Dark
Light

Antara Gamers dan Non-Gamers: Perbedaan Persepsi, Referensi, dan Hubungan Sosial

10 mins read
May 22, 2022
Bermain game kini menjadi kegiatan sosial. | Sumber: Pexels

Genshin Impact adalah game gacha pertama yang saya mainkan. Sebelum itu, saya memang sering mendengar atau melihat meme tentang game gacha. Tapi, saya tidak pernah langsung merasakan sendiri betapa sulitnya untuk mendapatkan karakter atau item tertentu dalam game gacha. Setidaknya, sampai saya bermain Genshin Impact.

Ketika saya mengeluhkan tentang kecilnya kemungkinan untuk mendapatkan karakter atau senjata bintang lima di Genshin Impact pada seorang teman — yang juga sudah melalang buana dalam hal per-gacha-an — dia menjawab, sistem pity pada game buatan HoyoVerse itu sebenarnya cukup “memanjakan” pemain, karena sistem itu memperbesar kesempatan mereka untuk mendapatkan karakter atau senjata tertentu. Walau tetap saja, Anda bisa memerlukan ratusan pulls sebelum Anda mendapat karakter atau senjata yang Anda mau.

Omongan dari teman saya itu membuat saya berpikir, walau saya cukup sering bermain game, tetap ada aspek dalam game tertentu — dalam hal ini game gacha — yang terasa asing atau aneh bagi saya. Dan walau tidak persis, masalah yang saya hadapi itu juga dialami oleh gamers lain. Gamers yang senang dengan game-game menantang seperti Dark Souls, mereka mungkin tidak akan mengerti daya tarik dari game-game yang chill, seperti Animal Crossing atau Story of Seasons. Sementara gamers yang senang dengan game-game online, mereka mungkin juga kurang mengerti serunya memainkan game-game single-player.

Jika sesama gamers pun terkadang bingung akan aspek dari game yang jarang mereka mainkan, lalu, bagaimana non-gamers melihat dalam game? Saat non-gamers mencoba untuk memainkan game RPG, misalnya, apakah mereka akan langsung mengerti apa bedanya Main Quest dengan Side Quest? Ketika mereka mencoba untuk memainkan fighting game, apakah mereka akan langsung paham tentang fungsi dari masing-masing tombol pada controller?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat saya tertarik untuk membahas perbedaan (dan kesamaan) antara gamers dan non-gamers, mulai dari cara berpikir dan bagaimana mereka memahami sebuah game.

Pemahaman Dasar akan Game

Jika Anda seorang gamer, Anda pasti tahu mengapa di sebagian keyboard, tombol WASD memiliki warna yang berbeda. Sementara jika Anda memiliki PlayStation, Anda pasti tahu dimana letak tombol R3 atau L3. Informasi tersebut merupakan pengetahuan umum bagi gamers. Namun, tidak semua non-gamers tahu akan hal itu, kecuali, jika mereka punya teman atau keluarga yang memang doyan main game. Hal ini menunjukkan, gamers dan non-gamers punya sudut pandang yang berbeda tentang game.

Pada 2019, Razbuten — seorang YouTuber yang juga merupakan gamer — melakukan eksperimen informal pada istrinya, yang merupakan non-gamer. Eksperimen yang Razbuten lakukan sederhana: dia hanya meminta istrinya untuk memainkan beberapa game dari berbagai genre, termasuk Shovel Knight, Portal, Doom, Skyrim, dan Dark Souls. Dia ingin tahu sudut pandang seorang non-gamer ketika dia bermain game.

Dari percobaan itu, Razbuten menemukan beberapa hal menarik. Salah satunya, non-gamers tidak langsung tahu akan fungsi dari setiap tombol di controller saat bermain game. Kebanyakan gamers pasti tahu — atau bisa mengira — bahwa tombol X di controller PlayStation atau tombol A di controller Xbox berfungsi untuk membuat karakter melompat. Sementara tombol O atau tombol B berfungsi untuk dash. Namun, pengetahuan yang dianggap sebagai rahasia umum bagi gamers tersebut, hal itu bukanlah sesuatu yang pasti diketahui oleh non-gamers.

Hal lain yang Razbuten temukan, meskipun sesi tutorial pada game menjelaskan fungsi dari masing-masing tombol, non-gamers mungkin akan tetap mengalami kesulitan dalam mengingat letak dari masing-masing tombol pada controller. Dan hal ini bisa membuat sebuah game yang sebenarnya sederhana, menjadi terasa lebih sulit bagi non-gamers. Karena mereka belum terbiasa dengan layout dari controller, sesekali, mereka harus melihat ke arah controller, mengalihkan pandangan dari layar.

