Loot box, gacha, dua istilah ini kerap menimbulkan kontroversi di industri gaming dalam beberapa tahun terakhir. Sebenarnya tidak ada yang salah dari pembelian dalam game (in-game purchase) menggunakan mata uang nyata, namun itu bisa jadi problem ketika sudah mengarah ke konsep pay-to-win.
Bagi sebagian orang, loot box atau gacha tidak berbeda dari judi. Pemain mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak pasti atau bersifat acak, dan karena tak kunjung mendapat apa yang diinginkan, pemain pada akhirnya harus terus mengeluarkan biaya ekstra selama bermain.
Berdasarkan studi yang dilakukan badan rating ESRB, yang mengeluhkan sistem loot box ini bukan cuma kalangan orang tua saja, tapi juga para gamer itu sendiri. Pun demikian, keduanya punya perspektif yang agak berbeda.
Dari perspektif orang tua, yang dikhawatirkan biasanya cuma sebatas berapa banyak uang yang anaknya keluarkan selama bermain game. Kalau dari perspektif sang anak, yang dikhawatirkan justru lebih spesifik, yakni apakah pembelian dalam game yang mereka mainkan sifatnya acak atau tidak.
Terkait kekhawatiran kalangan orang tua, ESRB sebenarnya sudah punya solusi dalam bentuk label “In-Game Purchases” yang ditambatkan pada game yang memang menawarkan konten ekstra yang dapat dibeli tanpa meninggalkan jendela permainan. Namun untuk kekhawatiran para pemain sendiri, ESRB menilai diperlukan indikator yang lebih spesifik.
Maka mulai hari ini, ESRB sudah menyiapkan label baru bertuliskan “In-Game Purchases (Include Random Items)” pada permainan yang mengadopsi sistem loot box atau gacha. Tujuannya adalah supaya para pemain bisa sadar akan sifat acak pada konten ekstra yang bisa dibeli dalam game sebelum mereka terlanjur mengeluarkan uang.
Mengapa “Random Items” dan bukan “Loot Box” begitu saja? Karena ESRB menilai tidak semua orang paham makna dari kata loot box, dan lagi label baru ini mereka maksudkan untuk semua bentuk in-game purchase yang sifatnya acak, entah itu cover card pack, prize wheel, dan lain sejenisnya.
Sumber: ESRB via Games Industry.