11 August 2022

by Glenn Kaonang

5 Manfaat NFT dan Blockchain Bagi Industri Penerbitan dan Media

Seperti ketika internet dan digitalisasi merevolusi industri penerbitan dan media, NFT dan blockchain juga bakal punya peran serupa. Berikut 5 manfaat NFT dan blockchain bagi industri penerbitan dan media

Perlahan tapi pasti, potensi pengadopsian teknologi NFT dan blockchain mulai disadari oleh berbagai industri. Tidak terkecuali industri penerbitan dan media, yang belakangan mulai aktif mengeksplorasi bagaimana NFT dan blockchain dapat mentransformasi model-model tradisional.

Sama seperti ketika industri penerbitan dan media mulai bertransisi ke format digital, beberapa perusahaan yang bergerak di kedua bidang tersebut sekarang juga sudah mulai mengadopsi teknologi NFT dan blockchain. Yang menarik, alasan mereka sering kali bukan hanya sebatas ikut-ikutan tren terbaru, tetapi memang karena ada manfaat yang bisa diambil dengan mengadopsi teknologinya.

Salah satu contohnya adalah Pearson, yang baru-baru ini mengumumkan rencananya untuk menjual buku pelajaran sebagai NFT. Di ranah lokal, belum lama ini kita juga sempat menyaksikan peluncuran proyek NFT dari Kompas. Biasanya, ketika nama-nama besar di industri sudah mulai mengambil langkah konkret sebagai responnya atas suatu tren baru, kita hanya tinggal menunggu waktu sebelum perusahaan lain di bidang yang sama ikut mengambil rute serupa.

Yang mungkin jadi pertanyaan adalah, apa sebenarnya manfaat NFT dan blockchain bagi industri penerbitan dan media? Mengapa perusahaan-perusahaan besar ini begitu tertarik menerapkan NFT dan blockchain ke portofolio produknya?

Memang benar masing-masing perusahaan punya alasan dan motivasinya sendiri-sendiri, namun setidaknya kita bisa menarik kesimpulan berdasarkan perkembangan yang tengah berlangsung. Di artikel ini, saya telah merangkum 5 manfaat NFT dan blockchain bagi industri penerbitan dan media. Berikut penjelasannya.

1. NFT memungkinkan penjualan buku digital bekas

Sudah bukan rahasia jika buku pelajaran bisa berpindah tangan sampai berkali-kali. Masa pakai buku pelajaran memang hanya sebentar, sehingga tidak sedikit yang berpikir untuk menjualnya kembali ketika sudah tidak memerlukannya lagi. Tentu saja konteksnya di sini adalah buku fisik, dan ini juga yang menjadi alasan mengapa buku fisik masih dicari-cari hingga sekarang.

Menurut Pearson, hal ini bisa berubah ketika NFT sudah dilibatkan. Jadi ketimbang menjual buku pelajaran digital dalam format standar, Pearson ingin buku-buku pelajaran digital ini dikemas menjadi aset NFT yang kepemilikannya dapat dilacak secara lengkap. Dengan begitu, ketika konsumen sudah rampung menggunakan bukunya, mereka bisa menjualnya kembali ke konsumen lain.

Lalu apa keuntungan yang didapat Pearson sebagai penerbit? Well, NFT memungkinkan pihak penjual pertama untuk menerima royalti dari penjualan-penjualan berikutnya, dan ini akan terjadi secara otomatis berkat penerapan teknologi smart contract di setiap aset NFT. Dengan kata lain, setiap kali NFT-nya berpindah tangan melalui secondary market, Pearson selaku perusahaan penerbit bakal menerima beberapa persen dari nilai penjualannya — sesuatu yang bahkan tidak bisa mereka dapatkan dari buku fisik.

Bagi Pearson, ini memang baru sebatas wacana. Namun di luar sana sebenarnya sudah ada perusahaan penerbit lain yang bahkan telah merealisasikan ide serupa. Mereka adalah Bookwire, penerbit asal Jerman yang tahun lalu menggagaskan ide akan sebuah marketplace NFT khusus buku digital. Ide tersebut sudah mereka eksekusi menjadi marketplace bernama Creatokia.

2. NFT untuk mengabadikan karya jurnalistik

Salah satu keuntungan yang bisa didapat dari penggunaan teknologi blockchain adalah sifatnya yang permanen. Begitu data terekam di blockchain, maka data tersebut akan tinggal di sana selamanya. NFT yang bertumpu pada blockchain pun juga demikian. Belum lagi, NFT juga memiliki sifat non-fungible yang secara harfiah memiliki makna "tidak dapat tergantikan." Di mata Kompas, ini merupakan peluang untuk mengabadikan karya-karya jurnalistik yang dihasilkannya selama puluhan tahun.

