Dark
Light

Perjalanan Berliku J.P. Ellis Membangun Bisnis Sebagai Penduduk Asing di Indonesia

13 mins read
February 8, 2021
J.P. Ellis menceritakan perjalanannya menjalankan bisnis di Indonesia. Kewirausahaan tidak pernah mudah di negara mana pun, terutama bila bukan penduduk asli
Co-Founder dan CEO C88 Group, J.P. Ellis

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

John Patrick Ellis, yang akrab disapa J.P., adalah pengusaha teknologi dan keuangan yang telah berbasis di Indonesia selama 15 tahun terakhir. Lahir di Amerika Serikat lalu tumbuh besar di Asia dan Eropa, ia pertama kali datang ke Indonesia untuk bekerja di bidang pembangunan (NGO) pada tahun 2005 dan tetap di sini hingga saat ini sebagai pendiri startup fintech.

Perjalanan karir J. P. penuh dengan pilihan dan kebetulan yang tidak terduga. Berawal dari industri hukum New York hingga pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat di Flores, berperan dalam asosiasi di firma ekuitas swasta regional, meluncurkan aplikasi pesan berbasis lokasi yang dimulai pada tahun 2012, hingga terlibat dalam pendirian Asosiasi Fintech Indonesia dan mendirikan sebuah perusahaan fintech regional yang terbilang sukses.

Dengan latar belakang ilmu politik, hubungan internasional, dan bahasa, J. P. memiliki pengalaman luas dalam kewirausahaan, teknologi, dan perencanaan. Dalam perannya saat ini sebagai CEO grup C88 Financial Technologies, ia mengawasi bisnis fintech yang beragam dalam pengambilan keputusan kredit, analisis keuangan, penilaian kredit, dan ruang peminjaman pasar dengan lebih dari 400 karyawan di Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, Australia dan Cina. Tim DailySocial berkesempatan untuk berdiskusi J. P. terkait perjalanannya, mengapa Indonesia, mengapa fintech dan bagaimana rasanya mencoba dan berhasil sebagai imigran non-pribumi. Setengah dari diskusi kami terjadi dalam bahasa Inggris, dan dilanjutkan dengan bahasa Indonesia yang sangat baik, di mana J.P. berekspresi cukup fasih tetapi dengan sedikit aksen.

Ketika masih muda, pernahkah terpikir oleh Anda untuk memulai bisnis atau menjadi seorang CEO?

Saya lahir di Amerika Serikat tetapi saya menghabiskan masa kecil saya dengan berpindah-pindah setiap beberapa tahun di Asia dan Eropa. Pengalaman berpindah-pindah ini mendefinisikan masa muda saya, dan menjadikan saya orang yang mudah beradaptasi, tangguh, dan berpikiran terbuka.

Sewaktu kecil, impian saya adalah menjadi perenang profesional. Saya berlatih keras dan hasilnya cukup baik dalam kompetisi. Tetapi sekitar usia 16 tahun, saya menyadari kemampuan saya belum bisa mencapai level Olimpiade. Kemudian, saya mengurangi fokus pada olahraga lalu beralih lebih kepada sekolah dan belajar. Tetapi etos kerja yang kuat dari pelatihan renang tetap melekat pada saya, dan telah sangat membantu saya selama bertahun-tahun.

Sejak usia muda, saya selalu suka memikirkan cara memecahkan masalah, tetapi baru di umur ke sekian saya menyadari bahwa hal itu dapat diwujudkan sebagai pendiri. Banyak hal yang saya lakukan sebelum mencapai titik itu, tetapi benang merah karir saya fokus pada pemecahan masalah.

Anda memiliki latar belakang pendidikan di bidang ilmu politik dan hubungan internasional, apa yang sesungguhnya menjadi passion Anda dan bagaimana keduanya bisa berjalan seiring?

Saya gemar memecahkan masalah dan mempertanyakan bagaimana dunia bekerja. Mungkin hal inilah yang benar-benar mendorong dan mendefinisikan saya. Di Indonesia, dan di seluruh dunia, banyak sekali masalah yang harus diselesaikan, hal itu menciptakan peluang bisnis. Memang tidak semuanya, namun kebanyakan. Banyak perusahaan raksasa dunia berawal dari sini.

Saya lulus dari Universitas Columbia. Lulusan seperti saya biasanya akan melanjutkan gelar Juris Doctor dari sekolah hukum. Kebanyaan teman sudah melakukan ini dan saya berniat melakukannya juga. Setelah lulus, saya bekerja di industri hukum New York di bidang penyelesaian sengketa. Hal itu sangat menarik dan pekerjaan berjalan sangat lancar, tetapi saya hanya duduk di meja sepanjang hari. Ada sedikit rasa hampa. Kemudian, saya melamar beberapa program untuk pekerjaan pembangunan (NGO) dunia. Saya menerima banyak tawaran termasuk satu dari Princeton-in-Asia, tetapi tawaran yang paling menarik adalah dari program afiliasi Universitas Stanford bernama ViA untuk bergabung dengan sebuah proyek di Flores, pedesaan timur Indonesia.

Saat itu, segala sesuatu di Flores sangat terbatas. Tidak ada listrik, tidak ada sinyal, dan tidak ada air ledeng. Kami harus berjalan melewati hutan untuk sampai ke desa-desa. Mungkin karena ini, tempat itu menjadi penuh dengan kehangatan dan komunitas yang luar biasa. Saya berinteraksi dengan orang Tado, belajar bahasa Manggarai, dan membantu mewujudkan beberapa inisiatif baik di bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat untuk masyarakat desa, bekerja dengan guru dan Puskesmas mereka. Itu adalah pengalaman yang sangat memuaskan tetapi juga membuka mata saya.

J.P. Ellis with the district head and ethnic leaders At Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT in 2015
J.P. Ellis bersama Bupati dan Tokoh Etnis di Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT pada tahun 2005

Setelah itu, saya bekerja dengan pengusaha sukses, John dan Cynthia Hardy, yang menjual perusahaan perhiasan internasional mereka kepada perusahaan ekuitas swasta. Setelah penjualan, John dan Cynthia kemudian meminta saya untuk membantu mereka mengubah sebidang tanah kosong di Sibang Kaja, selatan Ubud, menjadi Sekolah Hijau; sebagai karyawan pertama di sana. John dan Cynthia sangat karismatik dan sangat inovatif. Sungguh menyenangkan dikelilingi antusiasme dan energi positif setiap hari. Melalui mereka, saya bertemu dengan istri saya Agatha yang juga bekerja di sana. Saat ini kami telah menikah selama hampir 13 tahun dan memiliki dua anak.

Saya kemudian mendapat kesempatan untuk bergabung dengan firma ekuitas swasta regional di Singapura dan Jakarta yang didirikan oleh Tom Lembong. Itu disebut Quvat Capital dan Principia Management. Saya belajar banyak dari Tom dan sangat menikmati bekerja untuknya, Brata, dan tim. Saya menghabiskan lebih dari empat tahun di sana dan melakukan banyak proyek yang bervariasi termasuk due-diligence perusahaan, pengadaan dan eksekusi kesepakatan, penggalangan dana, relasi investor, penelitian, restrukturisasi situasi khusus, dan bahkan perdagangan.

Sepanjang waktu ini, saya sangat menikmati berada di sekitar orang-orang pintar dan bekerja langsung dengan perusahaan dalam lingkungan yang dinamis dan bergerak cepat. Meskipun Jakarta adalah kota besar dalam banyak hal, Jakarta mempertahankan nilai-nilai komunitas yang lebih kecil; sopan santun. Saya merasa waktu yang saya habiskan di pedesaan Indonesia bisa membantu saya memahami keaadaan di ibukota pada tingkat yang lebih dalam daripada jika saya datang ke Jakarta langsung dari New York, Paris, atau San Francisco. Adalah sangat penting untuk memahami berbagai hal baik di tingkat mikro maupun makro. Anda tidak dapat benar-benar memahami satu tanpa yang lain.

Sebelum memulai C88Group dan CekAja, Anda sempat mendirikan Harpoen Mobile. Boleh berbagi sedikit cerita tentang perusahaan tersebut?

Sejak tahun 2011, saya yakin bahwa internet akan menjadi kekuatan ekonomi yang sangat kuat di Asia Tenggara. Melihat ke belakang, saya mendapati bahwa tindakan ini terlalu awal. Namun saat itu saya belum menyadarinya. Ditambah lagi, setelah beberapa tahun di bidang private equity, saya merasa ingin memulai dan mengembangkan bisnis sendiri. Saya ingin menciptakan sesuatu dan memecahkan masalah, mudah beradaptasi, dan suka tantangan dan petualangan. Dalam banyak hal, startup teknologi menjadi sarana yang tepat untuk mengekspresikan dan mendalami semua ini.

Kami meluncurkan Harpoen Mobile di atas meja makan saya dan rilis produk pertama kami adalah aplikasi iOS dan Android berbasis lokasi yang disebut Harpoen. Kami kemudian menambahkan tumpukan produk gratis yang disebut Mapiary, yang pada dasarnya adalah server iklan berbasis lokasi, dalam upaya untuk menghasilkan pendapatan lebih.

Saya dan rekan pendiri saya senang kami mencoba sesuatu yang orisinal. Saat itu, banyak startup di kawasan ini cenderung meniru model yang sudah ada. Kami merasa bangga karena kami mencoba ide baru. Syukurlah, kami memiliki banyak teman di komunitas teknologi serta media yang mendukung dan menyemangati kami. Kami sempat mewakili Indonesia di World Summit Awards untuk inovasi seluler di Abu Dhabi pada awal 2013, dan menang! Itu merupakan sebuah pencapaian yang cukup bisa diakui dalam hal inovasi.

Tetapi inovasi saja tidak cukup. Pada startup pertama, kemungkinan besar, Anda akan melakukan banyak kesalahan. Kami merasakannya sendiri. Dalam memilih lokasi sebagai inti layanan kami, kami tertahan pada matematika GPS yang tidak fleksibel dan kompleksitas saturasi informasi. Untuk meringkasnya secara singkat, di jaringan informasi biasa konten ada pada dua sumbu, biasanya pencipta dan kebaruan atau relevansi. Lokasi memperkenalkan sumbu ketiga dan dengan demikian mencapai kepadatan informasi matematika secara eksponensial lebih sulit: dunia adalah tempat yang besar dan tidak peduli seberapa besar Anda membuat vektor GPS, akan selalu ada tempat di luar jangkauan dengan konten lama atau tidak ada konten sama sekali. Inilah alasan mengapa banyak layanan berbasis lokasi seperti FourSquare dan Highlight tidak sesukses yang diperkirakan semua orang pada tahun 2012. Dalam bahasa ilmu komputer, konten berbasis lokasi akan digambarkan sebagai algoritma dengan “kompleksitas eksponensial”.

Secara retrospektif, bahkan jika kami telah sukses besar-besaran dan mencapai DAU, model komersial tidak akan berhasil karena monetisasi iklan dan CPM secara komersial sangat sulit untuk diukur di Indonesia bahkan sekarang, apalagi di tahun 2012.

Jadi, setelah setahun mencoba – dan banyak pengalaman luar biasa termasuk menjadi pendiri pertama yang melakukan pitch di TechInAsia Summit pertama di Jakarta pada tahun 2012 – saya bertemu dengan perusahaan periklanan berbasis di Toronto, Kanada yang berencana untuk mengkomersialkan lokasi ke klien perusahaan. Server iklan lokasi Mapiary kami dapat membantu klien mereka seperti Nike mengajak orang-orang melakukan joging interaktif, atau Heineken mengajak orang-orang menjelajahi pub interaktif. Ada banyak kasus penggunaan yang menarik dan mereka sangat antusias, dan saya merasa teknologinya juga lebih cocok untuk Amerika Utara, jadi mereka akhirnya mengakuisisi apa yang telah kami bangun dan saya dapat mengembalikan modal kepada investor. Secara keseluruhan, memang bukan kesuksesan komersial, tetapi memberi saya banyak keberanian dan pengalaman.

