Pendanaan tahap awal $10 juta yang diterima Ula cukup ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu. Nilainya bisa dibilang sangat besar untuk sebuah startup yang baru diinisiasi sejak awal tahun ini dan produknya sedang dalam fase Minimum Viable Product (MVP). Yang jelas, kapasitas dan latar belakang founder menjadi salah satu faktor yang membuat para investor percaya; namun di lain sisi prospek bisnis pasti turut menjadi salah satu variabel dalam kalkulasi dan hipotesis investasi mereka.
Solusi yang ditawarkan Ula adalah mendisrupsi rantai pasokan bisnis FMCG (Fast-moving Consumer Goods). Mereka mengembangkan aplikasi yang memungkinkan pelaku UKM (khususnya pemilik warung) untuk mendapat beragam produk dagangan secara efisien dengan harga yang diklaim lebih terjangkau, karena memungkinkan terhubung langsung dengan brand. Sehingga mereka mengakomodasi beberapa proses sekaligus: pemesanan, logistik, pembayaran, dan pembiayaan.
Tidak hanya Ula
Jauh sebelum ini, di tahun 2014, Kudo (kini bernama GrabKios by Kudo) debut dengan layanan yang memungkinkan warung tradisional melakukan lebih banyak hal, seperti melakukan berbagai pembayaran, transfer dana, hingga menjembatani masyarakat untuk membeli produk di layanan e-commerce. Startup yang telah diakuisisi Grab tersebut sudah merangkul 2,8 juta mitra di 505 kota dan kabupaten di Indonesia. Menghasilkan nilai transaksi hingga 2,7 triliun Rupiah.
Warung menjadi aspek penting dalam perekonomian di Indonesia. Keberhasilan Kudo menjadi legitimasi yang memvalidasi bahwa “pendekatan warung” sangat relevan untuk menjangkau pangsa pasar di kancah nasional – khususnya di kalangan menengah ke bawah. Konsep tersebut akhirnya direplikasi oleh beberapa pemain digital, tak terkecuali para unicorn di sektor e-commerce, seperti program Mitra Tokopedia, Mitra Bukalapak, hingga yang terbaru Mitra Shoppe.
Tahun 2018 GudangAda diluncurkan, menjadi marketplace B2B khusus produk FMCG. Fokusnya memberdayakan seluruh rantai pasokan, sehingga memudahkan bisnis mengakses berbagai produk secara efisien. Awal tahun ini mereka mendapatkan pendanaan awal dari sejumlah investor untuk akselerasi bisnis. Sasaran mereka adalah ritel tradisional, termasuk warung atau toko kelontong di berbagai daerah.
Potensi yang ada
Solusi layanan tersebut menyelesaikan isu yang sangat fundamental. Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial perbankan (unbankable) – sehingga sulit bagi mereka untuk mengakses layanan digital transaksional secara langsung. Jumlah tersebut sangat besar, bahkan lebih besar dari total penduduk negara-negara di Asia Tenggara kecuali Filipina.
Warung adalah sistem bisnis yang paling menjangkau mereka – tempat ekonomi mikro di berbagai penjuru Indonesia berputar. Menurut data Sensus Ekonomi 2016 yang dirilis BPS, dari 26,4 juta unit Usaha Mikro Kecil (UMK) & Usaha Menengah Besar (UMB), sebanyak 46,38% masuk dalam kategori “Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor” – warung masuk di sana. Jumlah ini sekaligus menjadi yang paling besar di antara jenis usaha lain yang ada di Indonesia.
Dalam wawancara dengan DailySocial, Co-Founder Ula Nipun Mehra menjelaskan analisisnya mengapa startupnya mantap merambah sektor ini. Menurutnya, ritel tradisional seperti warung adalah pilar utama ekonomi Indonesia. “Ini adalah backbone dari ekonomi konsumsi, sekaligus mempekerjakan jutaan orang. Peritel tradisional tergolong cost-effective dan memiliki pengetahuan mendalam mengenai pasar lokal. Namun, sektor ini adalah bagian paling rentan dari value chain, karena mereka biasanya bekerja secara individual dengan skala kecil.”