Saya sendiri juga pernah mengalami hal tersebut. Padahal, saya mendapatkan konsol pertama di ulang tahun saya yang ke-6 dan saya tumbuh dewasa memainkan PlayStation. Namun, ketika saya menggunakan controller Xbox, saya masih harus melihat controller untuk tahu tombol apa terletak dimana.

Controller Xbox dan PlayStation punya tombol yang berbeda. | Sumber: Business Insider

Lebih lanjut, Razbuten menjelaskan, masalah kebingungan input ini tidak hanya terjadi saat istrinya menggunakan controller, tapi juga ketika dia menggunakan keyboard dan mouse. Biasanya, ketika Anda menggerakkan karakter dengan tombol WASD, Anda akan bisa mengubah sudut pandang karakter dengan menggerakkan mouse. Jika Anda terbiasa bermain di PC, Anda pasti tahu akan hal ini. Namun, ternyata, informasi tersebut bukanlah sesuatu yang langsung dipahami oleh non-gamers.

Menariknya, terkadang, ketidaktahuan gamers akan mekanik game justru membuat mereka berpikir dengan cara unik saat dihadapkan pada satu masalah. Walau, menggunakan logika dunia nyata dalam dunia game tidak selalu membuahkan hasil manis. Contoh yang diberikan oleh Razbuten, ketika sang istri harus menghancurkan Gore Nest dalam sesi tutorial dari Doom.

Sebagai seorang gamer, Razbuten tahu, apa yang harus dia lakukan adalah mendekati Nest tersebut dan menekan tombol yang diperlukan. Sebagai non-gamer, istrinya tidak tahu akan logika tersebut. Alhasil, dia mencoba untuk meledakkan Nest tersebut menggunakan tong yang berisi bahan peledak. Dan walau meledakkan Nest menggunakan peledak terdengar lebih keren, ketika sang istri mencoba melakukan hal itu, tidak terjadi apa-apa dalam game.

Selain masalah input dan logika dalam game, ada beberapa aspek dalam game lain yang hanya bisa dipahami oleh para gamers, layaknya inside jokes. Salah satunya, fakta bahwa tidak semua game mengadu para pemainnya dengan satu sama lain. Memang, saat ini, game kompetitif sangat populer, apalagi dengan adanya esports. Meskipun begitu, ada banyak game lain yang tidak mengharuskan para pemainnya beradu dengan satu sama lain.

Game-game single-player biasanya lebih fokus untuk menampilkan cerita yang menarik dan gameplay yang unik. Sementara game-game MMORPG biasanya justru mendorong para pemainnya untuk saling bekerja sama demi mengalahkan musuh.

Bahkan dalam meme, game digambarkan sebagai sesuatu yang kompetitif.

Konsep lain yang mungkin tidak selalu dipahami oleh non-gamers adalah loot. Bagi gamers, loot adalah sebuah keniscayaan. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, monster mati meninggalkan loot. Sementara jika non-gamers mencoba untuk memahami konsep loot dengan logika dunia nyata, tentu saja, keberadaan loot terdengar sangat tidak masuk akal. Memang, makhluk apa yang jika mati akan meninggalkan barang atau bahkan uang?

Terakhir, aspek dalam game yang mungkin hanya bisa langsung dipahami oleh orang-orang yang menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game adalah trope. Sebagai contoh, ada banyak game yang menyembunyikan gua di balik air terjun. Alhasil, setiap kali saya melihat air terjun dalam game, saya biasanya akan memeriksa apakah ada ruang tersembunyi di balik air terjun tersebut. Namun, hal ini mungkin tidak bisa selalu diketahui oleh para non-gamers.

Perbedaan Otak Gamers dan Non-Gamers

Banyak orang tua yang menganggap game sebagai momok, sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian anak mereka dari sekolah atau tugas di rumah. Namun, studi menunjukkan, bermain game juga bisa memberikan dampak positif pada para pemain, khususnya pada otak. Menurut penelitian yang dilakukan oleh para peneliti asal Tiongkok dan Australia pada 2015, bermain game secara rutin bisa meningkatkan jumlah grey matter pada otak. Grey matter memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, termasuk dalam memproses informasi dan mengendalikan emosi, ingatan, dan bahkan gerakan.

