Banyak pemain esports yang berasal dari Asia, khususnya Tiongkok dan Korea Selatan. Selain jumlahnya yang banyak, pemain dari Asia juga dikenal berkualitas. Tidak sedikit pemain Asia yang menorehkan prestasi di kancah internasional. Sebelum ini, Hybrid.co.id juga pernah membahas korelasi antara etnis dan budaya dengan kemampuan seseorang dalam bermain game.
Salah satu alasan mengapa Korea Selatan dapat menelurkan banyak pemain esports yang sukses adalah karena budaya di negara tersebut yang memang mendukung. Tidak bisa dipungkiri, pemain Korea Selatan cukup mendominasi dalam beberapa game esports, seperti League of Legends, StarCraft, dan Overwatch.
T1 dianggap sebagai tim League of Legends terhebat sepanjang masa. Pasalnya, tim tersebut berhasil membawa pulang trofi League of Legends World Championship (LWC) sebanyak tiga kali. Selain itu, mereka juga pernah memenangkan League of Legends Champions Korea (LCK) sebanyak tiga kali berturut-turut. Satu-satunya tim esports lain yang berhasil membawa trofi LCK tiga kali berturut-turut adalah DAMWON KIA, yang juga memenangkan LWC 2020. Selain itu, Lee “Faker” Sang-hyeok, pemain T1, juga dianggap sebagai pemain terbaik League of Legends sepanjang masa.
Menariknya, walau League of Legends sangat dominan di Korea Selatan, Dota 2 — yang juga memiliki genre yang sama — justru kurang populer. Tanya: kenapa?
Awal Mula Dota 2 di Korea Selatan
Dota 2 diluncurkan di Korea Selatan pada 2013. Ketika itu, Valve menyerahkan tanggung jawab untuk merilis dan mempromosikan Dota 2 di Korea Selatan pada Nexon. Saat Dota 2 diluncurkan di Korea Selatan, League of Legends sudah populer. Agar Dota 2 bisa bersaing dengan game buatan Riot Games tersebut, Nexon bahkan membuat dan memberikan compendium khusus untuk akun dan pemain baru, seperti yang disebutkan oleh GosuGamers. Sayangnya, Dota 2 tidak pernah meraih popularitas yang sama seperti League of Legends.
Kabar baiknya, walau Dota 2 kurang populer di Korea Selatan, tetap ada organisasi esports yang tertarik untuk membuat tim Dota 2. Pada September 2013, tim MVP menandatangani kontrak dengan tim Dota 2 pertama mereka. Dua bulan kemudian, pada November 2013, MVP membuat tim Dota 2 kedua mereka. Pada 2014, Korean Dota League (KDL) mulai digelar. Keberadaan KDL memberikan harapan bahwa skena esports Dota 2 akan bisa tumbuh di Korea Selatan.
MVP.Phoenix berhasil meraih gelar juara dua di Korean Dota League Season 1. Di Season 2, mereka dapat menyabet gelar juara. Sementara di StarLadder StarSeries Season IX, mereka harus puas dengan peringkat 7-8. Pencapaian terbaik dari MVP.Phoenix adalah keberhasilan mereka untuk masuk ke The International 4. Mereka dapat lolos ke TI4 setelah mereka menjadi runner up dari TI4 Southeast Asia Qualifiers. Namun, performa MVP.Phoenix di TI4 kurang memuaskan. Dari lima pertandingan, mereka hanya bisa memenangkan satu babak, menempatkan mereka di posisi terakhir.
Meskipun ada tim Korea Selatan yang berhasil masuk TI, ketertarikan gamers akan Dota 2 tetap rendah. Hal ini diperburuk oleh keputusan Nexon untuk menutup server Dota 2 di Korea Selatan pada Desember 2015. Tutupnya server itu berarti, jika gamers Korea Selatan ingin bermain Dota 2, mereka harus bermain di server Asia Tenggara atau Tiongkok. Alhasil, mereka harus bermain dengan ping tinggi.
