Selama ini, gamers sering dianggap sebagai penyendiri. Namun, seiring dengan semakin populernya game multiplayer online, stereotype itu pun mulai hilang. Sebaliknya, kini, game juga bisa dianggap sebagai alat komunikasi atau “tempat” untuk berkumpul.
Buktinya, selama pandemi, ketika orang-orang tidak bisa bertemu secara langsung, sebagian orang memilih untuk mengadakan acara penting — seperti pernikahan — di dalam game. Di Tiongkok, banyak laki-laki dan perempuan muda yang memilih untuk menunda perkawinan. Menariknya, gamers dan pemain esports justru menunjukkan ketertarikan lebih tinggi untuk menikah dan berkeluarga.
Kenapa Pemain Profesional Cenderung Mau Menikah Cepat?
Liao Lanfang, konsultan psikologis asal Shanghai mengatakan, elemen “role-playing” pada game bisa membuat para pemainnya ingin menikah dan memulai keluarga sendiri. Tak hanya itu, bagi orang-orang yang sudah punya pasangan, bermain game bersama juga bisa memperkuat hubungan di antara keduanya. Dengan begitu, pasangan tersebut akan punya kemungkinan lebih besar untuk berakhir di pelaminan.
“Pasangan yang sama-sama suka game online dan esports, mereka akan menghabiskan waktu bersama dengan bermain game. Dan interaksi dalam game online serta esports bisa mengajarkan mereka tentang cara untuk membangun hubungan yang sehat,” kata Liao, dikutip dari Caixin Global. “Memupuk rasa cinta dan hormat, serta membangun kemampuan komunikasi di dunia virtual bisa memperkuat hubungan dua orang di dunia nyata.”
Senada dengan sang psikolog, Liao Feiyu, mantan atlet esports, juga percaya, para gamers profesional punya kecenderungan lebih tinggi untuk menikah lebih cepat. Dia sendiri menjadi bukti dari hal ini. Di umurnya yang ke-27, dia sudah menikah dan memiliki bayi berumur 9 bulan.
Feiyu sendiri mulai bermain game mobile Honor of Kings sejak dia masih remaja. Ketika dia berumur 20 tahun, dia memutuskan untuk menekuni game MOBA ini sebagai karir. Dia kemudian membentuk tim dengan para pemain profesional lainnya.
Saat Feiyu masih berumur 23 tahun, dia memutuskan untuk berhenti bermain sebagai pemain profesional. Alasannya, jadwal latihan yang panjang — sejak 1 siang sampai 11 malam — membuatnya lelah. Selain itu, dia juga merasa, seiring dengan bertambahnya umur, refleksnya menjadi semakin lambat. Setelah berhenti sebagai pemain profesional, dia memilih untuk menjadi pelatih di sekolah esports yang terletak di Chongqing.
Tidak lama setelah itu, Feiyu bertemu dengan Wang Pan, yang nantinya akan menjadi istrinya. Orang tua Wang bekerja di kantin dari sekolah esports tempat Feiyu bekerja. Ibu Wang mengagumi Feiyu tidak hanya karena ketampanannya, tapi juga karena kesopanannya. Sang ibu pun terus mengirimkan foto Feiyu pada puterinya dan menanyakan apakah dia ingin bertemu dengan sang mantan pemain profesional. Di awal 2021, Feiyu bertemu dengan Wang untuk pertama kali.
“Saya ingat, saya memang punya rasa padanya,” aku Wang. “Saya malu dan muka saya memerah ketika saya melihatnya.” Kencan antara Wang dan Feiyu berjalan dengan lancar. Tidak lama setelah itu, mereka resmi menjadi kekasih. Hanya dalam waktu satu tahun, keduanya memiih untuk menikah.
Menurut Feiyu, atlet esports punya kemungkinan lebih besar untuk menikah cepat karena mereka memulai karir mereka saat mereka masih muda. Selain itu, mereka juga cenderung impulsif. Sebaliknya, kebanyakan generasi muda di Tiongkok mungkin memutuskan untuk menunda pernikahan setelah mendengar banyak berita negatif online. Feiyu mengatakan, berita negatif ini bisa membuat orang-orang merasa tidak percaya diri dan menganggap dirinya tidak cukup baik untuk menikah dan memiliki anak.”
