi fan dari sebuah tim adalah karena mereka ingin mendapatkan terafiliasi dengan tim tersebut. Ketika seseorang mendukung tim olahraga lokal, mereka akan bisa dengan mudah bertemu dan bersosialisasi dengan orang lain yang juga fans dari tim tersebut. Dan hal ini memberikan dampak positif pada kesehatan psikologis seseorang.

Para fans sepak bola di Indonesia. | Sumber: Kompas

Wann juga melakukan berbagai studi untuk mengetahui korelasi antara kebanggaan seseorang sebagai fan dengan kesehatan mental mereka. Dia menemukan, semakin bangga seseorang sebagai fan dari tim tertentu, semakin kecil kemungkinan dia akan merasa kesepian.

Tak hanya itu, ketika seseorang merasa bangga sebagai fan, hal ini juga memengaruhi kepercayaan dirinya. Ada penjelasan di balik fenomena ini. Berdasarkan studi yang dirilis di Journal of Personality and Social Psychology pada awal tahun 1990-an, diketahui bahwa jika jati diri seseorang terikat erat dengan statusnya sebagai fan, maka dia akan melihat kesuksesan tim favoritnya layaknya kesuksesan pribadi.

Sementara itu, Robert J. Fisher, Professor of Marketing, University of Western Ontario menjelaskan, jati diri memiliki kaitan erat dengan persepsi kita akan diri sendiri. Mengingat status sebagai fan juga berpengaruh pada jati diri seseorang, maka itu berarti, kebanggaan sebagai fan akan memengaruhi bagaimana seseorang memandang diri mereka sendiri. Tak berhenti sampai di situ, mendukung sebuah tim olahraga juga bisa menjadi cara bagi seseorang untuk menunjukkan jati diri mereka pada orang lain.

"Kita selalu berusaha untuk mencari orang atau organisasi yang menunjukkan jati diri kita pada orang lain," kata Fisher. "kita ingin agar kita terlihat sebagai orang yang bisa membuat pilihan cerdas dan bangga akan keputusan itu."

Jadi, jangan heran jika Anda melihat fans sepak bola membanggakan pencapaian timnya ketika mereka baru menang. Pasalnya, hal ini dapat meningkatkan rasa bangga dari para fans. Lalu, bagaimana ketika tim kesayangan mereka kalah?

Menariknya, fans tim olahraga juga punya cara tersendiri untuk tetap setia ketika performa timnya memburuk. Salah satu hal yang biasa terjadi adalah fans menyalahkan pihak ketiga, seperti wasit. Hal lain yang biasa terjadi adalah fans akan membanggakan prestasi lama dari tim kesayangan mereka. Namun, juga ada fans yang beralih mendukung tim lain ketika tim favorit mereka kalah.

 

Kesimpulan

Anda pasti pernah dengar ungkapan ini: cinta dan benci itu beda tipis. Memang, secara ilmiah, baik cinta dan benci memicu bagian yang sama pada otak manusia, yaitu insula dan pitamen. Dan hal inilah yang menjadi alasan mengapa rasa cinta seseorang bisa berubah menjadi benci atau sebaliknya.

Kecintaan seseorang sebagai fan tentu berbeda dengan cinta romantis. Namun, tidak bisa dipungkiri, rasa cinta fans pada tim kesayangannya juga merupakan perasaan yang kuat. Dan, sama seperti cinta romantis yang bisa berubah menjadi kebencian, begitu juga dengan rasa cinta fans pada tim kesayangannya.

Sumber: theScore esportsPsychological Science