Masih banyak orangtua yang menganggap bahwa keberadaan program esports di sekolah akan mengganggu proses pembelajaran anak. Namun, laporan dari Extreme Networks dan eCampus News menunjukkan bahwa program esports justru bisa dijadikan sebagai cara untuk mendorong siswa agar lebih rajin pergi ke sekolah.
Untuk membuat laporan ini, Extreme Networks dan eCampus News melakukan survei pada 281 pemimpin sekolah dan universitas di Amerika Utara, Amerika Latin, Asia Pasifik, Eropa, dan Timur Tengah, lapor Unilad. Dari survei itu, terlihat bahwa 21 persen sekolah telah memiliki program esports. Sementara 26 persen sekolah tertarik untuk membuat program esports dan 45 persen mempertimbangkan untuk memulai program esports. Sebanyak 56 persen responden mengatakan, alasan mereka membuat program esports di sekolah dan universitas adalah untuk membuat kehidupan sekolah menjadi lebih menyenangkan bagi para siswa. Selain itu, program esports juga dianggap bisa mendorong ketertarikan siswa di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics).
Sementara itu, ketidaktertarikan pihak administrasi atau fakultas menjadi salah satu tantangan untuk memulai program esports. Dua masalah lain yang sering dihadapi adalah biaya yang mahal dan ketidaktahuan pihak sekolah atau universitas dalam mengeksekusi program esports. Menurut laporan Net Imperative, 59 persen sekolah yang sudah memiliki program esports sudah memiliki fasilitas khusus atau berencana untuk membuat fasilitas tersebut. Memang, infrastruktur IT memegang peran penting untuk memastikan program esports berjalan dengan baik.
“Esports telah menjadi fenomena global dan kami mulai mengerti manfaat esports bagi dunia pendidikan,” kata Director of Vertical Solutions Marketing, Extreme Networks, Bob Nilsson, dikutip dari Net Imperative. “Institusi pendidikan yang memiliki visi ke depan sadar bahwa program esports membuat siswa lebih tertarik ke sekolah dan mengajarkan mereka keahlian baru.” Omongan Nilsson didukung oleh program uji coba yang dilakukan oleh kepala sekolah Kristy Custer dan guru Michael Russel di Texas. Dalam program uji coba itu, mereka menggunakan kurikulum Gaming Concept dari High School Esports League (HSEL).
@Microsoft and @HSELesports have dropped a complete curriculum for a high school gaming course, called Gaming Concepts. Check it out and much more on our resources page. https://t.co/3e3j2OQB9K pic.twitter.com/L5mSb6potM
— Esports Ohio (@esports_ohio) July 23, 2019
Kurikulum yang dibuat dengan bantuan Microsoft itu dibuat dengan tujuan untuk membuat siswa tidak hanya sukses secara akademis, tapi juga sukses di luar ruang kelas. Melalui program uji coba ini, para siswa diajari cara berkomunikasi dengan orang lain, membuat strategi, menggunakan teknologi, sampai caar berperilaku yang baik. Program uji coba tersebut menunjukkan hasil positif, seperti membuat siswa lebih rajin ke sekolah.
“Murid yang sering bolos dan merasa tidak tertarik pergi ke sekolah sangat terbantu oleh program esports uji coba ini,” kata Custer, dikutip dari The Gamer. “Sebanyak 82 persen anggota tim kami tidak pernah ikut serta dalam kegiatan ekstrakurikuler sebelum adanya program esports.”
Sama seperti teknologi, esports dan game bisa memberikan dampak baik dan buruk, tergantung pada bagaimana ia digunakan. Dalam konferensi IDBYTE, Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara mengakui, game memang memiliki risiko sendiri. Namun, itu bukan berarti game harus dilarang dimainkan sama sekali. Menurutnya, penting bagi pemerintah untuk melibatkan sekolah dan orangtua untuk meminimalisir risiko dari game dan esports sehingga ekosistem gaming dan esports justru bisa berkembang dan membuka lowongan pekerjaan baru.
Sumber header: Variety