Sementara itu, Liao Lanfang sang psikologis percaya, alasan utama mengapa pemain esports cenderung menikah muda adalah karena mereka punya gaji tinggi. Belum lama ini, survei menunjukkan bahwa banyak generasi muda Tiongkok yang memutuskan untuk menunda pernikahan karena mereka menganggap, keadaan ekonomi mereka belum memadai.
“Para pemain profesional bisa mengatasi tekanan ekonomi dengan lebih baik… Karena mereka punya lebih banyak pengalaman kerja dan gaji yang lebih tinggi dari rekan sejawat mereka,” kata Liao. “Setelah seseorang merasa bahwa keadaan ekonominya cukup baik, dia akan mulai berpikir tentang pernikahan dan anak.”
Game dan Hubungan Romantis
Li Yizhi, seorang mahasiswi di Shanghai, mengatakan bahwa jika dibandingkan dengan generasi sebelum mereka, dia dan teman-teman sebanyanya tidak terlalu tertarik untuk menikah. Kebanyakan teman perempuannya tidak ingin menikah atau memiliki anak, sementara sebagian besar pria tetap ingin menikah, tapi tanpa anak.
“Generasi muda sekarang sangat memprioritaskan perasaan dan kebahagiaan mereka sendiri,” kata Li. “Mereka tidak menganggap pernikahan atau memiliki anak sebagai ‘tujuan akhir’ seperti orang tua mereka.”
Saat ini, Li menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game. Dia percaya, game online bisa menjadi tempat untuk bertemu dengan teman baru atau bahkan kekasih. Namun, dia mengungkap bahwa dia tidak akan keberatan sekalipun kekasihnya tidak tertarik dengan game. “Bermain game virtual dating memberikan saya rasa puas dan membuat saya merasa senang,” ujarnya. “Tapi, mengenal seseorang di dunia nyata tetap lebih baik.”
Sama seperti Li, Jie — yang juga seorang gamer — tetap ingin bisa menikah. Tapi, menurutnya, game bukan cara yang tepat untuk membangun hubungan yang “nyata.” Dia juga mengaku, dia tidak ingin berpacaran dengan orang yang dia temui di dunia online. Memang, terkadang, dia “jatuh cinta” pada karakter virtual dalam game favoritnya. Hanya saja, dia tetap tidak merasakan kepuasan yang sama jika dia menjalin hubungan dengan seseorang di dunia nyata. Tapi, bermain game sendiri selama waktu lama membuatnya ingin membangun pertemanan yang lebih dekat di dunia nyata.
“Karakter dalam game punya karakteristik yang sudah ditentukan. Sementara orang di dunia nyata terus berubah,” kata Jie, yang enggan untuk menyebutkan nama aslinya. “Berkeluarga membuat saya senang. Perasaan ini tidak bisa saya dapatkan dengan bermain game online.”
Sementara itu, bagi Hu Ying dan Naqing, gaming merupakan cara mereka untuk memperkuat hubungan mereka. Hu dan Naqing sama-sama memiliki gangguan bipolar. Mereka pertama kali bertemu di media sosial Douban. Keduanya saling berbagi tentang bagaimana gangguan bipolar mempengaruhi kehidupan mereka. Dan mereka merasa cocok.
Sayangnya, tidak lama setelah keduanya memutuskan untuk berpacaran, mereka harus putus untuk sementara. Pasalnya, Naqing harus melawan depresi dan Hu mengalami mood swings ekstrem. Pada akhirnya, bermain game online-lah yang membuat keduanya kembali menjadi dekat.
Baik Hu dan Naqing sama-sama suka bermain game. Mereka juga senang memainkan It Takes Two, game kooperative yang bercerita tentang pasangan suami istri yang harus menghadapi berbagai tantangan agar mereka bisa rujuk. Hu mengaku, ketika dia tidak bisa melewati level di game tersebut, dia akan merasa gelisah. Dan Naqing akan datang untuk membantunya.
Sumber header: Pexels