Corporate Venture Capital (CVC) menjadi salah satu strategi perusahaan untuk tetap relevan di tengah perkembangan teknologi digital saat ini; sekaligus dijadikan kendaraan agar bisa bersinergi dengan ekosistem startup yang tengah berkembang pesat di Indonesia. Dari beberapa perusahaan yang telah menginisiasi CVC, Bank Central Asia (BCA) menjadi salah satunya melalui PT Central Capital Ventura (CCV).
Sejak berdiri tahun 2017, CCV fokus pada pendanaan tahap awal di vertikal bisnis fintech. Mereka mengemban misi untuk menciptakan kolaborasi antara BCA dengan portofolionya. “Saat membangun portofolio, kami melihat peluang pada embedded finance, di mana dapat menyematkan layanan finansial ke sektor logistik, kesehatan, perdagangan, dan banyak lagi. Dengan demikian embedded finance menjadi sektor baru yang kami jajaki,” ujar Investment Associate CCV Eric Hendrickus.
Dikembangkan oleh fintech, konsep embedded finance memungkinkan berbagai layanan konsumer untuk memiliki kapabilitas finansial seperti pembayaran, pinjaman, atau asuransi. Mereka tidak perlu melakukan pengembangan dari nol, cukup mengintegrasikan layanan yang ada ke dalam backend aplikasi.
Seperti diketahui, sektor fintech diregulasi ketat oleh otoritas, dalam proses pengembangan sebuah layanan harus memiliki perizinan dan memenuhi kriteria tertentu. Menggunakan layanan siap pakai dapat menjadi solusi agar para pengembang aplikasi fokus di model bisnis utamanya — di samping mengembangkan solusi fintech membutuhkan investasi yang besar.
Hipotesis investasi
Turut disampaikan, hingga saat ini dana kelolaan (fund) di CCV hanya berasal dari induk perusahaan [99,9%+ sahamnya dimiliki BCA, sianya BCA Finance]. Berdasarkan laporan keuangan per 2020 yang disampaikan pada April 2021 lalu, secara kumulatif mereka telah menggelontorkan investasi Rp157,7 miliar kepada 17 startup. Teranyar di tahun ini, CCV berpartisipasi dalam putaran pendanaan startup pengembang platform e-KYC Verihubs dan layanan transfer Oy! Indonesia.
Kemudian untuk kriteria yang ditetapkan dalam memutuskan untuk investasi, selain potensi sinergi dengan perusahaan induk, CCV biasanya melihat beberapa variabel. “Kami selalu berhati-hati setiap kali kami melakukan investasi. Ada banyak variabel yang harus diperhatikan, tetapi yang utama adalah: pendiri yang hebat, model bisnis yang sehat & berkelanjutan, pertumbuhan, dan pasar yang besar,” imbuh Eric.
Jika melihat jajaran portofolio CCV, memang tidak semua murni bermain di ranah fintech. Sebut saja pengembang game Agate, startup B2B supply chain Sinbad, platform biometrik Element, dan beberapa lainnya. Eric pun menjelaskan, “Meskipun perusahaan yang Anda sebutkan mungkin bukan startup fintech murni, mereka dapat berperan dalam mendukung layanan keuangan. Misalnya biometrik untuk KYC, gamifikasi untuk pelanggan perbankan, dan lain-lain. Selain itu, kami menyukai mereka sebagai bisnis dan melihat peluang kerja sama dengan BCA.”
Di masa pandemi, ia mengatakan tidak banyak yang berubah dari hipotesis investasi CCV. Bedanya, kini mereka berusaha mencari startup dan sektor mana yang akan menjadi pemenang pasar setelah pandemi. Sepanjang 2021, CCV telah berinvestasi ke 4 startup baru dan melakukan beberapa investasi lanjutan ke portofolio sebelumnya.
“Bahkan sebelum pandemi, kami sudah sangat berhati-hati dalam melakukan investasi […] Dengan adanya pandemi, kami tetap berpegang pada kriteria yang sama, menekankan pada model bisnis yang berkelanjutan,” jelas Eric.
Pandangan mengenai ekosistem startup
Ekosistem startup Indonesia yang ada saat ini dinilai CCV berhasil membuktikan ketangguhannya. Sejak 2017 berkecimpung, mereka melihat tren pertumbuhan eksponensial. Banyak model bisnis baru muncul, memecahkan berbagai permasalahan spesifik di masyarakat. Dalam rentang 5 sampai 10 tahun ke depan, CCV cukup optimis, pertumbuhan yang ada tidak akan melambat. Karena faktanya, pandemi justru mempercepat digitalisasi dan mendorong kemunculan startup baru.
“Kami telah melihat banyak pendiri generasi kedua dan mantan karyawan unicorn memulai perusahaan mereka sendiri. Dari perspektif investor, kami juga melihat investor global semakin tertarik pada startup Indonesia. Selain itu, seiring dengan semakin matangnya ekosistem, ada jalan ‘exit’ melalui M&A serta IPO,” jelas Eric.
“Tren pertumbuhan ini jelas merupakan pertanda baik bagi ekosistem startup Indonesia karena kami bercita-cita menjadi hub teknologi global,” tutupnya.
Selain berinvestasi, CCV juga aktif membantu induk perusahaannya melakukan program edukasi dan akselerasi startup melalui SYNRGY. Verihubs sendiri, yang baru diinvestasi oleh CCV juga merupakan jebolan dari program tersebut. Di luar itu, mereka juga terus meningkatkan proposisi nilainya sebagai CVC, dengan membuka jaringan, menghubungkan dan akses ke ekosistem yang dimiliki BCA untuk para portofolionya.
Saat ini, selain CCV, di Indonesia juga ada beberapa CVC lainnya. Berikut daftarnya: