Dunia musik, terutama dari sisi industri dan bisnis, memiliki banyak tantangan, bahkan ada yang sampai disebut dengan musuh, mulai dari kreativitas yang mandek hingga plagiarisme. Tetapi mungkin hampir semua orang sepakat bahwa musuh utama dunia musik (dan juga industri kreatif lain seperti buku dan film) adalah pembajakan. Dengan perkembangan teknologi, pembajakan menjadi semakin mudah dan bisnis musik membutuhkan penyesuaian yang cepat untuk dapat mengalahkan para pembajak.
Hadirnya format digital, seperti MP3 dan format lainnya, semakin membuat pembajakan lebih mudah, tetapi, di sisi lain pertumbuhan teknologi digital juga bisa dimanfaatkan untuk melawan pembajakan. Apalagi format kaset atau CD fisik yang dijual di toko fisik, lambat laun tergantikan oleh format digital melalui toko online, atau bahkan streaming musik.
Di Indonesia, di negara yang aksi pembajakan musik dikatakan merugikan negara hingga Rp 4,5 triliun per tahun, muncul Musikator yang mencoba menjadi fasilitator para musisi untuk menjual musiknya secara online.
Musikator yang digawangi oleh Robin Malau, awalnya pada 2008 adalah blog komunitas khusus musisi Bali. Kemudian Robin dan kawan-kawan mengembangkan Musikator ini berdasarkan idealisme “Semua orang bisa menciptakan musik dan menjual musiknya. Semua orang, tanpa kecuali!”
Ternyata, perkembangan Musikator sebagai musik agregator berkembang pesat. Dimulai pada akhir 2012, kini mereka telah menjadi musik agregator yang berskala nasional. Bahkan bisa dikatakan berskala internasional sebab sejak Juli 2013, semua lagu dari Musikator didistribusikan melalui Nokia Store di seluruh dunia.
Bukan itu saja, sejak November 2013 Musikator resmi melakukan kerjasama distribusi dengan Deezer, layanan streaming musik asal Prancis.
Deezer adalah platform digital yang memungkinkan pengguna dapat mendengarkan lagu, berbagi playlist dan menemukan tren musik baru. Platform Deezer telah beroperasi di banyak negara dengan skema layanan berbayar dan iklan yang membuat Deezer bisa membayar label dan pencipta lewat skema bagi untung. Secara resmi lagu-lagu dari band yang tergabung dengan Musikator akan dapat dinikmati melalui platform Deezer.
Band-band yang tergabung –atau biasa disebut sebagai creator– kini sudah banyak, sebut saja seperti Burgerkill, Seringai, Homogenic, Mocca, The S.I.G.I.T, Hollywood Nobody, Puppen, Alone At Last, Roxx, Wonderbra, Speedkill, Under 18, The Milo, Gabriel Mayo, A.F.F.E.N, Rosemary, Pure Saturday, dan masih banyak lagi.
Lalu, apa kunci sukses musik aggregator seperti Musikator ini? Jawabannya, mungkin saja karena banyak pihak yang membutuhkan layanannya.
“Mereka (layanan streaming musik, online store dan lain-lain) tidak bisa meng-handle begitu banyak band. Fokusnya masing-masing pun berbeda. iTunes dan Nokia fokus pada berjualan konten dan device, Deezer fokus pada streaming, Guvera fokusnya marketing dan trending. Sehingga mereka tidak punya waktu untuk deal dengan musisi, jadi bisnis agregator ini bisa membantu,” jelasnya.
Inilah yang membuka celah bagi bisnis musik agregator. Toko online dan layanan streaming musik hanya perlu melakukan perjanjian kepada satu agregator musik, kemudian segala urusan dengan pembayaran, transfer bank, atau bagi untung dikerjakan oleh agregator musik.
Meski demikian, tentu saja sukses ini tidak bisa diraih semudah membalik telapak tangan. Kendalanya tentu adalah memilih prioritas yang harus didahulukan, menyiapkan infrastuktur untuk berjualan atau mendekati para musisi? “Kayak ayam sama telur, mana yang duluan, mau bikin toko duluan atau konten dulu. Kalau bikin toko dulu, mau jualan, artisnya enggak ada. Kontennya ada, tokonya cuma satu.”
Bahkan kepada DailySocial Robin menuturkan sempat ingin mengambil jalan pintas, dengan bekerjasama dengan aggregator lain sehingga toko yang bisa dipakai untuk berjualan bisa lebih banyak. “Tapi diputuskan untuk tidak melakukan itu.”
Ia mengaku beruntung karena sejak awal sudah dapat dukungan dari para musisi. “Burgerkill, Bottlesmoker, dan Efek Rumah Kaca, mereka yang pertama sign. Setelah itu beberapa band lain bergabung. Padahal Musikator hanya memiliki satu toko, yakni di Nokia Store.”
Keberuntungannya berlanjut. Robin menuturkan perkenalannya dengan Dezeer murni melalui email, dengan memanfaatkan jaringan LinkedIn. Lewat email, Robin berinisiatif untuk mengenalkan Musikator kepada Deezer. “Semua proses perjanjian melalui email hingga akhirnya deal untuk tanda-tangan, CEO bertemu dengan CEO,” ujarnya.
Robin pun mengungkap tantangannya tidak hanya terletak kepada edukasi pasar. Mengingat streaming merupakan sesuatu yang baru, yang membawa penikmat dan pencipta ke dalam sebuah era baru. Artinya ketika era berubah, yang terjadi juga perubahan perilaku dan kebiasaan, dan ini yang paling sulit. “Bayangkan fans Mocca yang bertahun-tahun memiliki kebiasaan mendengarkan musik melalui CD, harus beralih streaming,” ujar Robin.
Pendidikan tak hanya penting untuk pasar, namun juga bagi musisi, dengan pengertian bahwa jalur digital tidak hanya memberikan tantangan baru yang memudahkan pembajakan karya namun juga membuka jalur penyebaran dan pendapatan baru yang sejalan dengan perkembangan jaman, teknologi, dan perubahan perilaku konsumen. Semua itu membutuhkan cara berpikir serta strategi bisnis yang dapat beradaptasi dengan mudah untuk menyesuaikan dengan pasar yang semakin dinamis.
[Ilustrasi foto: Shutterstock]