Apa yang mendorong Anda untuk membuat CekAja?

Setelah Harpoen Mobile, saya tetap bersemangat mengenai startup. Saat itu, komunitas startup di Indonesia masih cukup kecil dan semua orang saling mengenal. Saya banyak berpikir tentang perubahan dan peluang apa yang akan diciptakan dengan meningkatkan digitalisasi ekonomi, dan teman dekat saya Sebastian Togelang dan Andy Zain juga melakukan hal yang sama. Di penghujung 2013, kami semua berkumpul untuk mendirikan Kejora Ventures. Saya bertindak sebagai entrepreneur-in-residence. Saya mulai membangun perusahaan fintech saya di gedung Barito Pacific di Jakarta, berdampingan dengan Kejora.

Kami memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa dan diluncurkan di Jakarta dan Manila pada waktu yang bersamaan. Sangat tidak biasa untuk meluncurkan produk di dua negara secara bersamaan, tetapi kami memiliki sumber daya teknis yang dalam dan pendiri yang kuat seperti Stephanie Chung di Manila. Ditambah lagi, fintech di kedua pasar cukup mirp di awal tahun 2013; tidak terjadi satu pasar lebih maju dari yang lain. Jadi kami merasa mengambil pendekatan “sekali dayung dua tiga pulau terlampaui” akan membantu kami berkembang lebih cepat.

Kami menjadi salah salah satu perusahaan pertama di Jakarta dan Manila yang berhubungan dengan bank terkait model kerjasama fintech/bank. Dengan cepat kami berlari melihat dan mengunjungi setiap ruang rapat di bank. Tetapi yang tidak kami manfaatkan dengan baik saat itu adalah lamanya bank harus beradaptasi dan berubah. Bahkan sekarang, saya masih heran ada banyak bank di wilayah ini yang masih belum mengarah ke digital. Hal ini sebagian dapat dijelaskan oleh sisa trauma sektor perbankan dari krisis ’98, dan bahwa institusi besar memiliki insentif yang menghukum kegagalan lebih dari mereka menghargai kesuksesan, sedangkan startup adalah kebalikannya. Jadi insentif asimetris adalah penjelasan terbaik saya ketika orang bertanya kepada saya mengapa laju perubahan tidak secepat ini. Perubahan sedang terjadi, dan COVID-19 telah mempercepatnya.

Di masa-masa awal, kami juga menyadari bahwa undang-undang dan peraturan perlu dikembangkan untuk mendukung inovasi fintech. Mulai tahun 2014, saya bergabung dengan beberapa pengusaha fintech lainnya seperti Niki Luhur, Karaniya Dharmasaputra, Budi Gandasoebrata, Aldi Hariyopratomo, Ryu Kawano, Alison Jap, dan banyak lagi lainnya untuk memulai apa yang kini telah menjadi Asosiasi FinTech Indonesia. Kami juga melakukan pekerjaan advokasi kebijakan serupa di Filipina. Ini menciptakan apa yang menurut saya merupakan momentum untuk banyak regulasi dan aktivitas fintech yang kita lihat saat ini di kedua pasar ini.

Selama bertahun-tahun, baik bisnis maupun asosiasi telah tumbuh dan berkembang. Dalam bisnis sekarang, kami memiliki agregasi pasar, pinjaman pasar, penilaian kredit, agregasi skor, insurtech, solusi manajemen data, analitik, dan manajemen risiko kredit, dan perangkat lunak pengambilan keputusan yang tersedia di cloud dan sebagai lisensi. Kami bermitra dengan Anton Hariyanto, Sulaeman Liong dan Rainier Widjaja untuk kapabilitas perusahaan dan klien kami hampir di setiap bank di negara ini.

