Kebangkitan industri kecantikan dan perawatan diri (beauty and personal care) di Indonesia ditandai oleh kelahiran banyak brand lokal baru. Pemerintah mencatat terdapat 797 pelaku usaha kosmetik besar dan industri kecil dan menengah (IKM) di Indonesia pada 2019, di mana sebanyak 294 terdaftar di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Jumlah tersebut naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 760.
Mengutip Tempo, CEO Social Bella John Marco Rasjid mengaku optimistis pasar industri kecantikan Indonesia bakal tumbuh pesat. Ada sejumlah faktor yang mendorong pertumbuhan ini. Pertama, mengutip laporan Euromonitor, pasar kecantikan dan perawatan diri Indonesia diestimasi mencapai $6,03 miliar pada 2019 dan meningkat menjadi $8,46 miliar di 2022.
Kedua, sebagaimana diungkapkan John, rata-rata total belanja produk kecantikan konsumen Indonesia masih berkisar $20 per kapita. Angka tersebut lebih kecil dibandingkan Thailand ($56 per kapita) dan Malaysia ($ 75 per kapita). Ketiga, Indonesia memiliki populasi perempuan yang sangat besar. Bappenas memperkirakan jumlah populasi perempuan bakal melonjak menjadi 142 juta jiwa dari populasi di 2010 yang sebesar 118,66 juta jiwa.
Kepada DailySocial, Co-founder dan CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta mengatakan bahwa kebangkitan ini akan menandai fenomena industri startup gelombang ketiga setelah meledaknya vertikal pelopor, yaitu e-commerce, ride-hailing, dan fintech. Tren ini bakal didorong brand-brand lokal yang menggunakan pendekatan Direct-to-Consumer (DTC).
“Ekosistem teknologi di Asia semakin matang dan literasi digital semakin meningkat. Kita juga melihat bahwa sepanjang 2018-2020 tren pasar mulai bergeser. Startup yang naik daun adalah startup consumer centric dan startup B2B yang membantu pelaku bisnis yang berorientasi ke consumer. Di sini, beauty tech diprediksi menjadi bagian dari kebangkitan startup gelombang ketiga,” ungkap Yaumi.
Perlukah pelaku bisnis skincare dan kosmetik mencari pendanaan dari VC?
Kemunculan e-commerce atau marketplace seperti Sociolla, Tokopedia, dan Shopee turut andil besar terhadap kelahiran brand kecantikan lokal dengan model DTC. Dengan meningkatnya tren belanja online, pelaku bisnis ini sebetulnya diuntungkan karena mereka tidak perlu membangun jalur distribusi, apalagi membangun toko ritel dalam menjangkau konsumen.
Justru para brand lokal ini dapat mengalokasikan dananya untuk keperluan lain, seperti pengembangan R&D, marketing channel, dan teknologi. Menariknya, dalam dua tahun terakhir sejumlah brand lokal mulai mencari opsi pendanaan eksternal untuk mendukung dan memperkuat bisnisnya di industri beautytech.
Dalam catatan kami, ada empat startup beauty dan wellness di Indonesia yang berhasil memperoleh pendanaan dari venture capital (VC). Mereka antara lain Base, Nusantics, SYCA, dan Callista. Meski membidik target pasar berbeda, ketiganya sama-sama memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan produk dan mengenali kebutuhan konsumen.
Brand/Startup | Category | Investor(s) | Stage |
Base | Skincare and wellness | Antler Skystar Capital and East Ventures |
Pre-Seed
Seed |
Nusantics | Biotech | East Ventures | Seed |
SYCA | Cosmetics | Salt Ventures | Pre-Seed |
Callista | Skincare | SKALA | Pre-Seed |
Sumber: Diolah kembali oleh DailySocial
Yaumi mengungkapkan bahwa pihaknya sempat menerima pendanaan pre-seed dari Antler pada Maret 2019 dan mendapat mentoring selama 6 bulan. Antler dapat dikatakan sebagai initial touchbase Base terhadap VC sebelum akhirnya mengantongi pendanaan Seed dari East Ventures dan Skystar Capital.
