Pemerintah sudah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Kalangan pelaku industri lokal menanggapi dingin regulasi baru tersebut. PP 71/2019 ini merupakan hasil revisi dari PP 82/2012 yang sebelumnya berlaku. Peraturan ini sejatinya sudah resmi sejak 10 Oktober lalu.
Namun sebelum melihat pandangan pelaku industri lokal, berikut adalah beberapa poin penting dalam PP 71/2019 dengan perubahan signifikan dari aturan sebelumnya.
- PSTE dibagi menjadi dua yakni; publik dan privat.
- PSTE terbebas dari tanggung jawab jika dalam keadaan terpaksa atau berasal dari kesalahan pengguna.
- PSTE tunduk terhadap regulasi yang berlaku di Indonesia termasuk soal konten informasi yang tak sesuai ketentuan negara.
- Pengakuan hak right to be erased dan right to delisting dari mesin pencari atau platform informasi elektronik lainnya.
- PSTE privat boleh melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data di luar negeri.
Dari sekian poin dalam aturan baru tersebut, pasal 21 ayat 1 menjadi sorotan utama bagi pelaku industri lokal. Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia Alex Budiyanto mengatakan, pihaknya mengaku kaget ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika era Menteri Rudiantara meloloskan pasal tersebut.
Alex menilai pasal 21 ayat 1 itu berlawanan dengan visi Presiden Joko Widodo yang menekankan kedaulatan data. Namun pada kenyataannya, pasal itu justru mengizinkan sektor privat memiliki pusat data di luar negeri.
“Pada prinsipnya kami kecewa karena apa yang kami harapkan dari implementasi janji Presiden Jokowi pada pidato tanggal 16 Agustus 2019 di depan MPR soal pentingnya perlindungan data, kedaulatan data, tapi ternyata hasilnya malah bertentangan,” ujar Alex.
Alex mengaku tak mempersoalkan perusahaan OTT asing. Namun ketika pemerintah justru melonggarkan peraturan pusat data lewat regulasi ini, ia menilai negara bakal kena imbas negatif terutama dari aspek kedaulatan.
“Data di sektor publik itu hanya 10 persen, berarti 90 persen data kita ada di sektor privat. Ini berarti 90 persen data kita lari ke luar Indonesia. Kalau sudah begitu bagaimana bisa melindungi dan menegakkan kedaulatan data kita ketika datanya di luar yurisdiksi,” ucap Alex penuh protes.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Bidang Industri 4.0 Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Teguh Prasetya. Namun dalam hal ini, Teguh lebih khawatir oleh potensi ekonomi yang hilang dengan berlakunya PP ini.
Investasi pusat data di Indonesia diperkirakan mencapai US$850 juta (sekitar Rp12 triliun) pada 2020 nanti. Teguh bahkan memperkirakan uang yang masuk dari investasi pusat data bisa sampai US$1 miliar (Rp14 triliun). Namun dengan berlakunya PP 71/2019 ini, negara kemungkinan akan kehilangan pendapatan.
“Dengan ada relaksasi ini, artinya penyedia layanan privat tidak harus ada di Indonesia, enggak harus pakai server lokal, dan berarti investasi penyedia data center lokal akan berkurang,” tutur Teguh.
Sejauh ini, pasal 21 ayat 1 menjadi sumber kontroversi dari PP 71/2019 ini. Kendati demikian, perlu diperhatikan juga dalam pasal 21 ayat 3 terdapat klausul yang mewajibkan penyelenggara layanan memberikan akses kepada pemerintah dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum.
“Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat wajib memberikan Akses terhadap Sistem Elektronik dan Data Elektronik dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” demikian bunyi pasal 21 ayat 3.