Kami memiliki tim yang luar biasa, dan tentu saja ada banyak kemunduran dan tantangan di sepanjang jalan, namun kami bertumbuh dan memberikan nilai kepada klien dan industri. Sementara di Asosiasi, pertumbuhan luar biasa sedang terjadi dan sekarang terdapat ratusan perusahaan fintech di negara ini, dan undang-undang fintech yang jelas, serta keterlibatan yang luar biasa dengan OJK dan BI. Karena itu, menurut saya Indonesia memiliki beberapa hukum dan kebijakan fintech paling inovatif dan jelas di seluruh dunia. Ini adalah pekerjaan seluruh industri dan saya sangat bangga telah memainkan peran kecil di dalamnya.

Pada tahun 2018, C88 Financial Technologies (perusahaan induk CekAja), menerima investasi minoritas strategis dari perusahaan penilaian kredit global Experian.

Anda telah melihat pasar di beberapa belahan dunia, apa yang membuat Asia Tenggara berbeda, khususnya Indonesia?

Wilayah ini unik karena demografi, tingkat pertumbuhan, dan tingkat suku bunganya. Secara regional, Indonesia unik karena ukurannya. Pasar lain di Asia Tenggara masing-masing memiliki kepentingannya sendiri, dan untuk menjadi sukses secara regional, ada prinsip yang harus Anda perhatikan dengan benar untuk menyeimbangkan kekuatan setiap pasar secara harmonis disamping kelemahan pasar lainnya. Misalnya, walaupun Indonesia besar dan penuh potensi, monetisasi sangat sulit dan konsumen serta perusahaan sangat sensitif terhadap harga. Pasar lain mungkin memiliki jalur monetisasi yang lebih mudah, tetapi ukuran pasar yang lebih kecil dan pertumbuhan yang lebih sedikit. Oleh karena itu, pendekatan terbaik untuk wilayah tersebut menciptakan keseimbangan di antara elemen-elemen ini.

Bagi mereka yang ingin memulai bisnis teknologi di wilayah ini, mereka harus tahu bahwa pasar sedang bergerak cepat, dan akan tetap seperti ini selama bertahun-tahun yang akan datang. Jangan terintimidasi oleh seberapa cepatnya bergerak atau berpikir itu “terlambat” sama sekali. Sekarang ada penggunaan internet dan penetrasi perangkat seluler yang signifikan, ekosistem usaha yang dinamis dengan banyak modal dan investor profesional, pemimpin dan kisah sukses yang menginspirasi, ada super-app dan juga kisah exit yang sukses melalui penjualan dan IPO. Teknologi cloud mulai muncul dan semakin berkembang dan ini akan membuka jalan bagi model SaaS, undang-undang lebih jelas, dan sekarang COVID-19 telah menciptakan dorongan digitalisasi besar-besaran ini. Setelah semua orang divaksinasi dan ekonomi terbuka kembali, jelas akan ada percepatan model bisnis yang didukung teknologi.

Namun, penting juga untuk tidak membangun startup. Namun, mulailah dengan bisnis. Ketahui ekonomi Anda, ketahui jalan menuju monetisasi dan laba, fokuslah untuk melakukannya dengan baik daripada metrik canggih atau sekedar viral. Terkadang sulit untuk membedakannya, terutama bagi pendiri muda, dan ketika media terengah-engah dan investor menuntut pertumbuhan untuk memenuhi ekspektasi pengembalian dari portofolio mereka. Tetapi sebagai seseorang yang telah melakukan banyak hal dalam bidang ini selama bertahun-tahun, mengalami kesuksesan dan kegagalan, saya dapat mengatakan bahwa ketika Anda benar-benar ingin memulai, mulailah dari bisnisnya dan bukan hanya startupnya.

Menjadi entrepreneur itu tidak mudah, terlebih sebagai sorang pendatang. Apa saja tantangan yang Anda hadapi ketika sampai dan membangun bisnis di Indonesia?

Saya merasa sangat disambut di sini. Negara ini telah memberi saya begitu banyak dan saya bersyukur untuk itu. Saya menyukai pekerjaan yang saya lakukan setiap hari, orang-orang yang bekerja dengan saya, dan peluang yang kami miliki untuk memecahkan masalah dan membangun industri yang lebih baik, masyarakat yang lebih baik, dan negara yang lebih makmur.