“Kami ingin membawa pengalaman terbaik dan kami ingin menantang the current norm. Maka itu, kami butuh infrastruktur untuk bisa build the project ten times better. Saat itu, kami lihat financing kami tidak cukup untuk permodalan. Dari keluarga juga tidak mungkin, apalagi bank. Opsi kami hanya angel investor atau VC,” ujarnya.
Infrastruktur yang dimaksud salah satunya adalah pengembangan teknologi untuk memahami kebutuhan konsumen. Base menyediakan layanan skin profling dengan algoritma AI melalui website. Ini menjelaskan mengapa Base belum tertarik memasarkan produknya lewat marketplace.
Karena ada journey sedemikian rupa dari pre-purchase sampai post-purchase, situasi ini mengharuskan Base untuk bertumpu pada satu platform saja dari sisi algoritma. Tujuannya tak lain untuk menentukan bahan skincare yang tepat untuk konsumen. Ini berlaku bagi pelaku bisnis yang menggunakan model bisnis DTC.
Di samping itu, teknologi sangat membantu produknya agar tetap relevan kepada konsumen dalam sepuluh tahun kemudian. Maka itu, penting baginya untuk selalu melakukan iterasi mengingat generasi Z cenderung digital savvy dan tidak mau didikte dalam membeli produk.
“Di industri ini yang sangat rely pada pengembangan produk, tentu kami perlu meyakini VC bahwa produk sudah diuji ke pasar. Belum lagi testing formula, dengan catatan terus menerus melakukan iterasi. Startup dituntut untuk agile. Apabila menunggu [funding] sampai dapat konsumen dan monetisasi, tentu tidak keburu. Berbeda dengan vertikal lain yang mungkin tidak ada proses manufaktur. Makanya sejak awal kami sudah bootstrapping,” jelasnya.
Sementara itu, brand rintisan lokal Mad for Makeup mengaku belum tertarik untuk mencari pendanaan dari VC. Dua Founder Mad for Makeup, yakni dr. Shirley Oslan dan Tony Tan, mengungkap bahwa modal yang dimiliki saat ini masih cukup dan pihaknya masih fokus dalam mengejar pertumbuhan di 2021.
Dengan pencapaian pertumbuhan bisnis di tahun ini, Shirley mengakui bahwa pihaknya pernah didekati beberapa VC besar. Namun, menurutnya ia lebih memilih melibatkan VC sebagai advisor untuk mempersiapkan skala lebih besar, meskipun dengan zero capital untuk ekuitas.
“Untuk modal tidak ada kriteria khusus selama strategi yang dipakai tepat. Tapi untuk pasar tertentu, kami tentu butuh sumber dan permodalan lebih lanjut. We might consider next year [pendanaan eksternal], itupun kalau kami melihat ada rencana ekspansi ke luar negeri,” tambahnya.
Saat ini, Mad for Makeup mengaku berhasil memperoleh market-fit yang bagus di pasar kecantikan dan kosmetik Indonesia dengan pendekatan DTC dan harga terjangkau. Dengan modal awal sebesar Rp800 ribu, startup dengan jargon rebel beauty ini telah menjual sebanyak 26.000 unit produk di tahun pertamanya berdiri.
Industri kecantikan Indonesia di mata VC
Di luar Indonesia, tren investasi VC pada pelaku bisnis skincare dan kosmetik bukan lagi hal baru. Di Korea Selatan, bisnis ini menjadi sasaran empuk bagi investor. Mereka berhasil menunjukkan inovasi dan konsep uniknya dalam menjangkau generasi muda yang merupakan digital native. Negeri Ginseng ini berhasil menjelma menjadi kiblat industri kecantikan dunia.
Ambil contoh, startup asal Korea Selatan Reziena mengembangkan platform berbasis AI untuk menghasilkan data yang dapat dimanfaatkan dalam menciptakan layanan personalisasi perawatan diri di rumah. Serupa dengan ini, startup asal Singapura Yours juga berupaya menghadirkan personalized skincare kepada konsumennya.
