Setelah dikenalkan dengan Arena of Valor dan Mobile Legends: Bang Bang, kini pasar game mobile MOBA kedatangan League of Legends: Wild Rift. Meski begitu, game besutan Riot Games tersebut belum menunjukkan impact yang luar biasa di Indonesia.
Hybrid.co.id melakukan wawancara eksklusif dengan Yota Indraputra, sosok yang sempat mewarnai perkembangan esports League of Legends Indonesia bersama Garena. Sekarang Yota juga aktif dalam perkembangan esports Wild Rift dan menjadi konsultan esports.
View this post on Instagram
Menyikapi kehadiran Wild Rift, Yota memberikan pendapatnya mengenai hal-hal yang dibutuhkan Riot Games untuk membesarkan nama game mobile MOBA miliknya.
1. Apa yang dibutuhkan Wild Rift untuk bisa berkembang di Indonesia?
“Tentunya dari support publisher, kalau kita lihat 2 publisher lain yang sudah mulai lebih dulu yaitu MLBB dan AOV, mereka ada kantor di Indonesia jadi lebih localize. Sedangkan kalau lihat Riot Games saat ini, mereka pakai publisher lokal bukan Riot sendiri.
Dari sini kita bisa lihat perbedaannya dan prioritasnya. Menurut gue tetap ya, memang dari mereka yang punya kuasa dan harus bergerak untuk bisa mengembangkan Wild Rift di Indonesia.”
Riot Games sendiri turut mendengarkan suara komunitasnya di Asia Tenggara. Baru-baru ini, Riot Games siap membuka markas/kantor di Indonesia dan negara SEA lain.
2. Perlukah adanya sistem turnamen franchise Wild Rift di Indonesia? Atau memang Riot hanya fokus di EU/NA?
Ada berbagai cara untuk mengembangkan ranah esports, salah satunya adalah franchise. Tapi menurut Yota, ada yang harus Riot Games persiapkan sebelum terjun ke opsi satu ini.
“Menurut gue untuk bisa membuat sistem turnamen franchise esports yang bagus, dibutuhkan 3 base-line yang solid yaitu viewership, player base/community, dan tim esports kompetitif. Jadi memang berkaitan satu sama lain.
Lalu kenapa bisa dengan sistem LCK, LCS, LEC? Karena tiga-tiganya sudah memiliki base-line itu,” ujar Yota.
Memang Riot Games sudah memiliki sistem franchise, tapi untuk League of Legends PC. Banyak pemain dan tim yang memiliki valuasi tinggi serta aktif berpatisipasi seperti Team SoloMid, Evil Geniuses, T1, Talon Esports, DWG, G2 Esports, dan lain sebagainya.
“Para tim punya valuasi yang tinggi, viewership sudah ada, komunitas ada, dan business development juga menarik brand untuk mau investasi di dalamnya.
Jadi kalau diadaptasi ke Wild Rift sekarang viewership-nya belum tentu sebesar MPL, tim-timnya juga bukan semua yang punya valuasi tinggi. Malah sebagian tim yang ikut di WCS Indonesia merupakan tim komunitas, jadi bisa kita lihat base-line juga belum solid.
Makannya, kalau mau buat franchise memang harus membuat ekosistem esports-nya supaya ada garansi bagi stakeholder/brand terkait, setidaknya ada minimal base viewership yang bisa jadi patokan senilai dengan total investasinya.
Kalau dibilang perlu ga? Ya, memang perlu tapi untuk sekarang Wild Rift belum siap untuk turnamen franchise,” jelas Yota.
3. Apa harapan Yota mengenai ekosistem Wild Rift di Indonesia? Mengingat ada nama besar Riot Games di belakangnya.
“Nah, memang nama besar Riot Games menjadi penentu hidup dan matinya ekosistem esports. League of Legends bisa berkembang sebesar ini, sudah jadi global brand ya karena ada Riot Games di belakangnya.
Sama seperti Wild Rift juga, gue harap bisa localize lagi campaign dan ekosistem esportsnya di Indonesia. Kalau memang ingin menyaingi atau compete dengan mobile MOBA esports lain di Indonesia sekarang,” ujar Yota pada sesi wawancara.
Memang Riot Games, setidaknya hingga saat ini belum aktif terjun langsung ke ranah esports Wild Rift lokal. Asia Tenggara sendiri juga bisa dibilang tertinggal dibandingkan regional Eropa maupun Amerika Utara.
“Karena memang faktornya itu ada di viewership, business development, dan competitive. Cuman tiga itu aja kriterianya, kalau timnya ga keliatan kompetitif maka sulit bagi brand untuk investasi di dalamnya.
Kalau komunitas juga tidak ramai, viewership tidak ramai juga maka brand akan sulit masuk di dalamnya. Sebaliknya, kalau brand sedikit yang masuk ke liganya maka turnamennya jadi kurang meriah. Tidak ada konten yang unik juga untuk bisa ditampilin ke audience/stakeholder.
Tapi kalau memang ada harapan gue sangat ingin Riot Games bisa men-develope scene Wild Rift di Indonesia,” tambah Yota.
Memang dari para pesaing lain seperti Mobile Legends: Bang Bang maupun Arena of Valor, keduanya dikelola langsung oleh sang pengembang yaitu Moonton Indonesia dan Garena Indonesia.
Setidaknya Riot Games harus hadir langsung untuk memelihara, menjaga, dan mengembangkan ekosistem esports Wild Rift.
“Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam walaupun sama-sama di Asia Tenggara, tapi budayanya sudah berbeda. Kalau dibandingin sama Eropa yang agak sama, SEA itu memang lebih beragam budayanya.
Jadi kalau mau buat konten viral di Indonesia, bisa jadi akan beda caranya di Malaysia, Singapura, Thailand, atau Vietnam.
Jadi strateginya beda, banyak banget malah perbedaannya. Makannya sangat perlu localization di negara Indonesia dan negara SEA lain dari Riot Games agar campaign-nya lebih tepat,” tutup Yota di sesi wawancara eksklusif.
Bagi Anda yang ingin mengikuti konten dan kabar seputar Yota, bisa langsung mengunjungi tautan di bawah ini:
Instagram: @yotalogy