Kabar baiknya, MVP bersikukuh untuk mempertahankan kedua tim Dota 2 mereka, walau perjalanan karir kedua tim itu tidak mulus. Dan pada 2015, kedua tim MVP — MVP.Phoenix dan MVP.Hot6 — berhasil lolos ke The International. Sebelum maju ke TI, MVP.Phoenix telah memenangkan berbagai kompetisi di skena esports lokal dan regional Asia Tenggara. Mereka tidak hanya sukses memangkan semua turnamen Dota 2 di Korea Selatan, mereka juga menjuarai dua kompetisi regional SEA, yaitu IeSF Asian Championship dan Nexon Sponsorship Leagues.
Sementara itu, MVP.Hot6 terdiri dari empat pemain Korea Selatan dan satu pemain veteran asal Finlandia, Jesse “JerAx” Vainikka. Nantinya, JerAx akan masuk ke OG, yang memenangkan TI dua kali berturut-turut. Sama seperti MVP.Phoenix, MVP.Hot6 juga cukup sukses di skena esports Dota 2 Korea Selatan. Sayangnya, di TI5, MVP.Hot6 berakhir pada peringkat terakhir. Kabar baiknya, MVP.Phoenix dapat meraih peringkat 7-8.
Setelah TI5, MVP lalu membuat satu tim yang semua pemainnya berasal dari Korea Selatan. Tim itu merupakan gabungan dari Phoenix dan Hot6. Tim tersebut dapat memenangkan sejumlah kompetisi. Mereka menduduki peringkat 4 di Singapore Major, peringkat 5-6 di Manilla Major, dan merangkak ke peringkat 5-6 di The International 6.
Pada 2016, MVP.Phoenix memenangkan penghargaan “Best overseas activity award of the year”. Tahun itu merupakan kali kedua mereka mendapatkan penghargaan tersebut. Pada 2015, kedua tim MVP — Phoenix dan Hot6 — juga berhasil meraih gelar tersebut. Mereka mendapatkan gelar tersebut karena kesuksesan mereka untuk masuk ke TI. Kegigihan MVP menunjukkan bahwa mereka tetap bisa bertanding di kancah internasional, walau skena esports Dota 2 di Korea Selatan tidak ramai.
TI Membuat Tim Dota 2
Walau Phoenix dan Hot6 punya prestasi, kedua tim itu tetap dibubarkan oleh MVP pada 2016. Sejak saat itu, tidak ada lagi tim Dota 2 Korea Selatan yang berhasil menorehkan prestasi di skena Dota 2 global. Angin segar bertiup pada Agustus 2019. Saat itu, T1 — organisasi esports yang dikenal dengan tim League of Legends-nya — mengumumkan bahwa mereka akan kembali menjajaki Dota 2.
Sayangnya, tidak peduli seberapa keras usaha T1, mereka tetap kesulitan untuk menorehkan prestasi di Dota 2. Padahal, mereka telah bolak-balik mengganti roster tim Dota 2. Mereka juga pernah mencoba untuk mengembangkan talenta muda Dota 2 dari nol dengan membuat tim berisi tiga pelatih. Tim pelatih itu dipimpin oleh Choi “cCarter” Byoung-hoon, kepala pelatih tim League of Legends T1 yang pernah memenangkan Worlds Championship tiga kali. Meskipun begitu, usaha T1 tetap berujung pada kegagalan. Prestasi terbaik dari tim Dota 2 T1 ketika itu adalah masuk peringkat enam besar di ESL One Thailand 2020: Asia.
Tim Dota 2 dari T1 baru mulai sukses setelah mereka menunjuk Park “March” Tae-won untuk membangun tim dari nol. Dia dianggap sebagai “mastermind” di balik MVP.Phoenix dan juga pernah menjadi pelatih dari TNC Predator. Setelah itu, tim Dota 2 mulai meraih berbagai gelar. Mereka berhasil menjuarai Dota Pro Circuit 2021: S2 – Southeast Asia Upper Division dan juga ESL One Summer 2021. Pada WePlay Major, DPC 2021: S1 – SEA Upper Division, serta BTS Pro Series Season 4: Southeast Asia, mereka berhasil menduduki peringkat tiga.
Apa yang Bisa Meningkatkan Popularitas Dota 2 di Korea Selatan?