Diversifikasi yang coba dihadirkan adalah efisiensi sumber daya dan permodalan dengan menghadirkan sistem doorstep (pengiriman produk secara langsung) yang hemat biaya. Selain menghubungkan peritel dengan penyedia stok produk FMCG, mereka juga akan memperluas cakupan produk di kategori busana. Semua upaya peningkatan pengalaman peritel yang dilakukan Ula sepenuhnya mengutamakan pemanfaatan teknologi. “Kami menjaga pengalaman pengguna tetap sesederhana mungkin dan teknologi dihadirkan untuk menghilangkan kerumitan yang ada.”
Nipun menambahkan, “Pengiriman tepat waktu adalah salah satu alasan terkuat mengapa para mitra memilih melakukan transaksi di Ula. Kami dapat melakukan itu karena semua pemrosesan otomatis dan didorong oleh data.”
Di tahap awal ini Ula melakukan pilot project untuk MVP-nya di area Jawa Timur.
Co-Founder & CEO GudangAda Stevensang kepada DailySocial mengungkapkan, di era digital ini semakin banyak tantangan yang harus dialami oleh pemilik toko tradisional, seperti semakin sulitnya mendapatkan salesman, meningkatnya risiko bisnis, ancaman dari e-commerce besar yang langsung menghubungkan principal dengan retailers, generasi berikutnya dari pemilik toko yang enggan meneruskan bisnis keluarga yang masih konvensional, dan lain-lain; yang akan menyebabkan penurunan bisnis dan laba di kemudian hari.
“GudangAda didirikan karena adanya keprihatinan terhadap kelangsungan bisnis toko tradisional di era digital. Konsep bisnis GudangAda adalah untuk memberdayakan semua pihak yang terlibat dalam ekosistem sehingga bisa mendapatkan manfaat yang optimal dari platform. Dengan ikut dalam platform GudangAda, toko bisa berperan sebagai penjual dan/atau pembeli.”
Model bisnis
Membahas startup yang mencoba menghadirkan platform “new retail” untuk bisnis tradisional, ada satu pertanyaan yang muncul: alih-alih membuat layanan e-commerce untuk pemenuhan stok warung, kenapa tidak memilih pendekatan direct-to-consumer dengan menjual produk tersebut langsung ke konsumen akhir?
Menanggapi ini, Nipun mengatakan, “Warung sangat hemat biaya. Mereka adalah wirausaha mikro yang menjalankan toko mereka di sekitar rumah. Kebanyakan mempekerjakan keluarga dan sebagian besar bebas pajak. Mereka melayani cash-flow sensitive market. Rata-rata orang Indonesia masih lebih suka berbelanja offline. Mereka membeli dalam jumlah kecil dan dengan frekuensi tinggi.”
“Model e-commerce B2C tidak dapat mengakomodasi pesanan dengan nilai keranjang kecil karena biaya pengiriman sangat tinggi. Hal ini memungkinkan hanya produk tertentu saja yang dapat bertahan di toko offline. Misalnya, sampo sachet sangat sulit dijual di platform B2C tetapi berfungsi baik di toko offline. Karena itu, tidak mengherankan, bahwa setelah miliaran dolar produk masuk ke e-commerce B2C, pangsa pasar yang dirangkul tetap di bawah 10%.”
Banyak aspek bisnis yang bisa diakomodasi. Pemain yang ada setidaknya bisa dipetakan jadi lima komponen di atas. Misalnya Kudo, mereka menghadirkan poin pembayaran, pembiayaan, dan produk digital. Beda lagi dengan GudangAda yang banyak fokus di rantai pasokan. Sementara Ula debut dengan sistem yang mengakomodasi rantai pasokan dan pembiayaan. Masing-masing punya masalah spesifik yang hendak diselesaikan.
Ambil contoh soal pembiayaan. Ada budaya “utang” di kalangan pelanggan warung. Karena sifatnya lebih personal, kadang tidak ada model penagihan khusus yang mengakibatkan arus kas pemilik warung terganggu. Sstem pembiayaan memungkinkan warung untuk mendapatkan stok produk terlebih dulu dan membayarnya kemudian saat jualan sudah laku.
“Ya, saat ini Ula bermitra dengan beberapa lembaga penyedia pinjaman. Tugas kami memastikan pembiayaan sampai kepada pemilik toko. Kami senang memainkan peran sebagai mitra bagi perusahaan fintech yang dapat memanfaatkan data dan platform Ula untuk mengucurkan kredit modal kerja,” pungkas Nipun.