Studio Square Enix dikritik tajam oleh pendiri Eidos Montreal, Stephane D’Astous. Ada banyak persoalan yang dia ungkap. Inilah kritikannya.
Setelah Embracer Group mengakuisisi Crystal Dynamics, Eidos, dan Montreal, beserta sejumlah IP besar mereka, pendiri dari Eidos, yaitu Stephane D’Astous angkat bicara. Terkait penjualan ini, sebenarnya ia tidak terlalu kaget, hanya saja harga yang diberikan terlalu “rendah” untuk ketiga studio dan IP yang dibeli.
Dilansir dari GamesIndustry, Stephane D’Astous berbagi perspektif, mengenai kondisi dari Square Enix. Ia menerima banyak sekali pesan dari karyawan ketiga studio tersebut, menanyakan apakah pengakuisisian ini merupakan hal yang baik atau buruk. Diketahui Stephane D’Astous sendiri sudah keluar sejak tahun 2013.
“Jalan ini sebenarnya sudah dapat diperkirakan. Saya keluar karena banyak hal yang tidak ada di kantor pusat. Sebelum diakuisisi Square Enix, Eidos memiliki tradisi untuk mengembangkan tim dengan baik, namun mereka tidak tahu bagaimana cara menjual game mereka dengan baik. Saat diakuisisi pada 2009, saya berharap Square Enix bisa mengubah banyak hal,” kata Stephane D’Astous.
Eidos Montreal saat itu disusun untuk memiliki 3 struktur produksi, yaitu membangkitkan seri Deus Ex dan Thief, membantu Crystal Dynamics untuk me-reboot Tomb Raider, dan menangani aspek multiplayer-nya.
Namun ternyata, Square Enix tidak mampu menjawab ekspektasi. D’Astous juga membeberkan apa yang terjadi di balik layar. Ia ingat saat melakukan rapat mengenai hasil keuangan pada 2012 lalu, saat Studio-studio Eidos diharapkan menghasilkan USD65 juta. Berbeda dari yang diharapkan, ia malah diberitahu bahwa pengembang telah kehilangan USD65 juta di tahun itu.
“Kami tercengang ketika itu,” katanya.”Apalagi, di tahun itu, studio saya tidak menghasilkan apa-apa.”
“Sudah jelas, tujuan utama Eidos Montreal adalah untuk memperluas kapasitas produksi dan pengembangan, sedangkan Crystal Dynamics lebih cenderung ke studio mono-project. Montreal ada di situ, untuk menyimpan game lain, yang sebenarnya memiliki potensi, namun dibiarkan terbengkalai begitu saja seperti Deus Ex dan Thief,” lanjutnya.
Sejak saat itu, D’Astous mulai mendapatkan banyak sekali pesan dari timnya, terkait kekhawatiran mengenai nasib dari studio ini. Ia juga berupaya berulangkali untuk menghubungi pihak manajemen di London untuk mendiskusikan solusi. Namun tak ada respons sama sekali.
“Tekanan mulai terbentuk, dari karyawan terhadap saya, dan saya terhadap atasan saya. Saya pikir bahwa ketika orang-orang berada pada kondisi yang krisis, mereka mulai menampakkan perilaku asli dan nilai mereka, dan saya tidak menyukai apa yang saya lihat. Dengan kurangnya kepemimpinan, keberanian, dan komunikasi, tentu para karyawan tidak bisa melakukan tugasnya dengan benar. ”
“Saya berharap bahwa Square Enix Jepang akan membawa hal-hal besar kepada Eidos. Saya kehilangan keyakinan terhadap kantor pusat di London,” ungkapnya. Pada laporan keuangan tahunan mereka, Jepang selalu memberikan pernyataan yang tidak mengenakkan, seperti “Kami dikecewakan oleh game-game tertentu”, “Game-game tertentu tidak berhasil menjawab ekspektasi.” Statement tersebut diarahkan kepada game-game yang tentunya berada di luar Jepang.
Sejak saat itu, Stephane D’Astous keluar di tahun 2013, lalu diikuti oleh kepala Crystal Dynamics Darrell Gallagher di tahun 2015.
“Ibarat seperti kereta api yang mulai melambat dan membutuhkan tambahan energi atau uang, namun tetap saja melambat. Sangat disayangkan karena terdapat banyak sekali orang-orang baik di dalam studio-studio ini.”
Ia juga sangat heran terhadap harga USD300 juta untuk 3 studio dan sejumlah IP. Sebagai perbandingan, ia menyebutkan bahwa Embracer Group juga mengakuisisi Gearbox (Borderlands, Tiny Tina’s Wonderlands, Battleborn) seharga USD1,3 miliar. Padahal 3 studio ini juga memegang franchise papan atas seperti Tomb Raider. dengan jumlah karyawan yang sama, namun mendapatkan seperempat saja dari harga Gearbox.
“Lalu mengapa empat kali lebih kecil? Itu berarti Square Enix menganggap bahwa 3 studio ini sudah tidak sehat dan tanpa potensi. Di mataku, ini sudah seperti kecelakaan kereta, yang terkena slow-motion. Sudah dapat diprediksi dan kereta ini juga tidak menuju arah yang baik,” ujar Stephane D’Astous.
Diharapkan, Eidos, Montreal, dan Crystal Dynamics di bawah Embracer Group memiliki hasil yang lebih baik. Diketahui Embracer memang membolehkan anak perusahaannya untuk bekerja secara mandiri.
Walau demikian, Stephane D’Astous tetap menjaga ekspektasinya. “Memang kemandirian merupakan hal yang bagus, namun hal tersebut membutuhkan visi yang kuat. Mungkin studio-studio ini baru bisa diberikan kebebasan, jika mereka bisa menunjukkan kepemimpinan, visi yang jelas, dan kinerja. Hal ini kukatakan, karena kepala dari tiga studio ini telah mengundurkan diri.”
“Namun saya tetap berharap, Lars Wingefors (CEO Embracer) mengajak berkomunikasi untuk melihat rencana seperti apa yang mereka punya, karena rencana mereka tidaklah berhasil dalam satu dekade terakhir. Aku tidak tahu, dengan rencana yang sama, mengapa mereka akan berhasil dalam sepuluh tahun mendatang, karena dijalankan oleh orang yang sama, aktor, dan pemain yang sama.”
“Jika tidak ada perubahan, kereta ini pada akhirnya akan berhenti,” tutupnya.