Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech Indonesia) mengungkapkan bahwa pemain fintech saat ini masih terganjal tiga persoalan dalam bisnis operasionalnya. Tiga hal tersebut adalah infrastruktur, regulasi, dan kolaborasi.
Ketua Umum Aftech Indonesia Niki Luhur mengatakan saat ini infrastruktur pendukung bisnis fintech belum cukup memadai. Pasalnya untuk mendapatkan layanan fintech, masyarakat harus menempuh proses tatap muka dengan pihak penyelenggara jasa keuangan, sebagai salah satu rangkaian dari tahap know your consumer (KYC).
Keberadaan fintech bisa menjadi jurus ampuh untuk memotong rantai KYC jadi lebih efisien, misalnya dengan menghadirkan tanda tangan digital. Dengan demikian, masyarakat Indonesia di manapun mereka berada bisa terlayani. Target inklusi keuangan yang dicanangkan pemerintah pun juga bisa segera terealisasi.
“Kami [pemain fintech] tidak memiliki kemampuan untuk menghadirkan perwakilan kami di berbagai daerah demi melakukan proses KYC tersebut,” kata Niki, dalam diskusi panel yang diadakan Sesparlu, Rabu (29/3).
Niki menilai, konsep tanda tangan digital yang ada saat ini masih belum jelas standar dan legalitas hukumnya. Ia pun mendorong pemerintah untuk segera mengimplementasikan bagaimana aturan main yang jelas untuk KYC.
Berdasarkan hasil evaluasinya mempelajari strategi regulator dari negara lain, Niki memberi masukan kepada pemerintah untuk membuat aturan KYC dengan standar yang berbeda untuk tiap segmen bisnis fintech. Niki juga menekankan proses KYC yang harus efisien, mengingat masih banyak daerah yang memiliki akses internet minim.
Sedangkan dari sisi regulasi, menurut Niki, sebaiknya tidak melulu berkaitan dengan mitigasi risiko. Dia menyarankan agar regulasi yang umumnya berisi upaya menggaet lebih banyak pengguna. Salah satu contoh yang mungkin bisa dilakukan berupa pajak insentif untuk konsumen yang memanfaatkan sistem pembayaran elektronik.
Mengedepankan kolaborasi
Niki melanjutkan kolaborasi antar pelaku jasa keuangan dan penyedia layanan fintech dapat menjadi senjata ampuh untuk membesarkan industri jasa keuangan skala nasional, sebab keduanya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Perusahaan fintech memiliki kapabilitas dalam perangkat lunak, peningkatan consumer experience, atau lainnya. Sementara mereka tidak cukup mumpuni dalam sisi manajemen risiko, credit scoring, dan collection. Ketiga hal tersebut adalah kekuatan perbankan yang sudah berdiri selama puluhan tahun dan paham dengan karakteristik orang Indonesia.
“Dengan adanya kekurangan dan kelebihan masing-masing bisa menjadi kolaborasi yang baik untuk kedua belah pihak. Kue masih banyak yang belum digarap,” tutupnya.