Brand/Startup | Category | Investor(s) | Stage | Origin |
Yours | Skincare | Surge, Global Founders Capital, Kindred Ventures, angel investors | Seed | Singapore |
LYCL Inc (Unpa.) | Skincare and cosmetics | Venture Round | Series A | South Korea |
Typology | Skincare and cosmetics | Firstminute Capital, Alven, Xavier Niel, Mark Simoncini | Seed | French |
Tula | Skincare | Landis Capital, Great Oaks Venture Capital, L Catterton | Series Unknown | United States |
True Botanicals | Skincare | Unilever Ventures, Kaktus Capital, etc | Series A | United States |
Sumber: Dari berbagai referensi / Diolah kembali oleh DailySocial
Dihubungi secara terpisah, Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengatakan, ada sejumlah faktor mengapa pelaku startup kecantikan menarik bagi VC. Pertama, brand lokal masa kini menggunakan model DTC untuk membidik segmen digital native.
Kedua, konsumen produk kecantikan cenderung memiliki user stickiness dan repeat purchase yang tinggi. Artinya, bisnis ini dapat mengantongi pertumbuhan bisnis dengan cepat. Tentu bagi VC, masuk ke vertikal ini dapat menjadi sebuah diferensiasi bisnis. Akan tetapi, investasi tetap memerlukan scalibility.
“Apabila investasi di teknologi, scalability-nya bisa jauh lebih cepat. Mereka juga bisa [investasi] di R&D untuk menciptakan superior product. Ambil contoh di Korea Selatan, bisnis ini merupakan salah satu signature mereka. Pada akhirnya, industri kecantikan di sana berkembang dengan pesat berkat investasi dari VC/investor,” ujar Kenneth.
Selain itu, tambahnya, strategi untuk melakukan scale up dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi AI untuk memperoleh user journey dan profiling pengguna. Dari data yang dihasilkan, brand lokal sebetulnya dapat mengembangkan marketing channel yang tepat dan menciptakan produk sesuai kebutuhan konsumen.
Sementara Senior Investment Analyst Kolibra Capital William Auwines menyoroti perspektif lain. Banyak brand kecantikan lokal mengembangkan strategi marketing yang berbeda untuk membangun brand equity-nya. Selain itu, yang cukup menonjol adalah produk kecantikan terbilang memiliki biaya produksi rendah sehingga keputusan untuk membeli produk menjadi lebih mudah dan nature bisnisnya akan selalu membutuhkan constant repurchasing.
Ia menilai kehadiran e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada menjadi game changer bagi industri ini karena mereka mampu mengantongi consumer purchasing journey. Alhasil, tak hanya pelaku industri kecantikan saja yang meningkat, tetapi juga bisnis pendukungnya, seperti sales, marketing, dan logistik untuk segmen SME. Dari paparan ini, industri kecantikan menjadi vertikal yang menarik bagi VC karena berhasil menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan dalam beberapa tahun terakhir.
“Sebagai VC, biasanya kami mengabaikan perusahaan tradisional, seperti fashion dan retail. Bagi kami, ada banyak perusahaan teknologi baru yang tumbuh eksponensial dengan menjaga biaya tetap rendah, menjangkau pasar lewat pemasaran online, dan meningkatkan layanan logistiknya untuk memperoleh keuntungan. Faktor ini membuat valuasinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan tradisional,” paparnya kepada DailySocial.
Founder dan CEO Female Daily Network Hanifa Ambadar menilai para brand lokal ini sebetulnya dapat bertahan tanpa bantuan investasi VC. Model bisnis kecantikan umumnya menyasar langsung end user sehingga mereka bisa langsung berjualan dan mendapatkan modal kembali. Margin dari bisnis juga dinilai cukup besar sehingga mereka bisa menggunakan strategi diskon untuk mendongkrak penjualan.
“Akan tetapi, pastinya mereka tidak bisa scale up secepat brand-brand lain yang punya modal besar. Apalagi, jika mereka mau ekspansi dengan membangun toko ritel. Belum lagi campaign dan product endorsement, strategi itu tentu membutuhkan modal lebih banyak lagi,” kata Hanifa kepada DailySocial.