Ilustrasi NFT Kompas / Kompas

Sebagai salah satu media publikasi tertua di Indonesia, koleksi arsip yang masif memang menjadi salah satu kekuatan utama Harian Kompas dibanding media lain. Format fisik koran yang serba terbatas juga berarti ada signifikansi kurasi konten di situ, belum lagi ditambah signifikansi momentum dan visualisasinya. Kompas percaya bahwa mengabadikan semua ini merupakan salah satu cara untuk merawat sejarah, dan di situlah format NFT akhirnya dipilih.

Perjalanan Kompas memindahkan seluruh arsipnya ke blockchain masih panjang, sebab sejauh ini mereka baru menghadirkan NFT dari 57 edisi koran saja, sementara arsipnya sendiri yang terkumpul selama lebih dari setengah abad entah sudah mencakup berapa ribu edisi.

Seandainya inisiatif NFT Kompas ini terbukti berhasil, akankah media besar lainnya mengambil jejak serupa? Jawa Pos mungkin?

3. Blockchain untuk melawan berita bohong

Selain sifatnya yang permanen, teknologi blockchain juga kerap dipilih ketika transparansi benar-benar dibutuhkan. Di industri media, blockchain punya potensi untuk menjadi solusi dalam upaya mengatasi problem seputar berita bohong. Gagasan ini sudah diwujudkan oleh Bywire, sebuah platform berita terdesentralisasi yang mengandalkan perpaduan kecerdasan buatan (AI), machine learning dan blockchain untuk mengidentifikasi konten-konten berita bohong.

Kepada Cointelegraph, Bywire mengklaim teknologi AI-nya sanggup membaca sebuah artikel dan menentukan kredibilitasnya dalam hitungan detik. Artikel yang sudah lolos kemudian dipublikasikan secara menyeluruh ke blockchain, sehingga siapapun dapat melihat informasi-informasi penting seperti kapan artikel itu dibuat, oleh siapa, dan revisi apa saja yang sempat dibubuhkan. Tujuannya tidak lain untuk memastikan setiap konten yang dipublikasikan terjaga keaslian dan akuntabilitasnya.

4. NFT sebagai lapisan keamanan dan autentikasi ekstra bagi produk fisik

NFT yang bersifat sepenuhnya digital tidak selamanya harus menjadi pengganti produk fisik. Terkadang, NFT juga bisa berperan sebagai digital twin dari suatu produk fisik, dengan tujuan untuk menghadirkan lapisan keamanan dan autentikasi ekstra bagi produk tersebut.

Produknya tentu bisa apa saja, namun yang sudah diterapkan sejauh ini adalah prangko, yang tentunya bisa menjadi contoh manfaat NFT bagi industri penerbitan. Pada bulan Juni 2019, Österreichische Post AG alias Kantor Pos Austria menerbitkan crypto stamp yang pertama. Crypto stamp merupakan prangko fisik yang ditemani oleh sebuah replika digital. Replikanya ini tersimpan di blockchain, yang berarti seluruh data pemilik sebelumnya akan selalu tercatat dengan baik.

Crypto stamp / Österreichische Post AG

Crypto stamp juga tidak bisa dipalsukan, sebab setiap prangko fisiknya dibekali kode QR yang dapat dipindai untuk melihat prangko NFT yang mendampinginya.

5. NFT untuk membangun komunitas

Terakhir, seperti di banyak industri lain, NFT pun juga punya fungsi untuk membangun komunitas di industri penerbitan dan media. Hal ini sudah dibuktikan oleh majalah TIME, yang sejak September 2021 telah menjalankan inisiatif Web3-nya yang dinamai TIMEPieces, dengan komunitas yang beranggotakan lebih dari 50.000 individu sejauh ini.

Selama hampir setahun, TIME sudah merilis hampir 30.000 NFT, yang semuanya sudah berpindah tangan ke lebih dari 15.000 alamat wallet. Yang menarik, sekitar 7.000 dari wallet tersebut terhubungkan ke situs TIME untuk membuka akses paywall tanpa harus mencantumkan informasi pribadi sama sekali.

Kenapa komunitas penting? Kalau menurut bos besar TIME, Keith Grossman, komunitas itu berbeda dari audiens. Kepada Cointelegraph, Keith menjelaskan bahwa audiens itu sebatas beriteraksi dengan konten untuk sesaat, sementara komunitas memiliki nilai yang dipegang yang membuatnya termotivasi untuk berinteraksi secara konstan. Menurut Keith, tidak banyak orang di sektor penerbitan yang bisa membedakan dua kelompok ini, dan ia percaya Web3 memberikan kesempatan yang luar biasa bagi mereka yang bersedia untuk belajar dari kesalahan.

Gambar header: Charisse Kenion via Unsplash.