Penelitian ini dipimpin oleh para peneliti dari University of Electronic Science and Technology of China dan Macquarie University di Australia. Saat melakukan studi tersebut, para peneliti menggunakan functional MRI (fMRI) scan untuk menganalisa otak dari 27 gamers yang dianggap sebagai gamer profesional atau ahli. Dalam studi tersebut, seorang gamer dianggap profesional jika dia pernah memenangkan kompetisi League of Legends atau Dota 2 pada tingkat nasional atau bahkan regional.

Perbandigan scan otak pada gamers dan non-gamers. | Sumber: Science Alert

Setelah itu, para peneliti membandingkan scan otak para gamers dengan orang-orang yang biasanya tidak memainkan game-game seperti Dota 2. Para peneliti menemukan, volume grey matter pada para gamers profesional lebih tinggi dari non-gamers. Selain itu, pada scan dari otak para gamers, terlihat koneksi yang lebih kuat antara subregions pada otak. Dengan itu, para peneliti menyimpulkan, bermain game secara rutin bisa meningkatkan jumlah grey matter dan memperkuat hubungan antara subregion pada otak.

“Scan dari otak para gamers profesional menunjukkan konektivitas yang lebih kuat antara jaringan sensorimotor dan attentional. Dan bukti peningkatan ini bisa terlihat pada insula kiri, bagian dari otak yang jarang diteliti,” tulis para peneliti, dikutip dari Science Alert. “Jadi, memainkan game action mungkin bisa megokohkan integrasi antara insular subregion pada otak dan jaringan-jaringan yang ada di dalamnya.” Satu hal yang harus diingat, walau bermain game bisa meningkatkan volume grey matter, ada kegiatan lain yang bisa dilakukan untuk mencapai hal yang sama. Contohnya, meditasi dan yoga.

Para psikolog dari SWPS University of Social Sciences and Humanities di Polandia juga berusaha untuk mencari tahu tentang dampak bermain game pada otak para gamers. Mereka menemukan, ada perbedaan antara otak gamers yang sering memainkan game RTS dengan non-gamers. Pada RTS gamers, area dari otak yang bertanggung jawab atas kemampuan visual dan spasial memiliki koneksi yang lebih baik. Begitu pula dengan bagian otak yang berfungsi akan gerakan otomatis.

Psikolog Natalia Kowalcyzk menjelaskan, riset tersebut dilakukan untuk menganalisa perbedaan kemampuan kognitif dan struktur otak antara gamers dengan orang-orang yang tidak terlalu sering bermain game. Dalam studi ini, orang-orang yang hanya bermain game selama rata-rata dua jam dalam seminggu dianggap sebagai non-gamers. Sementara gamers adalah mereka yang menghabiskan setidaknya enam jam untuk bermain game RTS, khususnya Starcraft II.

“Temuan paling penting dari studi ini adalah, jika dibandingkan dengan orang-orang yang jarang bermain game, gamers memiliki jaringan syaraf yang menghubungkan antara parietal areas dan occipital areas dalam jumlah yang lebih banyak,” kata Kowalczyk, dikutip dari situs resmi Kementerian Edukasi dan Sains Polandia.

Memang, memainkan game RTS menuntut perhitungan mental yang kompleks. Para pemain harus bisa mengawasi banyak objek yang terus bergerak, menuntut pemain untuk terus berkonsentrasi. Selain itu, informasi yang pemain ketahui akan sebuah objek akan terus berubah, seiring dengan berjalannya waktu. Hal itu berarti, pemain harus terus memperbarui informasi tersebut. Tak berhenti sampai di sana, para pemain juga harus bisa membuat rencana sendiri dan melakukan beberapa tugas dalam satu waktu.

Hubungan Sosial Gamers dan Non-Gamers

Dulu, gamers sering dianggap sebagai penyendiri. Namun, dengan munculnya online game, stereotipe itu pun terpatahkan. Selain itu, sekarang, demografi gamers juga telah mulai berubah. Kelompok gamers tidak hanya didominasi oleh remaja laki-laki. Menurut Entertainment Software Association, umur rata-rata para gamers adalah 31 tahun. Dan jumlah gamers perempuan hampir sama dengan jumlah gamers laki-laki: 52% gamers merupakan laki-laki dan 48% perempuan. Game juga kini dimainkan oleh berbagai generasi. Sebanyak 73% milenial mengatakan, mereka setidaknya memainkan game satu kali dalam dua bulan terakhir. Angka itu turun menjadi 62% pada Generation X dan menjadi 41% pada Baby Boomers.