Di Korea Selatan, Dota 2 tidak pernah bisa bersaing dengan League of Legends dari segi popularitas. Padahal, total hadiah dari turnamen Dota 2 lebih besar dari game buatan Riot tersebut. Selain itu, kesuksesan tim-tim Dota 2 Korea Selatan juga tidak menarik minat Valve untuk turun tangan langsung mengembangkan ekosistem esports Dota 2 di Korea Selatan.
Dalam wawancara dengan Dota Blast pada 2016, Kim “QO” Seon-yeop menceritakan tentang masalah yang ada di ekosistem esports Dota 2 di Korea Selatan. “Skena esports Dota 2 di Korea telah mati. Nexon tidak lagi mau campur tangan dan hanya beberapa ribu gamers saja yang masih bermain Dota 2,” ujarnya. “Saya rasa, jika ada pemain yang bisa bermain dengan baik dan memenangkan hadiah yang besar, media akan tertarik untuk meliputnya. Dan mungkin, hal ini akan membuat ekosistem esports Dota 2 kembali tumbuh.”
Sementara itu, Yongmin “Febby” Kim — yang dikenal senang bercanda — pernah berkata bahwa alasan mengapa Dota 2 kalah populer dari League of Legends adalah karena jumlah pemain perempuan yang meminkan game itu tidak sebanyak jumlah pemain League of Legends perempuan. Alasannya, skin dari Riot Games terlihat lebih lucu, membuat gamers perempuan lebih senang memainkan League of Legends. Dan jika tidak banyak perempuan yang memainkan Dota 2, maka para pemain laki-laki juga tidak tertarik untuk memainkan game tersebut.
Tentu saja, masalah ekosistem esports Dota 2 di Korea Selatan tidak sesederhana itu. Lee “Forev” Sang-don mengungkapkan pendapatnya tentang hal ini. Dia pernah menjadi bagian dari MVP sejak November 2013 sampai Agustus 2016. Dia juga pernah menjadi bagian dari tim T1 pada Agustus 2019 sampai Juli 2020.
Forev mengaku, dia sebenarnya memainkan Dota 2 dan League of Legends. Namun, dia lebih menyukai Dota 2 karena game itu lebih sulit. Dia menceritakan, alasan mengapa dia memutuskan untuk berkarir sebagai pemain esports Dota 2 dan bukannya League of Legends adalah karena dia mendapatkan tawaran dari MVP setelah dia menyelesaikan wajib militer. Ketika itu, MVP tertarik dengan Forev karena dia pernah bertanding di AWCG Jakarta 2011.
Ketika ditanya apa yang membuatnya terus bertahan sebagai pemain Dota 2 saat Nexon mematikan server Korea Selatan, Forev menjawab, “Sejujurnya, tanpa bantuan organisasi MVP, kami tidak akan bisa melakukan apapun. Saat itu, kedua tim MVP berhasil masuk ke TI. Dan MVP memperlakukan kami para pemain dengan cukup baik. Jadi, saya tetap bisa mempertahankan karir saya di Dota 2 walau server Korea telah mati.”
Lebih lanjut Forev mengatakan, dia berharap, keberadaan tim MVP di TI5 akan membuat Valve menaruh minat pada Korea Selatan dan mendorong para gamers untuk mulai bermain Dota 2. Memang, mantan pemain League of Legends dan Heroes of the Storm sempat tertarik untuk memasuki skena esports Dota 2. Hanya saja, pada akhirnya mereka menyerah. Pasalnya, mempelajari dan menyesuaikan diri dengan mekanisme gameplay Dota 2 memakan waktu yang terlalu lama.
Forev juga mengaku pesimistis bahwa keputusan T1 untuk terjun ke ekosistem esports Dota 2 akan membuat komunitas game MOBA itu kembali tumbuh. Dia berkata, “Saya tidak tahu apa yang bisa membuat Dota 2 mengalahkan popularitas League of Legends di dunia. Tapi, saya cukup mengenal gamers Korea Selatan. Mereka menginginkan waktu tunggu yang lebih singkat, gameplay kasual, skin yang imut, dan sistem surrender. Saya percaya, keberadaan semua itu akan membuat gamers Korea Selatan menyukai Dota 2.”
Sumber: WePlay Holding via GosuGamers