Dark
Light

Direktur BCA: Konsistensi Menjadi Kunci Ketika Bank Terjun ke Fintech

3 mins read
September 14, 2017
Wakil Presiden Direktur BCA Armand W Hartono saat menjadi pembicara dalam salah satu sesi di Social Media Week Jakarta 2017 / DailySocial

Perjalanan BCA menjadi bank terdepan dalam hal inovasi fintech, yang terbukti dengan menyabet berbagai penghargaan, rupanya tidak dilalui dengan mudah. Wakil Presiden Direktur BCA Armand W. Hartono mengungkapkan banyak kisah di baliknya saat menjadi pembicara dalam salah satu sesi di Social Media Week Jakarta 2017.

Dalam pemaparannya Armand mengatakan setiap kali BCA menginisiasikan suatu teknologi baru, selalu tidak dilakukan secara nasional. Melainkan menerapkan di lokasi yang dinilai sudah siap baik dari segi infrastruktur maupun kultur masyarakatnya, misalnya di Jakarta. Maksud dari strategi ini, ingin meminimalkan potensi terjadinya gangguan kenyamanan nasabah saat bertransaksi.

Berkaca dari perjalanan BCA saat pertama kali memulai inisiasi pengembangan fintech, saat pertama kali memasang mesin Automatic Teller Machine (ATM) pada sekitar 1990-an. ATM pada tahun pertamanya tidak laku di pasaran. Padahal tujuan dihadirkannya ATM adalah ingin mengurangi jumlah antrean di kantor cabang.

“Untuk mendidik orang pakai teknologi baru itu susah. Sebab tantangan terbesarnya bukan dari cara mengedukasi nasabah saja, tapi dari internal perusahaan. Saat ATM pertama kali hadir, banyak orang yang takut pakai karena belum terbiasa. Jawabannya adalah konsistensi, bagaimana menambah kenyamanan dan bangun awareness,” ucapnya.

Karena memegang prinsip konsisten, sambungnya, BCA perlahan-lahan mulai menambah jumlah ATM dan menyebarnya ke berbagai lokasi. Pada tahun kedua, pasar sudah mulai menerima kehadiran mesin ATM hingga kini.

Hal yang sama juga terjadi saat BCA pertama kali memperkenalkan kartu debit pada sekitar 1995-an. Pada tahun pertama, banyak penolakan karena saat itu mulai dihadirkan mesin Electronic Data Capture (EDC) di merchant. Promosi pun juga dilakukan dengan membebaskan beban bunga 0 persen untuk merchant discount rate (MDR).

Kemudian, saat BCA memperkenalkan internet banking. Teknologi ini malah baru bisa diterima pada tahun kedua sejak diluncurkan. Sebab pada tahun pertama, banyak isu mengenai phising yang membuat orang enggan untuk bertransaksi. Ditambah belum stabilnya koneksi internet saat itu.

Diungkapkan pada 2004, dalam seharinya BCA menerima 800 ribu sampai 1,2 juta transaksi internet banking dalam sehari. Sedangkan, porsi transaksi secara online selama satu tahun terakhir mencapai 97% dibandingkan transaksi via teller.

Selalu ada nasabah yang berani mencoba

Menurut Armand, dibalik penolakan yang terjadi di tahun pertama karena nasabah mayoritas masih banyak yang takut, selalu ada nasabah yang berani untuk coba-coba, jumlahnya pun selalu lebih sedikit dibandingkan yang takut.

Nasabah yang mau coba-coba, rupanya akan memberi efek multiplier kepada pihak lainnya. Menggiring orang untuk mencoba dan merasakan pengalaman yang sama.

“Kira-kira merchant yang pertama kali pasang mesin EDC untuk kartu debit adalah Hero. Mereka mungkin pasang karena ingin membuktikan apakah dapat membantu efisiensi saat transaksi. Rupanya benar, penjualan mereka menanjak naik. Dari hal ini terlihat bahwa di balik pihak yang wait and see, ada orang yang berani coba. Jumlah yang coba-coba itu selalu lebih sedikit.”

Fintech memberi ruang jenis pekerjaan baru

Sebelum tahun 1990-an, sebelum BCA menerapkan teknologi digital dalam perusahaan, dalam satu kantor cabang membutuhkan 200 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 90% menempati posisi sebagai pembukuan dan checker.

Akan tetapi, setelah menerapkan sistem online justru tidak mengurangi jumlah pekerja. Sebab dari pekerjaan semula yang menghilang, beralih ke fungsi lainnya misalnya menjadi front desk, relationship officer, dan lainnya.