Saya pikir setiap kesulitan yang saya alami adalah kesulitan yang dialami setiap pendiri: menyesuaikan diri dengan pasar produk, bergulat untuk berada di sisi kanan unit ekonomi, membangun tim yang hebat dan budaya yang sehat, menavigasi krisis COVID-19, dan sebagainya. Saya bahkan tidak akan menyebut kesulitan ini – inilah inti dari menjadi seorang pendiri.

Dalam hal sebagai orang asing, sejujurnya saya bahkan tidak merasakannya lagi. Bagi orang yang mengenal saya dengan baik, hanya ada sedikit gesekan antara diri bule saya dan diri Indonesia saya. Saya merasa nyaman di kedua sisi dan saya menyukainya.

Dengan segudang pengalaman dalam berbisnis, apakah masih ada harapan Anda yang belum tercapai? Pernahkah terpikir untuk pada akhirnya kembali ke Amerika Serikat?

Saya tertarik pada banyak hal dan saya merasa dapat terus menciptakan produk dan layanan yang baru dan inovatif selama beberapa dekade mendatang. Ada banyak hal yang ingin saya lakukan, banyak masalah yang harus diselesaikan, dan inovasi baru yang harus dibuat.

Khususnya di fintech, industri ini masih di tahap awal. Saya sangat yakin dalam dekade mendatang, perusahaan teknologi akan menjadi yang memanfaatkan data, membuat produk, menulis perangkat lunak, membangun analitik, dan membuat pengalaman pelanggan untuk membuat konsumen dan bisnis Indonesia menjadi bank universal, serta kompetitif secara regional dan global.

Mengenai Amerika Serikat, saya mengakui bahwa negara tersebut perlu membangun kembali masyarakat dan mempercayai serta memulihkan lembaganya dalam konteks pasca-Trump. Amerika Serikat akan membutuhkan orang-orang yang energik dan berkomitmen yang bersedia menyingsingkan lengan baju dan membantu melakukan itu. Saya tidak mengesampingkan bahwa suatu hari nanti, saya mungkin ingin kembali untuk berperan di dalamnya. Tapi sekarang, perusahaan, klien, teman, dan keluarga saya membutuhkan saya di sini, di Indonesia dan di Asia Tenggara. Perlu diingat, kami juga memiliki kehadiran yang signifikan di Filipina, dan ratusan karyawan serta bisnis besar di sana, dan ada banyak peluang di sana yang menyemangati saya.

Terkait pandemi yang sedang terjadi, apakah ada perubahan signifikan yang terjadi pada bisnis Anda?

Klien kami adalah bank dan lembaga jasa keuangan. Banyak yang terpaksa menunda atau menghentikan proyek dan kegiatan karena pandemi. Meskipun mereka tidak berniat untuk menunda, beradaptasi dengan sistem  kerja dari rumah untuk organisasi besar seperti itu merupakan sebuah tantangan, banyak penundaan yang tidak disengaja. Sebagai sebuah bisnis, kami harus sangat fleksibel dan adaptif dengan kenyataan ini untuk memastikan kami dapat terus melebihi ekspektasi klien kami. Kabar baiknya adalah klien kami membutuhkan solusi digital. Kami mengantisipasi iklim pasca-vaksin yang sangat menggembirakan bagi klien dan bisnis kami.

Memasuki tahun 2020, kami merasa siap seperti perusahaan mana pun untuk apapun yang terjadi. Kami memiliki beberapa eksekutif di Beijing, dan karena itu, tim eksekutif dan saya telah menyadari sedini mungkin sejak pertengahan Januari tahun lalu bahwa pandemi global mungkin terjadi. Kami memiliki skenario yang mengarah ke tingkat yang menakutkan yang untungnya penyakit itu tidak pernah mendekati.

Ketika lockdown mulai terjadi di Filipina dan Indonesia pada bulan Maret tahun lalu, saya mengumpulkan seluruh perusahaan dan kami menyusun strategi yang jelas tentang apa yang akan kami lakukan untuk bertahan dari krisis dan memastikan kelangsungan bisnis.

