Riot Games Wajibkan Sensor Efek Darah Pada Turnamen Valorant

Melihat antusiasme yang tinggi terhadap Valorant, Riot Games lalu segera mengumumkan rencana esports yang akan mereka lakukan. Lewat postingan resmi yang terbit 16 April 2020 ini, Riot mengumumkan segala rencananya yang akan dilakukan untuk membangun ekosistem esports Valorant dalam beberapa waktu ke depan.

Memang belakangan Valorant sedang jadi buah bibir di kalangan gamers. Walau masih beta, tapi Valorant sudah pecahkan rekor jumlah penonton di Twitch. Dengan karakteristik yang mirip dengan CS:GO, salah satu streamer ternama di skena FPS yaitu Shroud, bahkan mengatakan bahwa Valorant merupakan game yang luar biasa. Antusiasme untuk membuat ini menjadi esports juga tinggi, terlihat salah satunya lewat organisasi esports asal Korea Selatan yaitu T1, yang akan mengadakan turnamen Valorant.

Sebagai gantinya, tembakan headshot akan memberi efek percikan. Sumber: Polygon

Terkait ekosistem esports yang direncanakan untuk Valorant pada jangka pendek, Riot Games mengatakan bahwa mereka akan membiarkan game ini tumbuh berkembang secara alami terlebih dahulu, memperkenankan komunitas untuk membuat kompetisinya masing-masing. Maka dari itu Riot membuat satu pedoman untuk komunitas dalam hal membuat turnamen.

Satu yang menarik adalah, turnamen Valorant yang diselenggarakan oleh komunitas, diharuskan untuk menyensor efek darah. Untungnya, pengaturan ini sudah disediakan di dalam game client, jadi pengguna cukup mematikan opsi “Show Blood”.

Dalam penerapannya, jika turnamen hanya menggunakan sudut pandang dari in-game observer, ini mungkin cukup mudah, karena hanya perlu mematikan opsi tersebut pada PC yang digunakan sebagai observer. Tetapi jika menggunakan sudut pandang dari para streamer layaknya Twitch Rivals, ini tentu akan jadi agak menyulitkan, karena penyelenggara harus memastikan semua peserta telah mematikan opsi tersebut.

Nuansa kekejaman game competitive shooter memang masih jadi polemik hingga saat ini. Masalah yang muncul dari nuansa kekejaman pada game competitive shooter adalah membuat game tersebut jadi sulit diterima secara umum.

Ini memberi dampak yang cukup besar, seperti membuat komite Olimpiade jadi enggan menyajikan esports game competitive shooter, gara-gara nuansa kekejaman yang ada di dalam game. Belum lagi salah satu pasar gaming terbesar yaitu Tiongkok, punya aturan yang melarang kehadiran darah dan kata bunuh di dalam game. Apalagi Tiongkok menerapkan peraturan tersebut dengan ketat, bahkan membuat PUBG Mobile terpaksa ubah nama jadi Game For Peace.

Kehadiran peraturan ini tentu sedikit banyak memberi pengaruh positif terhadap penerimaan Valorant secara umum. Selain peraturan tersebut, tidak banyak peraturan lain yang sifatnya restriktif dalam membuat turnamen. Pada skala kecil, penyelenggara tidak perlu melapor kepada Riot jika ingin membuat turnamen. Namun untuk gelaran yang lebih besar atau mungkin internasional, penyelenggara harus bekerja sama dengan pengembang dalam membuat turnamennya.