Perkembangan pesat artificial intelligence (AI) memicu kekhawatiran bahwa teknologi tersebut bakal mencuri banyak pekerjaan manusia. Di saat yang sama, tidak sedikit pula yang percaya bahwa revolusi AI ini justru akan menciptakan lapangan pekerjaan baru, spesifiknya untuk profesi yang bernama prompt engineer. Alasannya tidak lain karena cara kerja generative AI yang memang membutuhkan input dari manusia, setidaknya dalam kondisinya sekarang.
Prompt engineering pada dasarnya mengacu pada kegiatan mengoptimalkan input teks agar dapat dipakai untuk berkomunikasi secara efektif dengan large language model (LLM), teknologi yang menjadi basis utama chatbot AI seperti ChatGPT. Semakin bagus dan mendetail input teks alias prompt yang diberikan ke LLM, sering kali semakin bagus pula output yang dihasilkannya.
Seberapa signifikan peran seorang prompt engineer? World Economic Forum belum lama ini menempatkan prompt engineer sebagai satu dari tiga pekerjaan masa depan, di samping operator truk kemudi otomatis dan teknisi turbin angin. Media sosial pun belakangan juga dibanjiri gelombang baru influencer yang memamerkan kemampuannya meracik prompt untuk AI beserta hasilnya yang mengesankan. Pertanyaannya, apa benar AI prompt engineering bakal sekrusial itu ke depannya? Akankah AI prompt engineer benar-benar menjadi profesi masa depan, atau cuma hype sesaat?
Terlepas dari hype yang mengelilinginya, peran penting prompt engineer mungkin bakal cepat berlalu begitu saja. Pandangan ini disampaikan oleh Oguz A. Acar, seorang profesor di bidang pemasaran dan inovasi, dalam artikel opininya yang dipublikasikan di Harvard Business Review.
Beliau memaparkan tiga alasan. Yang pertama adalah terkait perkembangan sistem AI itu sendiri, yang ke depannya diyakini bakal semakin intuitif dan cekatan dalam memahami bahasa alami. Di titik itu, kebutuhan akan prompt yang benar-benar diracik secara mendetail tentu akan berkurang.
Alasan kedua berkaitan langsung dengan kemampuan LLM seperti GPT–4 dalam menciptakan prompt teks. Dengan kata lain, AI juga punya peluang untuk merebut pekerjaan seorang prompt engineer.
Terakhir, Oguz menilai keefektifan suatu prompt sangatlah bergantung pada algoritma yang spesifik, dan ini berpotensi membatasi utilitasnya di berbagai model dan versi AI.
Ketimbang prompt engineering, sang profesor lebih sreg mengimbau publik untuk mengasah kemampuan perumusan masalah, yakni kemampuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan menggambarkan suatu masalah. Beliau percaya ini merupakan skill yang lebih bisa bertahan dalam jangka panjang, sekaligus yang lebih mudah diadaptasikan ketimbang prompt engineering. Semuanya tanpa melupakan tujuan untuk memaksimalkan potensi generative AI.
Prompt engineering vs. perumusan masalah
Prompt engineering dan perumusan masalah berbeda dari segi fokus, tugas inti, dan kemampuan yang mendasarinya. Prompt engineering berfokus pada peracikan input teks yang optimal dengan memilih kata, frasa, struktur kalimat, dan tanda baca yang tepat. Perumusan masalah di sisi lain memberi penekanan pada pendefinisian masalah dengan menggambarkan fokus, cakupan, dan batasannya.
Prompt engineering membutuhkan penguasaan tool AI tertentu dan pemahaman linguistik, sementara perumusan masalah memerlukan pemahaman yang komprehensif tentang ranah masalah beserta kemampuan untuk menyaring isu-isu di dunia nyata.
Faktanya adalah, tanpa masalah yang dirumuskan dengan baik, bahkan prompt yang paling canggih pun mungkin akan gagal menghasilkan output yang diinginkan. Namun ketika masalahnya sudah berhasil didefinisikan secara jelas, variasi linguistik dari suatu prompt akan jadi tidak relevan lagi.
Sayangnya kemampuan merumuskan masalah ini sering kali diabaikan dan kalah pamor dari kemampuan memecahkan masalah. Di dunia pekerjaan, kita tentu cukup sering mendengar atasan yang berkata “jangan beri saya masalah, beri saya solusi”. Hal ini secara tidak langsung membuat kita menilai bahwa pemecahan masalah lebih penting ketimbang perumusan masalahnya.