Kami memiliki tingkat kesinambungan bisnis yang sangat spesifik, dan kami menyuruh semua orang pulang untuk bekerja sesuai arahan, kebijakan, dan instruksi yang jelas. Saya juga membuka memo strategi dwi-bahasa kami dan mengirimkannya ke banyak perusahaan dan startup lain. Saya ingin apa yang kami lakukan untuk menanggapi COVID-19 dapat diakses oleh orang lain yang mungkin memiliki keragu-raguan apakah itu akan memengaruhi mereka. Kami mengira COVID-19 akan menciptakan krisis yang akan berlangsung lama dan berat, dan sayangnya, kami benar.

Jelas, tim saya dan saya mampu membuat perubahan yang sesuai pada bisnis untuk menempatkan kami di jalur yang baik. Kami terus melayani klien kami dengan baik, tumbuh secara menguntungkan, dan berinovasi di segmen pasar kami. Dengan vaksin yang mulai diluncurkan sekarang, kami mulai beralih ke pola pikir optimis untuk tahun 2022 dan seterusnya. Kami merasa tahun 2021 akan terus sulit untuk sebagian besar tahun ini, dengan beberapa peningkatan menjelang semester kedua.

Apa yang ingin Anda sampaikan pada para entrepreneur di luar sana yang ingin memulai bisnisnya namun terhalang oleh pandemi?

Menurut saya, tidak ada waktu yang lebih baik untuk memulai bisnis teknologi. Ya, virus menciptakan tantangan, tetapi vaksinnya juga hampir tiba. Fokus pada tahun 2022 dan seterusnya. Dan jangan berpikir akan terlambat. Dalam teknologi, tidak ada yang benar-benar berakhir karena inovasi akan selalu lahir. Kode terus dikompilasi ulang. Memang benar bahwa hampir 90% dari startup gagal, tetapi jika Anda fokus membangun bisnis daripada memulai, Anda sudah meningkatkan peluang sukses Anda. Hampir setiap pengetahuan yang Anda butuhkan dapat diakses dan mudah dipelajari. Yang dibutuhkan hanyalah komitmen dan kerja keras untuk melakukannya. Saya melakukan ini, dan banyak kolega serta teman saya yang berkinerja tinggi juga melakukannya. Kami tidak hanya secara ajaib mempelajari subyek baru. Sebaliknya, ini adalah upaya terus-menerus untuk tetap mengetahui apa yang baru dan terkini dengan teknologi dan dunia.

Untuk memulai sebuah perusahaan, Anda harus mengidentifikasi di mana letak masalah besar, bagaimana Anda menyelesaikannya dan bagaimana Anda mengubahnya menjadi sebuah bisnis. Pola pikir ini adalah sesuatu yang saya pelajari dan kembangkan selama bertahun-tahun. Fokus pada masalah dan pelanggan, jadilah mesin pembelajaran, jadilah optimis dan realistis pada saat yang sama, perlakukan orang lain dengan baik, fokus pada komunitas, dan hasilnya akan baik. Indonesia membutuhkan lebih banyak pemecah masalah, hal itu bisa menjadi alasan untuk Anda bisa maju dan menyelesaikan masalah. Kita bisa. Anak bangsa bisa. Saya optimis kok.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Previous Story

Berkat Rancangan Modular, Speaker Beosound Level Bakal Punya Umur Panjang

Next Story

KamLan KL 32mm F1.1 Adalah Lensa Manual Rp4 Jutaan untuk APS-C dan MFT

Latest from Blog

Don't Miss

Lebih Parah dari Kasus Doni Salmanan, Inilah 7 Kasus Penipuan Terbesar di Industri Teknologi

Startup selalu berusaha mencari cara untuk mendisrupsi status quo menggunakan
Startup fintech payment gateway Xendit merambah sektor perbankan dengan mendirikan PT Bank Perkreditan Rakyat Xen (BPR Xen) yang berlokasi di Depok

Xendit Rambah Perbankan, Dirikan Bank Perkreditan Rakyat Xen

Ekspansi bisnis startup unicorn di sektor fintech, Xendit, kini sudah