“Dalam dua dekade terakhir, popularitas game meningkat pesat. Game tidak lagi dianggap sebagai kegiatan yang ‘tidak berguna’ atau gamers sebagai ‘antisosial’,” kata ahli sejarah Neil Howe, dikutip dari USA Today. “Sekarang, game telah menjadi pusat dari pop culture.”

Menariknya, menurut laporan The New Face of Gamers pada 2014, gamers punya gaya hidup yang lebih sosial daripada non-gamers. Selain itu, mereka juga cenderung lebih optimistis dan lebih peduli akan peran mereka dalam tatanan sosial. Berdasarkan data dari survei yang dilakukan oleh Twitch tersebut, 57% gamers menganggap pertemanan itu penting. Sementara itu, hanya 35% non-gamers yang memiliki pendapat yang sama. Dan, sebanyak 72% gamers mengaku, mereka bermain game bersama teman mereka.

Perbedaan pendapat antara gamers dan non-gamers. | Sumber: Lifecourse

“Bermain game menjadi kegiatan hiburan utama bagi para milenial,” kata Howe. “Namun, game yang mereka mainkan lebih interaktif dan sosial.”

Dalam survei, juga diketahui bahwa 76% gamers percaya, memiliki peran dalam masyarakat adalah sesuatu yang penting. Sebagai perbandingan, hanya 55% non-gamers yang memiliki pendapat yang sama. Selain itu, 58% gamers membeli produk dari perusahaan yang mendukung kegiatan sosial. Dan hanya 36% gamers yang melakukan hal tersebut.

Lalu, bagaimana dengan kualitas pertemanan antara gamers dan non-gamers? Adakah perbedaan antara hubungan pertemanan online dan offline?

Jurnal berjudul Friendship in Gamers and Non-Gamers mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Laporan ilmiah tersebut membahas tentang perbedaan kualitas pertemanan online dan offline pada gamers dan non-gamers. Demi menulis jurnal ini, Christina M. Frederick dan Tianxin Zhang dari Embry-Riddle Aeronautical University, melakukan dua studi. Dalam studi pertama, kedua peneliti hanya melakukan survei pada grup kecil. Selain itu, peserta survei juga dibatasi, hanya pada mahasiswa.

Berdasarkan studi pertama, gamers menganggap, hubungan pertemanan online mereka memiliki kualitas yang lebih tinggi dari pertemanan offline mereka. Sebaliknya, bagi non-gamers, pertemanan offline justru lebih berkualitas dari pertemanan online. Menariknya, ketika peneliti membandingkan nilai yang gamers berikan pada kualitas pertemanan online dengan nilai yang non-gamers berikan pada pertemanan offline, nilai dari keduanya sama. Dengan kata lain, kualitas dari pertemanan offline bagi non-gamers sama dengan pertemanan online bagi gamers.

Studi ini juga mematahkan anggapan bahwa gamers adalah orang-orang antisosial yang tidak bisa membangun hubungan dengan orang lain. Gamers terbukti bisa menjalin pertemanan yang kuat dengan orang lain. Hanya saja, mereka lebih suka untuk mencari teman secara online.

Gamers terbukti bisa membangun pertemanan dengan orang lain. | Sumber: Pexels

Dari studi pertama, para peneliti juga menemukan, tingkat kebahagiaan yang gamers dapatkan dari pertemanan online sama dengan tingkat kebahagian yang non-gamers rasakan dari pertemanan offline mereka. Hal itu berarti, meskipun pertemanan online menggunakan media yang berbeda, ia memiliki kualitas dan fungsi yang sama dengan pertemanan offline. Setidaknya, bagi para gamers. Meskipun begitu, para peneliti menganggap, studi pertama memiliki banyak keterbatasan. Salah satunya, semua peserta ada di rentang grup yang sama dan memiliki latar belakang pendidikan yang sama, yaitu mahasiswa. Karena itu, Frederick dan Zhang melakukan studi kedua.

Dalam studi kedua, para peneliti masih berusaha untuk mencari tahu perbedaan (atau kesamaan) antara kualitas pertemanan online dan offline pada gamers dan non-gamers. Hanya saja, sampel dari studi kedua lebih banyak. Selain itu, rentang umur peserta dari studi kedua juga lebih luas, mencakup dewasa muda dan tidak terbatas pada mahasiswa.