Oguz lanjut menjelaskan bahwa agar bisa merumuskan masalah secara efektif, ada empat komponen yang perlu mendapat perhatian khusus: diagnosis masalah, penguraian masalah, pembingkaian ulang masalah, dan desain kendala masalah.
Diagnosis masalah
Dalam konteks AI, diagnosis masalah mengacu pada proses identifikasi isu utama yang perlu dipecahkan oleh AI. Dengan kata lain, kita harus bisa menentukan apa tujuan utama kita untuk sang generative AI. Beberapa masalah relatif simpel untuk ditengarai, contohnya ketika tujuannya adalah untuk mengumpulkan informasi terkait suatu topik yang spesifik. Yang cukup sulit adalah ketika hendak mencari solusi inovatif terhadap suatu masalah serius.
Salah satu contohnya adalah isu pembersihan Laut Alaska pasca insiden tumpahan minyak Exxon Valdez di tahun 1989. Problem tersebut dapat dengan cepat diatasi karena akar masalahnya berhasil diidentifikasi, yakni bagaimana perpaduan minyak dan suhu dingin membuatnya jadi terlalu kental untuk dipompa. Diagnosis ini pada akhirnya menjadi kunci dari pemecahan masalah yang sudah berlangsung selama sekitar dua dekade.
Penguraian masalah
Penguraian masalah adalah proses memecah masalah yang kompleks menjadi masalah-masalah yang lebih kecil sekaligus lebih mudah ditangani. Ini sangat penting ketika berhadapan dengan masalah multifaset, yang sering kali terlalu rumit untuk menghasilkan solusi yang praktis.
Untuk mengilustrasikan pentingnya penguraian masalah, Oguz mencoba meminta Bing Chat untuk merancang sebuah cybersecurity framework. Hasilnya ternyata terlalu luas dan terlalu generik untuk bisa diimplementasikan secara langsung. Barulah ketika isunya dipecah-pecah lebih spesifik menjadi kebijakan keamanan, asesmen kerentanan, protokol autentikasi, dan pelatihan karyawan, solusi yang dihasilkan pun jadi jauh lebih baik.
Pembingkaian ulang masalah
Pembingkaian ulang masalah pada dasarnya merupakan proses mengubah sudut pandang yang digunakan untuk melihat suatu masalah, dengan tujuan untuk menghasilkan interpretasi yang berbeda. Dengan mengubah perspektifnya, kita dapat memandu AI untuk memperluas cakupan solusi potensialnya, yang kemudian bisa membantu kita mengidentifikasi solusi yang terbaik.
Sebagai contoh, Oguz meminta ChatGPT untuk merancang solusi atas masalah lahan parkir di suatu gedung perkantoran. Output yang dihasilkan tidak jauh-jauh dari mengoptimalkan susunan lahan parkir maupun alokasinya, serta saran untuk mencari lokasi baru.
Namun ketika problemnya disampaikan dari sudut pandang yang berbeda – persisnya perspektif kalangan pekerja yang sering kali dibuat frustrasi ketika harus mencari tempat parkir, maupun yang selalu mengeluhkan keterbatasan opsi komuter yang tersedia – solusi yang dihasilkan pun jadi berbeda dan lebih beragam, sekaligus yang mungkin lebih praktis untuk diterapkan.
Desain kendala masalah
Desain kendala masalah berfokus pada penggambaran batasan dari suatu problem, umumnya dengan cara mendefinisikan batasan input, proses, dan output dari pencarian solusinya. Batasan ini dapat dipakai untuk mengarahkan AI dalam menghasilkan solusi yang berguna untuk tugas yang tengah dijalani.
Untuk tugas-tugas produktivitas, kita bisa membuat batasan yang ketat dan spesifik, yang sejatinya menggambarkan konteks maupun kriteria output yang diinginkan. Sebaliknya, untuk tugas-tugas kreatif, kita justru bisa memperluas cakupan batasannya agar solusi yang dihasilkan pun bisa lebih bervariasi..
Penutup
AI prompt engineering itu penting. Namun lebih penting lagi sebelum meracik prompt teks yang hendak dikomunikasikan dengan AI adalah kemampuan kita merumuskan masalahnya, sehingga pada akhirnya AI dapat membantu menghasilkan solusi yang efektif.
Oguz percaya bahwa mengasah kemampuan diagnosis, penguraian, pembingkaian ulang, dan desain kendala masalah merupakan langkah yang esensial untuk menyelaraskan output yang dihasilkan oleh AI, yang pada akhirnya dapat mendorong kolaborasi yang efektif dengan sistem AI.