Kehadiran teknologi online, justru membantu pemrosesan transaksi di BCA jadi lebih cepat. Tenaga manusia tidak akan sanggup melayani nasabah setiap harinya, makanya perlu kerja sama dengan teknologi robotika maupun virtual.

“Jadi jangan takut, meski sudah online, pekerjaan akan selalu ada dan akan selalu demikian. Ini dikarenakan teknologi itu memiliki keterbatasan yang menjadi masalah. Online itu akan tetap ada karena pada dasarnya manusia itu malas. Masalah yang bisa dipecahkan manusia, akan menciptakan revolusi baru lainnya.”

Hadirkan solusi dari setiap masalah yang muncul

Virtual chat assistant (Vira)

Ambil contoh, tenaga call center Halo BCA dulunya hanya berjumlah 70 orang. Mereka tidak sanggup karena jumlah telepon yang masuk mencapai 5 ribu – 6 ribu sehari, nasabah pun tiap hari terus bertambah.

Solusi menambah tenaga kerja CS menjadi 1700 orang, akhirnya tidak bisa menampung telepon yang masuk membludak hingga 50 ribu – 60 ribu dalam sehari.

Untuk itu solusi yang dihadirkan dari masalah ini adalah menghadirkan fasilitas web chat. Jumlah telepon yang masuk ke Halo BCA pun dapat ditekan menjadi sekitar 50 ribu sehari. Rupanya solusi ini dirasa belum cukup. Menambah tenaga kerja pun akhirnya bukan solusi yang tepat, maka dari itu butuh teknologi lainnya.

BCA pun akhirnya menelusuri jenis pertanyaan apa saja yang biasa ditanyakan kepada call center. Ternyata, jenis pertanyaannya bersifat umum, seperti bagaimana cek saldo, bagaimana kurs hari ini, lokasi cabang terdekat di mana, dan sebagainya.

“Kami coba klasifikasi lagi dari telepon yang masuk, ternyata 90% menanyakan informasi yang bersifat umum. Dari situ kami lihat, kenapa harus manusia yang menjawab bila bisa dijawab oleh mesin. Di situlah kami mulai terpikir untuk belajar teknologi baru.”

Solusi ini akhirnya dijawab dengan menghadirkan Virtual Chat Assistant (Vira) berbasis artificial intelligence (AI) pada awal tahun ini. Vira dapat menjawab pertanyaan nasabah seputar pertanyaan umum, promosi, cek saldo, membuat kartu kredit, dan lainnya.

“Vira itu sendiri sebenarnya sudah terbenak di ide kita, namun belum dapat mock up yang bagus. Baru dapat pas acara Finhacks tahun lalu, tim kami pun jadi lebih percaya.”

Armand menuturkan saat ini Vira masih terus “belajar” dan BCA pun makin menyempurnakan sistem back end dan infrastrukturnya agar terjaga baik. Pasalnya, hal tersulit yang terjadi saat menyerahkan teknologi untuk melayani nasabah adalah memberikan wewenang keputusan.

“Harus dipastikan apakah wewenang yang kita berikan kepada mesin apakah keamanan sudah terjaga baik dan benar-benar sesuai kebutuhan nasabah. Beda halnya bila offline, wewenang masih dipegang oleh manusia. Untuk memastikan keamanan kami buat machine learning untuk Vira agar terus belajar,” tutup dia.

Vira dapat diakses melalui platform chat messanging Line, Kaskus Chat, dan Facebook Messenger, dengan add akun Bank BCA tanpa harus mengunduh aplikasi baru. Kini Vira sudah digunakan oleh 523 ribu nasabah BCA.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner Social Media Week Jakarta 2017. Dapatkan diskon 30% untuk pembelian tiket melalui laman Deals DailySocial.

Previous Story

Tidak Umum, PC AIO HP EliteOne 1000 Mengemas Layar yang Dapat Digonta-ganti

Next Story

Tren Teknologi dalam Pengembangan Produk Startup Digital

Latest from Blog

Don't Miss

Lebih Parah dari Kasus Doni Salmanan, Inilah 7 Kasus Penipuan Terbesar di Industri Teknologi

Startup selalu berusaha mencari cara untuk mendisrupsi status quo menggunakan
Startup fintech payment gateway Xendit merambah sektor perbankan dengan mendirikan PT Bank Perkreditan Rakyat Xen (BPR Xen) yang berlokasi di Depok

Xendit Rambah Perbankan, Dirikan Bank Perkreditan Rakyat Xen

Ekspansi bisnis startup unicorn di sektor fintech, Xendit, kini sudah