Berdasarkan studi kedua, para peneliti menemukan, baik gamers maupun non-gamers menjalin hubungan pertemanan secara online maupun offline. Tak hanya itu, hubungan pertemanan kedua grup cenderung bertahan lama. Baik dalam pertemanan online maupun offline, orang-orang yang terlibat sering menghubungi satu sama lain. Dalam pertemanan online, kedua pihak biasanya saling menghubungi satu sama lain sebanyak 3-5 kali dalam sebulan. Kebanyakan peserta bahkan mengatakan, mereka bisa menghubungi teman mereka sebanyak 2-5 kali dalam seminggu. Dan tren yang sama terjadi dalam pertemanan offline. Hanya saja, media pertemuannya saja yang berbeda.

Dalam studi pertama, gamers cenderung menganggap, pertemanan online mereka lebih berkualitas daripada pertemanan offline. Namun, lain halnya dengan studi kedua. Data dari studi kedua menunjukkan, tidak ada perbedaan kualitas antara pertemanan online dan offline pada gamers dan non-gamers. Baik gamers maupun non-gamers menganggap, pertemanan offline memiliki kualitas lebih baik dari pertemanan online.

Bagi dewasa muda, pertemanan online dan offline sama-sama punya peran penting. | Sumber: Pexels

Meskipun begitu, nilai yang diberikan oleh peserta — gamers dan non-gamers — pada kualitas pertemanan online dan offline mereka sama-sama cukup tinggi. Hal ini menjadi bukti, dalam kehidupan dewasa muda, pertemanan online dan offline sama-sama punya peran penting. Seorang dewasa muda — tidak peduli apakah dia gamer atau bukan — tidak akan melupakan teman offline-nya begitu saja ketika dia mendapatkan teman di dunia online. Sebaliknya, pertemanan online dan pertemanan offline justru saling melengkapi. Selain itu, baik dalam pertemanan online atau offline, kedua pihak biasanya memang melakukan pertemuan langsung maupun berkomunikasi melalui internet.

Studi kedua juga menunjukkan, baik pertemanan online dan offline memberikan dampak positif pada kebahagiaan seseorang dan mengurangi risiko akan depresi atau masalah kecemasan. Namun, walau pertemanan online bisa memberikan dampak positif pada seseorang, ada beberap aspek pertemanan yang tidak bisa ditemukan dalam pertemanan online. Biasanya, pertemanan online dikaitkan dengan bantuan, teman yang bisa diandalkan, dan validasi diri. Namun, pertemanan online tidak bisa memberikan kedekatan atau intimacy dan emotional security.

Kesimpulan yang Bisa Ditarik…

Satu hal yang pasti, artikel ini tidak dibuat sebagai klaim bahwa gamers lebih superior daripada non-gamers. Memang, gamers lebih cepat paham akan logika dalam game atau menguasai kendali karakter dalam game. Namun, menurut saya, hal itu bukan bukti superioritas dari para gamers. Hal itu hanya menunjukkan, ketika seseorang menghabiskan banyak waktu untuk melakukan sesuatu, dia menjadi lebih ahli dalam bidang tersebut.

Seorang dokter tentunya lebih paham tentang nama alat dan istilah dalam dunia kesehatan daripada masyarakat umum. Seorang psikolog tentunya lebih bisa dipercaya dalam mendiagnosa penyakit kejiwaan seseorang daripada jika dia mencoba melakukan self-diagnose dengan bantuan Google. Logika yang sama juga berlaku pada bermain game.

Gamers menghabiskan banyak waktu mereka untuk bermain game. Jadi, tidak heran jika mereka lebih familier dengan logika atau kendali pada game. Dan memang, bermain game terbukti bisa memberikan dampak positif. Namun, hal itu bukan berarti, bermain game menjadi satu-satunya aktivitas yang bisa memberikan dampak positif pada otak manusia.

Sumber header: Pexels

Previous Story

My Lovely Wife, Game Simulasi Kencan Unik Buatan Anak Bangsa

Next Story

Sejumlah Hacker Bawa Pulang US$800 Ribu Usai Retas Windows 11 dan Microsoft Teams di Pwn2Own 2022

Latest from Blog

Don't Miss

H3RO Land dari Bima+, Teman Mabar Anak Esports

Salah satu bentuk dukungan untuk perkembangan esports di tanah air
Review Poco X6 5G Hybrid

Review Poco X6 5G, Performa Ekstrem dan Sudah Dapat Pembaruan HyperOS

Poco X6 membawa layar AMOLED 120Hz dengan Dolby Vision lalu